Oleh Dahlan Iskan
HARI ketiga masa kampanye capres kemarin saya ke Blitar. Tepatnya ke Udan Awu, lereng selatan Gunung Kelud.
Pak Man sakit. Umur 78 tahun. Operasi batu ginjalnya sudah sukses di RSI Surabaya. Tinggal fisioterapi. Pilih di rumah anaknya –meski sudah puluhan tahun tinggal di rumah kami.
Di tengah jalan muncul berita duka: Eddy Rumpoko meninggal dunia. Ia wali kota Batu dua periode. Periode ketiganya dijabat istrinya: Dewanti. Berakhir Desember tahun lalu.
Maka dari Udan Awu saya langsung ke Batu. Lewat Pare-Ngantang-Pujon.
Di tanjakan Ngantang ngo-eng ngo-eng ambulan minta jalan. Itulah ambulans yang membawa jenasah almarhum. Dari arah Semarang. Eddy memang meninggal di Semarang. Kemarin subuh. Di RSUD dr Karyadi.
Sakitnya tidak lama. Tidak sampai satu malam. Menurut teman-teman dekatnya, Eddy salah makan. Malam itu Eddy makan terlalu pedas. Mungkin makanan kiriman dari luar. Bukan makanan jatah dari penjara.
Setelah makan Eddy diare. Tidak kunjung reda. Lalu dilarikan ke rumah sakit. Eddy tidak sadarkan diri. Dimasukkanlah ke ICU. Sekitar jam 5 pagi Eddy meninggal. Umur 63 tahun.
Sebenarnya Eddy sudah hampir menyelesaikan masa hukumannya yang 5 tahun. Tapi ada vonis baru. Perkara suap yang lain. Ia dijatuhi lagi hukuman. Lebih berat: 7 tahun.
Ketika saya tiba di rumah duka, pelayat tinggal beberapa. Jenazah sudah dibawa ke masjid besar Batu: Masjid Sugijono. Wali Kota Eddy yang membangun masjid itu. Sugijono adalah ayahnya.
Sang ayah adalah tokoh besar di Malang. Sampai dipanggil Ebes. Ia wali kota Malang yang sangat legendaris. Tidak ada jalan berlubang. Tidak ada genangan. Olahraga maju. Arema berdiri. Thomas Americo jadi juara tinju. Maraton Malang jadi kalender tetap. Klub basket Bima Sakti menambah harga diri.
Sugijono adalah tentara yang tegak lurus. Pandangan matanya tajam. Diam. Sulit tersenyum. Ketika bertugas di Manado mata tajam itu berhasil menggaet gadis Minahasa. Eddy Rumpoko adalah anak pertama mereka.
Sugijono juga penggagas berdirinya batalyon 504 Sikatan –pasukan pemukul Kodam V/ Brawijaya. Pangkat terakhirnya: Brigjen. Jabatan terakhirnya: Wagub Papua.
Saat bertugas di Timor Timur Sugijono mengangkat anak Thomas Americo. Saat di Papua Sugijono melahirkan begitu banyak pemain sepak bola Papua.
Eddy Rumpoko mewarisi jiwa jagoan bapaknya. Eddy aktif di berbagai organisasi: sepak bola, tinju, renang, Kadin, Hipmi, Pemuda Panca Marga, FKPPI, AMPI, sampai ke Pemuda Pancasila. Ia ketua Pemuda Pancasila Jatim.
Partainya: PDI-Perjuangan. Eddy adalah salah satu dari beberapa kepala daerah yang berprestasi dari PDI-Perjuangan: Banyuwangi, Surabaya, Kulonprogo, Semarang. Rasanya belum ada partai lain yang punya kepala daerah sehebat mereka.
Eddy-lah yang mengubah kota Batu. Dari kota kebun tradisional menjadi kota wisata yang jadi buah bibir. Rakyat Batu mengakui itu. Mereka sampai pada tingkat memuja Eddy.
Istrinya sebenarnya berhasil mempertahankannya.
Tapi melihat nasib suami berakhir di bui, Dewanti tidak mau lagi maju untuk periode kedua nanti.
Dari rumah duka saya tidak menyusul ke masjid. Bisa jadi jenazah sudah berangkat ke makam ketika saya tiba di masjid. Hujan turun dengan lebatnya. Saya memutuskan langsung ke makam. Mencegat jenazah di sana.
Saya melarang istri turun dari mobil. Tidak usah ikut ke makam. Hujan luar biasa derasnya. Payung hanya satu. Lebih baik saya pakai sendiri.
Ada dua tenda di dekat liang lahat. Besar dan kecil. Tenda kecil tepat di atas liang lahat. Tenda besar berjarak 10 meter. Dua-duanya penuh dengan orang yang takut kuyup.
Saya pilih di bawah tenda besar. Penuh. Berjejal. Semua takut tempias. Tidak mungkin bisa menyalami istri maupun ibu almarhum.
Saat lagi mencari kesempatan menyapa keluarga, seseorang menarik saya: harus pindah ke tenda kecil. Jenazah sudah akan tiba.
Maka di bawah hujan lebat jenazah masuk area makam. Sejumlah tentara baret hijau mengusungnya. Membawanya ke liang lahat. Bendera besar merah-putih menaungi jenazah di saat memasuki rumah masa depan.
Ketika tanah selesai ditimbunkan istri dan anak-anaknya diminta mendekat makam. Jadilah saya bersama mereka. Saling sapa. Saya ucapkan pula kalimat duka. Mungkin tidak terdengar seberapa. Kalah dengan air hujan yang begitu gemuruhnya.
Talkin pun dibacakan sepenuhnya dalam bahasa Arab. Panjang sekali. Lalu tabur bunga. Selesai.
Sampai meninggalkan Taman Makam Pahlawan Batu itu saya belum berhasil mendapat keterangan: mengapa dimakamkan di TMP. Lima pejabat daerah yang saya tanya juga menjawab entah kenapa.
Yang jelas Eddy masih tetap di hati warga Batu. Merekalah yang konon memintanya. Memang Eddy-lah yang berhasil mengubah Batu.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia