Diam Hanyut

Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat menjalani sidang. (Foto: Net)

Oleh Dahlan Iskan

SAKSI-SAKSI penting sudah selesai diperiksa. Hanya Donald Trump yang beda.

“Dalam sejarah peradilan belum pernah ada saksi seperti Trump,” ujar mantan pejabat tinggi litigasi Neal Katyal.

Katanya: “Trump begitu kasar, menjengkelkan, dan terus memprovokasi hakim,” lanjutnya.  

“Saya telah banyak mewakili para pembunuh dan penjahat kerah putih,” ujar pengacara yang jadi pejabat di zaman Presiden Obama. “Saya belum pernah melihat orang berperilaku seperti ini di ruang sidang,” katanya.  

Para pembunuh dan penjahat kerah putih pun, katanya, menghormati pengadilan dan prosesnya.

“Trump tidak bertindak seperti umumnya pihak yang beperkara yang pernah saya lihat di ruang sidang mana pun.”

Misalnya ketika jadi saksi Senin lalu. Satu pertanyaan pendek hakim Arthur Engoron dijawab dengan pidato 8 menit. Isinya: menyerang hakim dan jaksa secara pribadi. Lebih tepatnya: memaki-maki.

Hakim Engoron, ditulis oleh media di sana sampai mengerutkan alis. Tapi hakim tetap tenang. Setelah Trump selesai bicara, hakim berkata padanya: “Anda boleh menyerang saya semau Anda. Silakan. Tapi jawablah pertanyaan”.

Rupanya Trump tergolong Joko Sembung –sering tidak nyambung. Apa pun pertanyaannya jawabnya teh botol: dan itu hanya melegakan yang minum.

Sekali hakim memotong pembicaraan Trump. Hakim pun menatap ke arah pengacara Trump.

“Kalau setiap pertanyaan dijawab oleh klien Anda dengan pidato delapan menit, kita akan berada di ruang sidang ini sampai tengah malam,” ujar Engoron.

Maka hakim meminta pengacara Trump untuk mengendalikan kliennya.

“Kalau Anda tidak bisa kontrol klien Anda, saya yang akan melakukannya,” ujar hakim. “Ini bukan panggung kampanye. Ini ruang sidang pengadilan,” tambah  Engoron.

Tidak berhasil.

Itu karena cara pengacara membela Trump sendiri juga sama: serang hakim dan jaksa.

Pokok perkaranya: Trump telah terbukti bertahun-tahun melakukan kejahatan perusahaan. Yakni dengan cara menggelembungkan nilai perusahaan.

Dengan cara itu, perusahaan-perusahaan Trump di New York bisa mendapat kredit besar dengan bunga lebih murah.

Trump bisa dihukum harus membayar denda USD 250 juta. Atau sekitar berapa rupiah ya. Masih pula ada kemungkinan hukuman tambahan: aset dibekukan dan Trump tidak boleh berbisnis di New York.

Trump memang sangat emosi: marah, jengkel, sebel jadi satu. Mungkin juga ia kian kalut: 91 perkara lain menunggunya. Pidana maupun perdata.

Yang paling membuatnya jengkel di pengadilan New York ini: ia tahu umumnya perusahaan juga melakukan itu. Mengapa ia yang sial seperti ini.

Faktanya jaksa memang menemukan: terjadi penggelembungan.

Hakim pun sependapat.

Tapi yang seperti itu kan dilakukan banyak orang. Itu sudah menjadi bagian dari napas pengusaha. Apalagi di negara liberal seperti Amerika.

Maka Senin lalu Trump harus meyakinkan hakim bahwa ia tidak melakukan penggelembungan.

Ia mengatakan: hakim harus tahu, bahwa nama dirinya sangat besar. Nama besar itu bernilai. Trump menyebut namanya saja bisa bernilai USD 10 miliar: Rp 150 triliun. Karena itu kalau setiap aset dinilai lebih tinggi itu karena ada nama Trump sebagai pemiliknya.

Misalnya Mar-a-Lago yang di pantai Florida. “Harusnya harga USD 18 juta di laporan keuangan masih bisa 50 sampai 100 kali lipat lebih tinggi,” cuitnya di medsos beberapa jam sebelum Ivanka ke pengadilan.

Dan lagi, bank yang memberi kredit bisa menerima laporan keuangan itu. Kreditnya pun lancar.

“Anda ini tidak tahu saya. Demikian juga jaksa. Kalian tidak tahu saya, tapi membawa saya ke sini,” kata Trump.

Apakah taktik Trump dan pengacaranya akan berhasil di pengadilan?

Kini tahap peradilan perkara sudah di ujung jalan. Sebentar lagi putusan.

Ivanka Trump juga sudah jadi saksi. Dua hari lalu. Dia mengaku tidak banyak ingat soal laporan keuangan. Yang dia ingat waktu ikut rapat tahun 2011. Agendanya membahas proyek baru: kantor pos lama di Washington DC dijadikan Trump Hotel.

Ivanka banyak berperan dalam berhubungan dengan Deutsche Bank. Suaminyi, Jared Kushner, yang memperkenalkan ke bank Jerman itu. Ketika Ivanka membeli apartemen Trump dengan harga “wajar” itu, katanyi, karena dia dapat diskon besar.

Banyak komentar ahli hukum di media Amerika: taktik itu justru merugikan Trump.

Pun di Indonesia. Banyak pengacara akan bertanya kepada klien mereka: mau pakai cara high profile atau low profile. Banyak klien tidak berani memilih salah satunya. Mereka punya keinginan sendiri yang lebih parah: silent profile.

Diam memang bisa menghanyutkan. Dan pepatah itu hanya ada di Indonesia.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia