Oleh Dahlan Iskan
SABTU-MINGGU: dua hari yang istimewa. Sabtu senam di Candi Prambanan, Minggu kemarin di Breksi. Berjarak hanya 7 kilometer.
Saya tidak menyangka Breksi sebagus ini.
Inilah tempat wisata baru: milik desa Sambirejo. Masih masuk kecamatan Prambanan, Sleman. Lokasinya di tanah kas desa. Pengelolanya paguyuban orang desa. Sebagian hasilnya untuk modal BUMDes. Ketuanya: Kholiq Widianto.
Kholiq lahir di situ. Sekolah di situ. Waktu SMP sudah bekerja sebagai penggali batu di situ: di satu bukit yang batunya berwarna abu-abu. Orang desa Sambirejo menyebutnya batu putih.
“Baru tahun 1990-an kami tahu nama ilmiah batu ini. Yakni batu Breccia,” ujar Kholiq yang kini 42 tahun.
Dari kata breksia itu lantas menjadi breksi. Jadilah bukit batu itu bernama bukit Breksi. Ketika bukit itu diubah menjadi tempat wisata namanya pun populer dengan sebutan Tebing Breksi.
Di Tebing Breksi itu saya dan 122 anggota sport dance berolahraga. Riang gembira. Sejak pukul 06.00. Di udara pagi yang sejuk. Di balik tebing batu yang masif. Di pelataran teater terbuka yang serbabatu. Panggungnya batu. Backdrop-nya batu. Tower kanan-kirinya batu. Tempat duduk melingkarnya batu.
Kami pun menyebar. Sebagian besar di pelataran. Para pelatih, 20 orang, di panggung. Sebagian lagi di tempat duduk melengkung. Satu orang di atas tower kiri. Satu lagi di atas tower kanan. Kalau saja kami membawa drone akan bisa membuat video yang dramatis.
Masih ada spot lain yang lebih menarik untuk dinikmati. Juga untuk spot foto. Bukit di balik bukit tempat senam ini. Bukit batunya sudah dibentuk sebagai objek wisata.
Inilah tempat wisata alam yang menjadi lebih bagus oleh campur tangan manusia. Idenya mungkin dari rekayasa bukit di Bali yang menjadi kawasan Garuda Wisnu Kencana.
Untunglah ada temuan ilmiah: bukit batu di desa Sambirejo itu ternyata bukan sembarang batu. Itu batu yang terbentuk dari lahar kuno. Harus dilindungi. Jadi perhatian dunia.
Di zaman prasejarah ternyata ada gunung berapi di sekitar Sambirejo. Meletus. Memuntahkan lahar. Sekian juta tahun kemudian jadi batu Breccia.
Saya naik ke tower sebelah kiri panggung. Ikut ber-sport dance di puncaknya. Terlihat kota Jogjakarta di bawah sana. Terlihat pula Candi Prambanan di sebelah utara.
Perhatian saya juga tertarik pada seonggok batu di puncak tower ini. Saya heran: mengapa ada satu bongkah batu di situ. Arena untuk sport dance pun jadi terasa sempit untuk berdua. Maka saya pinggirkan batu itu. Saya angkat.
Saya pun kaget: batunya ringan sekali. Tiwas saya persiapkan tenaga penuh untuk mengangkatnya.
Itulah ternyata keunggulan batu Breksi Sambirejo. Kuat, solid tapi ringan. Dari sini saya baru tahu mengapa batu Breksi banyak dicari para pematung. Bahkan pematung di luar negeri.
“Satu meter kubik beratnya hanya 1 ton,” ujar Kholiq. Berarti hanya sepertiga berat batu pada umumnya.
Kholiq masih ingat saat ia masih jadi penambang batu di situ. Ada pesanan satu bongkah dengan ukuran 1x1x3 meter. Tingginya yang tiga meter. Ia mendengar bongkahan itu akan jadi patung dua tentara yang lagi menembak.
Bagian dalam Candi Prambanan pun, kata Kholiq, terbuat dari batu dari Sambirejo. Berarti sejak abad ke 4 atau 5 batu Sambirejo sudah terkenal punya kelebihan khusus: ringan, solid, kuat.
Kholiq juga masih ingat bagaimana mengerjakan pesanan 1x1x3 itu. Ia kerjakan selama 10 hari. Ia ke tebing bukit itu. Bersama 10 orang pekerja lainnya. Ia pahat tebing. Sampai ia dapatkan batu utuh dengan ukuran tersebut.
Desa Sambirejo pernah bergelar desa termiskin di Sleman. Lebih 100 orang mata pencahariannya dari menggali batu. Tidak perlu izin siapa-siapa. Itu bukit milik desa. Luasnya 23 hektare.
Setelah diketahui nilai sejarahnya, terbitlah larangan menggali batunya. Rakyat kehilangan pekerjaan. Kholiq pun jadi sopir truk. Ia ikut jejak ayahnya yang juga sopir truk.
Sultan Hamengkubuwono lantas memutuskan: menjadikan bukit Sambirejo sebagai objek wisata desa. Kementerian Pariwisata turun tangan. Demikian juga kementerian BUMN di zaman Rini Soemarno. Pun Kementerian PUPR. Tahun 2015 mulailah dibangun. Dengan dana Rp 15 miliar.
Desa sendiri mencurahkan jatah dana desanya untuk proyek ini. Total menghabiskan Rp 30 miliar. Jadilah Tebing Breksi tempat wisata yang sangat menarik.
Dari atas tower saya mengagumi desain dan pengerjaan proyek ini. Tidak kaleng-kaleng. Ada kolam besar di sebelah arena. Saya pun bertanya dari mana air itu.
“Itu air hujan. Tidak bisa habis. Lantai dasarnya batu yang solid,” kata Kholiq.
Kolam itu dalamnya 4 meter. Bukan kolam buatan. Itu kolam yang terjadi begitu saja karena batunya terus di gali di masa lalu.
Sultan Yogyakarta sukses mengatasi kesulitan ekonomi di desa. Melarang menggali batu dilengkapi jalan keluarnya. Melarang mudah. Mencarikan jalan keluar sulit. Tapi tidak sulit bagi Ingkang Sinuhun.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia