Oleh Dahlan Iskan
SAYA harus mampir Singapura. Dari Xiamen. “Tidak tengok Pak Luhut,” tanya dokter Disway Agus Fahruddin.
Saya pun jadi kepikiran. Iya ya. Siapa tahu dokter mengizinkan. Siapa tahu Pak Luhutnya sendiri mau menerima.
Nasib baik.
Saya bisa besuk pukul 18.00. Kemarin petang.
Saya pun kontak Meiling: bisakah mengantar ke rumah sakit. Dia datang bersama Daniel, suaminyi. Pakai mobil ehm itu.
Saya tidak memberi tahu bahwa yang akan saya besuk adalah Menko Marves, jenderal bintang empat, orang kepercayaan Presiden Jokowi, tokoh serba bisa: Luhut Binsar Pandjaitan.
Meiling juga tidak bertanya. Dia tipikal orang Barat. Tidak banyak tanya soal pribadi.
Saya tahu jam itu Robert Lai lagi sibuk dengan Dorothy, istrinya. Mereka ke dokter di jam yang sama. Saya mencegahnya memaksa menjemput. Kan ada Meiling.
Masih ada waktu satu jam. Saya dibawa ke kampung Arab. Makan paha kambing panggang. Roti maryam. Teh tarik. Restonya persis di seberang Masjid Sultan –berkapasitas 5000 orang.
Dulunya istana Singapura di sebelah masjid itu. Boleh dikata inilah “kota bisnis” pertama Singapura di masa lalu. Sebelum belakangan bergeser ke Orchard Road.
Di rumah sakit saya dijemput dokter Pak Luhut di lobi. Tinggi. Ganteng. Muda. Badan langsing berotot. Dari Jakarta. Alumni UKI. Ahli fisioterapi.
Saya tidak punya kartu pembuka penyekat lobi. Maka harus ada yang menjemput.
Untuk naik ke lantai 8. Di lobi saya tidak bertemu orang Indonesia satu pun. Beda dengan di RS Mount Elizabeth. Tidak sengaja tertabrak pun pasti itu orang Indonesia.
Saya hafal rumah sakit ini: pernah dirawat di sini satu minggu. Sekitar 17 tahun lalu. Waktu itu saya baru selesai operasi transplantasi hati di Tianjin. Berhasil.
Dalam perjalanan pulang saya diminta periksa dulu di rumah sakit ini. Akan dicek apakah transplant-nya berhasil bagus. Yang meminta begitu Madam Hoching, istri perdana menteri Singapura. Dia pula yang menanggung segalanya.
Hasilnya: bagus. Saya boleh pulang ke Indonesia.
Masuk kamar Pak Luhut saya kaget: beliau tampak sudah sehat.
Wajahnya merona. Tawanya lebar. Jalannya tidak tertatih.
Saya pelototi wajahnya: normal sekali, seperti sebelum sakit. Hanya rambutnya yang berubah: memutih. Itu karena tidak dihitamkan lagi.
Putrinya, Paulina Uli Pandjaitan, ada di situ. “Sejak hari pertama,” kata Paulina.
“Waktu Bapak presiden ke sini saya belum bisa berjalan,” ujar Luhut. “Hari ini saya sudah bisa berjalan 1 km,” tambahnya.
Sudah tidak ada selang infus di lengannya. “Perkembangan tiga hari terakhir seperti sebuah lompatan,” kata Uli, panggilan Paulina sehari-hari. “Ya kan, dokter?” kata Uli sambil menoleh ke dua dokter asal Indonesia di kamar itu.
Kami pun ngobrol di sofa. Saya duduk di kursi tempat Presiden Jokowi duduk tiga hari sebelumnya. Dari sofa ini terlihat tempat tidur pasien. Penyekatnya tidak ditutup. @Setelah sejenak ngobrol soal kesehatan Pak Luhut menyinggung soal politik. Saya tertegun-tegun.
“Sudah boleh ngomong politik seperti itu?” sela saya sambil menengok ke putrinya.
“Boleh. Itu kan hiburan bagi Papa,” ujar Uli.
Kami pun tertawa lebar.
Luhut pun meneruskan ceritanya.
Saya pun meneruskan mendengarkannya.
Lalu Luhut minta disambungkan telepon ke seseorang. Rupanya ia ingat sesuatu: kelapa sawit.
Ia lagi menertibkan perkelapasawitan. Ia tanyakan sudah seberapa maju langkah baru itu.
“Pokoknya di tangan orang Madura sawit harus beres. Kan kau tidak bisa disogok,” katanya. Rupanya staf yang ditelepon itu berasal dari Madura.
Selesai telepon itu pembicaraannya balik ke politik lagi.
Saya mendengarkan lagi –sambil sesekali menengok sang putri. “Go a head,” kata sang putri lirih.
Pak Luhut pun ingat program satunya lagi: rumput laut. Di Bali dan Lombok. Yakni rumput laut sebagai sumber pembuatan pupuk. Tidak kepalang tanggung. Dari hulu sampai hilir. Dari menggalakkan tanaman rumput laut, processing-nya sampai pabrik pupuknya.
Dalam pembicaraan telepon itu kadang suaranya mengeras. Terutama kalau lagi mengejar perkembangan program.
“Tuh, sudah kembali marah-marah,” kata saya lirih sambil menengok ke sang putri.
“Bapak kelihatannya sudah sembuh ya?” tanya yang dimarahi di telepon itu.
“Kalau untuk tempeleng kau saja sudah bisa hahaha,” jawabnya.
“Kami kangen. Kapan Bapak kembali ke Jakarta?” tanya yang di Jakarta.
“Kalian ke sini saja,” jawab Pak Luhut.
Kelihatannya minggu depan Pak Luhut sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Mungkin masih di Singapura dulu. Banyak apartemen yang bisa disewa di sana.
Saya mencoba akan pamit. Tidak baik besuk orang sakit lama-lama. Saya lirik jam. Sudah lebih 30 menit.
“Makan bersama dulu,” kata Pak Luhut.
“Iya. Ini makanannya datang,” ujar sang Putri.
Meja makan pun ditarik ke depan sofa. Sang Putri mengambil dua piring. Tiap piring berisi nasi goreng ala Jepang dan sayur selada segar lima lembar.
Lalu ada satu piring besar berisi daging wagyu. Diiris-iris tipis. Banyak sekali. Memenuhi piring besar.
Saya pun menengok ke Uli: “Lho, boleh makan daging?” tanya saya.
“Boleh. Makan apa saja boleh,” katanyi.
Saya pun ambil wagyu-nya. Agak banyak. Maksud saya: agar beliau kebagian sedikit saja. Dan lagi, haha, ini kan daging wagyu. Kapan lagi.
Sambil makan, Pak Luhut masih telepon anak buahnya lagi. Minta laporan perkembangan pekerjaan. Yakni perlunya Indonesia punya rumah sakit seperti ini. Lalu bicara politik lagi.
Saya pun ikut memberi masukan. Sedikit. Membangun rumah sakit tidak sulit. Dokter kita juga tidak kalah pintar. Yang lebih perlu dibangun adalah budaya tim dokter.
“Secara individu dokter kita hebat. Tapi kita perlu punya ratusan tim dokter yang andal. Membangun tim tidak mudah. Harus ditemukan caranya”.
Tentu masukan itu saya pinjam dari pendapat Ketua IDI Surabaya: Dr dr Brahmana. Ahli kanker kandungan. Itu dijelaskan di podcast saya saat di RS Premier Surabaya.
Saya pun melirik jam dinding. Sudah satu jam lebih. Pak Luhut masih sangat bersemangat. Saya tidak boleh terpancing. Pak Luhut tidak boleh terlalu excited. Belum boleh.
Saya masih harus bertahan. Pak Luhut ingin memeragakan salah satu latihan penyembuhannya: bagaimana cara duduk di sofa rendah yang harus ia lakukan. Bagi orang yang beruntung karena badannya pendek tidak perlu ini: jarak pantat dan sofa sudah dekat. Tapi orang setinggi Pak Luhut otot pahanya harus kuat. Agar proses duduknya tidak mengentak.
Pak Luhut pun duduk dengan cara yang benar. Otot pahanya yang bekerja. Kuat. Ia duduk perlahan. Test otot paha. Bagus. Harus mengandalkan otot paha. Bukan mengandalkan tebalnya pantat.
Saya pun memaksa pamit.
Meiling sudah kembali menunggu di parkiran. Sudah saatnya makan durian.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia