Oleh Dahlan Iskan
DEBAT calon presiden kemarin kalah seru dengan tawar-menawar di antara 200 negara yang hadir di COP28 Dubai.
Sampai hari terakhir, pertemuan puncak pemanasan global PBB itu belum mencapai kesepakatan. KTT sampai harus menambah waktu satu hari. Diplomasi antar negara berlangsung seperti bola pingpong di banyak meja.
Persoalan tersulit adalah: 1) Kata energi fosil. 2) Energi fosil dihentikan atau dikurangi. 3) Emisi harus 0 di tahun 2050. 4) Pemanasan global hanya boleh naik lagi maksimal 1,5 derajat celsius.
Setelah penutupan diundur ke Rabu kemarin, kesepakatan akhirnya dicapai. Banyak delegasi menilai hasil COP28 di Dubai ini konkret sekali. Langkah baru. Lebih tegas.
Sejak COP di Paris tahun 2015 baru di COP28 ini langkah nyata terlihat. Dubai dapat nama besar. Apalagi Dubai dikenal sebagai negara yang berhasil maju berkat energi fosil. Kok bisa KTT pemanasan global mendapat kemajuan di UEA.
Selama 8 tahun terakhir KTT tahunan itu lebih banyak muter-muter di lingkaran setan. Bahkan mencantumkan kata “energi fosil” saja tidak bisa. Kesepakatan akhir KTT COP selalu tanpa penyebutan “energi fosil”.
Negara penghasil minyak memang selalu menentang penyebutan kata “energi fosil”. Begitu kata itu disebutkan, pintu masuk memang seperti terbuka: energi fosil sebagai tertuduh utama penyebab terjadinya pemanasan global.
Di Dubai untuk kali pertama kata “energi fosil” masuk dalam pernyataan akhir.
Bukan main meningkatnya kesibukan di KTT di hari terakhir. Orang seperti John Kerry, utusan Amerika Serikat, jadi bola pingpongnya. Pun Sultan Jaber dari UEA. Jerih payah mereka berhasil. John Kerry sudah meraih Hadiah Nobel Perdamaian di peran pentingnya di Paris. Sultan Jabir punya potensi untuk diusulkan berikutnya.
Kesepakatan lain adalah masuknya kata “penggunaan dan produksi energi fosil harus diturunkan”. Kata “diturunkan” memang tidak sekeras “dihentikan”, tapi dianggap sudah sangat konkret dibanding hanya kata-kata mengambang sebelumnya.
Memang Kelompok 100 Negara ngotot agar digunakan kata yang lebih tegas dan keras: “dihentikan”. Maksudnya: penggunaan energi fosil harus dihentikan. Tapi kelompok negara penghasil minyak menentangnya dengan sangat keras.
“Komandan” kelompok ini adalah Arab Saudi. Didukung oleh Iran dan Iraq. Mereka mengerahkan juru lobby ke arena KTT.
UAE sebenarnya di kelompok ini. Tapi UAE paling siap untuk beralih ke green energy. Toh waktunya masih cukup panjang untuk menyiapkan diri: 2050.
Ketika itu nanti Sultan Jaber akan berumur 76 tahun — Insya Allah masih mengalaminya. Juga Anies Baswedan (80 tahun), Ganjar Pranowo (81 tahun), dan Prabowo Subianto seumur dengan saya: 101 tahun.
Kelompok lain lagi adalah negara-negara Afrika. Mereka setuju saja dengan penurunan penggunaan energi fosil. Tinggal siapa yang harus lebih dulu memulainya.
Mereka minta negara-negara industri majulah yang memulai lebih dulu. Maksudnya: negara-negara itu sudah lama menikmati berkah energi fosil. Kemajuan mereka saat ini pun berkat penggunaan energi fossil yang berlebihan di masa lalu — ketika Afrika belum tahu cara menggunakannya.
Berilah kesempatan Afrika untuk sempat ikut menikmati berkah itu.
Kelompok satu lagi adalah negara-negara pulau kecil. Negara-negara inilah yang paling terancam musnah dari peta. Akibat pemanasan global. Perubahan iklim membuat air laut naik. Banyak pulau rendah akan tenggelam.
COP28 memberi arah baru ke COP-COP tahun mendatang. Tahun 2030 emisi harus berkurang sebanyak 45 persen dari sekarang.
“Dalam perjuangan 30 tahun, baru sekarang hasilnya lebih nyata,” ujar John Kerry –saat itu nanti berumur 106 tahun.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia