Gara-gara dan Sindung Riwut

Wartawan senior Hendro Basuki. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Hendro Basuki

DALAM enam bulan terakhir, paling tidak terjadi 3 kali angin besar melanda Surakarta. Atau kota yang lebih mudah diingat sebagai Solo.

Cara orang Jawa kuno melihat keadaan, sering menggunakan landasan simbol-simbol tertentu. Tentu saja, pendekatan seperti ini tidak bisa diterima secara ilmu pengetahuan. Tetapi, meski katanya orang Jawa telah berubah lebih modern, faktanya masih banyak masyarakat yang menggunakan pendekatan tanda-tanda (sasmita) sebagai pijakan melihat atau mengamati sesuatu.

Begitu banyak orang (Jawa) percaya bahwa lintang kemukus (komet) adalah salah satu penanda akan munculnya tragedi besar. Misalnya, lintang kemukus yang terjadi pada 18 September 1965. “Dha ati-ati Le, arep ana  gara-gara gedhe,” sayup-sayup kuingat para tetangga sepuh menasehati.

Dan, 30 September 2023 pecah tragedi. Ah, kebetulan! Tetapi yang lain menjawab, tidak ada kebetulan di dunia ini.

Jauh sebelum itu, sebelum pecah Perang Dunia I, juga nampak lintang kemukus yang besar sekali. Sesaat kemudian perang besar terjadi.

Para empu, ahli membaca alam, dan para wicaksana  menggunakan tanda alam untuk membaca apa yang akan terjadi. Lahirnya tokoh-tokoh besar yang mengubah dunia juga sering ditandai dengan meletusnya gunung-gunung besar. Gunung Kampud (Kelud) meletus 22-23 Mei 1901 yang kemudian lahirlah Putra Sang Fajar, Ir Soekarno.

Jauh sebelumnya, seperti disebutkan dalam buku-buku kuno seperti Pararaton dan juga Negarakretagama, bahwa lahirnya pemimpin atau raja besar ditandai dengan peristiwa alam yang tidak biasa. Dalam Kakawin Nagarakretagama Pupuh I / 4, dinyatakan kelahiran Hayam Wuruk pada tahun saka 1256 atau 1334 Masehi. Kelahiran itu didahului peristiwa alam, di antaranya gempa bumi, sebagai isyarat kebesaran jabang bayi yang akan dilahirkan.

Dalam dunia wayang, setiap peristiwa alam yang besar hampir selalu dibaca sebagai sastra cetha (isyarat kuat) akan terjadinya peristiwa alam. Gempa besar di Jogja pada menjelang akhir Mei 2006 ditandai dengan langit bergaris merah di atas Laut Selatan beberapa hari sebelumnya. Kebetulan? Mungkin.

BACA JUGA: Puncak Pengorbanan Putra Arjuna, Wisanggeni!

Dalang memberi ilustrasi yang sangat cantik lewat suluk-suluk bernuansa magis sesaat lahirnya Gara-Gara (Goro-Goro) yang sangat disukai penggemar wayang.

Gara-Gara

Pada awalnya, adegan Gara-Gara hanya ada di lakon tertentu seperti pada Lakon Begawan Mintaraga, dan juga Kresna Njaluk Kunci Swarga.

Ki Dalang Nartosabdo lah yang memulai awal memainkan Gara-Gara di setiap lakon. Dimulai sejak tahun 1961.
Gara-Gara semula hanya dimainkan untuk lakon-lakon sakral. Kemudian diberikan sentuhan yang lebih lucu agar penonton tidak tegang sepanjang malam.

BACA JUGA: Cinta Krisna untuk Samba, Anaknya yang Berbuah Petaka

Candrane Gara-Gara, “Bumi gonjang-ganjing, tangise bumi klawan langit tan ana bedane. Tangise bumi sedina lindhu kaping wolu,jagad padha den tapeni, nganti akeh para kawula kan tintrim. Ana ketiga dawa, lemah bengkah, gludug mangampak, panjerite sapi gumarang, asu ajag katon bisa mbulakaken pagebluk. Dan seterusnya. (Ki Hadi Sugito dalam lakon Janaka Catur).

Artinya, gambaran gara-gara bumi bergetar, langit bergoyang dan suara-suara mengeluh, satu hari terjadi gempa delapan kali, alam diguncang hingga menyebabkan ketakutan, musim kemarau panjang, tanah merekah, berdebu, teriaknya sapi, dan serigala menyebabkan terjadinya wabah penyakit.

Di beberapa lakon, Mbah Ki Narto menggambarkan datangnya bencana yang didahului dengan angin besar yang biasa disebut Sindung Riwut. Orang Jawa membedakan angin dengan beberapa kategori. Misalnya Maruta, atau Bayu,  angin biasa.

Angin semilir menyejukkan disebut Samirana. Angin besar yang membawa bencana dan isyarat alam Sindung Riwut. Angin ini bisa datang kapan saja, bisa siang, malam bahkan di pagi buta. Dalam dunia wayang, semua angin itu dalam kendali Dewa Bayu. Ini dewa yang tugasnya menyampaikan pesan-pesan simbolik kahyangan.

Meski pun dipandang sebagai fiksi, tetapi di tangan para dalang Jawa, dalam lakon wayang disisipkan ajaran-ajaran filsafat Sangkan Paraning Dumadi (hidup dari mana mau ke mana?) atau kearifan lokal manusia Jawa lainnya. Oleh sebab itu, banyak sekali lakon yang merupakan kreativitas dan improvisasi dalang. Bahkan, banyak sekali tokoh-tokoh wayang yang tak ada dalam teks Ramayana, atau pun Mahabarata.

Suluk

Suluk-suluk yang diucapkan para dalang merupakan improvisasi dan kreativitas yang tidak tertemukan dalam buku utama. Misalnya,

Ada-ada Bima mlumpat (2)

Manganjur lakuning angin, guntur agraning arga, gora gurnita kagiri-giri, horêg bumi prakêmpita, padhola mangambak-ambak, udan dêrês wor lan lésus, sindhung riwut magênturan, situ-situ banda layu.

(Menindih gerak lajunya angin, runtuh pucuknya gunung, suara guruh menggelegar menakutkan, bumi berguncang seperti gempa ,debu bertebaran berterbangan, hujan deras bercampur dengan angin topan, prahara tak henti-hentinya , tanggul dan bendungan hancur.)

Atau yang lain.

Ada-ada Jugag (1)

Pandhita akarya wangsit,
pindha kombang angajab ing tawang, susuh angin ngêndhi nggoné, myang galihing kangkung,
isining wuluh wungwang.

Begawan memberi pengetahuan (wangsit), seperti kumbang berdoa di angkasa, sarang angin di manakah tempatnya, juga hati -tanaman- kangkung, isi dari seruas bambu kosong.

Untuk mencari Tuhan, itu harus menjawab pertanyaan susuhe (sarangnya) angin itu ada di mana, dan hatinya kangkung (suyuran menjalar) itu ada di mana.

Suluk tersebut sepenuhnya ajaran makrifat dan membutuhkan pengalaman spiritual panjang untuk menemukan jawabnya.

Beberapa dalang mampu mengurai alam dengan menggunakan referensi tafsir Abu Abd al-Rahman Al-Sulamī (w. 412 H). Beliau ini dikenal sebagai seorang ulama sufi besar.

Dalam ranah tasawuf, ia merumuskan tasawuf sebagaimana dalam al-muqaddimah fi al-tasawwuf dan menulis biografi para ahli sufi dalam kitabnya Thabaqat al-Sufiyyah.

Peristiwa-peristiwa alam yang tidak biasa itu menghadirkan tafsir yang beragam. Boleh saja suatu peristiwa ditafsir sebagai sesuatu yang biasa. Atau ada sesuatu isyarat. Atau pula (mungkin) akan terjadi prahara. Latar belakangnya bisa macam-macam. Bisa dengan alasan yang seolah-olah ilmiah tapi miskin referensi, ilmiah beneran seperti kata para ahli, atau menggampangkan untuk menghindari diskusi panjang, atau alasan-alasan yang lain.

Sedangkan pandangan sebagian masyarakat Jawa, masih percaya bahwa pasti Tuhan memiliki rencana atas sesuatunya. Jika semua peristiwa di dunia ini terjadi karena Allah, maka terjadinya angin besar yang tidak biasa bisa dimaknai pasti bukan kebetulan.

Dalam melihat Sindung Riwut yang sudah beberapa kali terjadi di Solo, diyakini itu bukan peristiwa biasa.
Pada 2 April 2023 lalu, pohon ringin di alun-alun utara tumbang. Lalu 24 Oktober 2023, beberapa pohon tumbang. Dan, terakhir 11 November 2023, sekitaran Balai Kota Solo patung-patung berguguran.  

Apa yang akan terjadi, semua ada di tangan Allah SWT. Wallahualam bi sawab.*

Penulis adalah wartawan senior bermestautin di Jawa Tengah