Oleh Dahlan Iskan
JANGAN-JANGAN sudah banyak yang lupa: salah satu tugas media adalah pencatat sejarah.
Media mencatat: “cinta pertama” Jokowi adalah Ganjar Pranowo. Ia tahu pengganti dirinya harus dari PDI-Perjuangan. Harus nasionalis. Tapi juga harus punya potensi terpilih. Dan yang terpenting: harus mau meneruskan program pembangunannya.
Ganjar ia nilai memenuhi tiga syarat itu. Tapi ia tahu tidak mudah mengawinkan Ganjar. Pelaminannya milik Megawati Soekarnoputri.
Media mencatat: Megawati menginginkan pelaminan itu untuk Mbak Puan, putrinyi.
Media mencatat: Mbak Puan hanya memenuhi satu dari tiga syarat di atas: syarat pertama. Syarat kedua masih jauh. Syarat ketiga masih belum tentu.
Media mencatat: Jokowi ingin memaksakan Ganjar naik pelaminan. Lewat cara yang pernah ia tapaki: popularitas-elektabilitas Ganjar harus tertinggi. Ganjar harus terus bergerak. Jokowi membantu pergerakan itu. Ganjar pun kian populer.
Media mencatat: Megawati tidak berkenan dengan manuver Ganjar. Dianggap mencuri start. Disindir-sindir. Sampai tidak diundang dalam pertemuan partai. Tapi Ganjar terus bergerak. Pendukungnya kian besar. Kian fanatik. Sampai Ganjar dianggap kian mbalelo pada partai. Bahkan dianggap bukan lagi banteng. Sudah jadi celeng.
Media mencatat: sebagian pendukung menginginkan Ganjar tidak surut. Kalau perlu melawan. Jokowi juga terus mempromosikannya. Pendukung Ganjar pun sampai membuat reaksi: gerakan celeng. Lagu Celeng Degleng pun viral.
Media mencatat: popularitas Ganjar naik terus. Popularitas Mbak Puan seperti berhenti di sekitar 2 persen.
Media mencatat: tiba-tiba Megawati menaikkan Ganjar ke pelaminan. Justru di hari kejepit: menjelang Lebaran. Jokowi pun sudah telanjur pulang ke Solo. Mau Lebaran di kampung halaman.
Media mencatat: Jokowi seperti sangat buru-buru datang ke depan pelaminan itu. Lalu buru-buru pula pulang ke Solo. Sudah mepet Lebaran.
Media mencatat: pulang dari pelaminan Jokowi satu mobil dengan Ganjar. Juga satu pesawat. Pembicaraan sangat pribadi tentu terjadi sepanjang perjalanan yang begitu jauh. Begitu lama.
Media TIDAK mencatat: apa isi pembicaraan di mobil dan di pesawat tersebut. Inilah peristiwa sejarah penting yang tidak ada di catatan media.
Tentu tidak mudah media mengendusnya. Satu-satunya yang mendengar pembicaraan itu hanyalah ajudan presiden. Itu pun duduknya di kursi depan. Tentu ada juga sopir. Tapi konsentrasinya di jalan raya.
Kesan publik yang dimunculkan di media: keduanya baik-baik saja. Buktinya pulang dari pelaminan satu mobil. Bahkan satu pesawat.
Maka satu rantai catatan sejarah pun bogang. Ibarat susunan gigi, ada satu gigi yang masih hilang.
Mungkin Ganjar yang akan mengungkapkannya. Kelak. 30 tahun lagi. Atau mungkin Jokowi sendiri tidak lama lagi. Atau sepenggal sejarah itu hilang mereka bawa mati.
Rumor yang justru mencatatnya: sebelum ke pelaminan itu Ganjar menandatangani semacam piagam kesetiaan hanya kepada Megawati –sebagai ketua umum partai. Tapi rumor bukan catatan sejarah. Bukan kebenaran.
Apalagi rumor tidak ada yang berbentuk catatan. Ia beredar luas di kalangan politisi. Dalam bentuk bisik-bisik. Tidak bisa dipastikan kebenarannya. Belum ada media yang mengubahnya menjadi catatan sejarah.
Media mencatat: Erick Thohir termasuk yang dipromosikan oleh Jokowi menjadi salah satu calon wakil presiden. Seperti juga Ganjar, Erick pun bergerak ke mana-mana. Ke segala arah. Sampai ikut ujian untuk dapat status anggota Banser –bersertifikat. Juga sampai ke toilet-toilet rest area. Pun sampai bilik-bilik ATM.
Tingginya popularitas Ganjar ditambah dukungan Erick lewat Banser dan bintang sembilannya, ditambah lagi logistiknya, bisa jadi hanya perlu satu putaran Pilpres. Dengan demikian PDI-Perjuangan tetap berkuasa, program Jokowi berlanjut.
Tapi sejarah punya maunya sendiri. Megawati punya mau sendiri.
Kemauan Jokowi pun kalah.
Tapi ia punya mau.
Media mencatat: kita kembali punya tiga pasangan capres-cawapres. Kembali boros. Kembali berlarut. Memperpanjang ketidakpastian.
Media TIDAK mencatat: benarkah Jokowi masih punya usaha terakhir: yakni menggabungkan Prabowo (capres) dan Ganjar (cawapres). Rumornya sangat luas. Tapi tidak ada catatan di media apakah itu benar. Apalagi Ganjar sudah telanjur naik pelaminan sebagai capres.
Kesadaran media sebagai pencatat sejarah terlihat menurun. Jangan-jangan ini akibat pengaruh medsos yang serbainstan.
Jangan-jangan medsos juga yang membuat orang lupa salah satu fungsi media adalah pencatat sejarah. Media seolah sudah berubah menjadi alat fitnah-fitnah yang dahsyat. Padahal fitnah lebih kejam daripada bukan fitnah.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia