Ulas Sajak Abah Alia Sang Pencinta Kekasih dalam ‘Menggenggam Batu’
Oleh Muchid Albintani
***
mudah bagimu menggenggam batu menjadi emas
tapi kau pilih batu jadi pengganjal perut nan lapar
mudah bagimu menggenggam batu menjadi intan
tapi lebih kau pilih donasi dari usman
mudah bagimu menggenggam batu menjadi zamrud
tapi lebih kau pilih butiran kurma dari kuli panggul
mudah bagimu menggenggam batu menjadi safir
tapi lebih kau pilih menjadi musafir nan fakir
musafir bersama fakir bukan para kikir
merengkuh hamparan bumi menebar cinta tak bertepi
mudah bagimu menggenggam batu menjadi …
***
Buku sajak ‘Rindu Dini’adalah reflektif karakter kesufian seperti juga Abah Alia Sang Pencintah Kekasih. ‘Rindu Dini’ sesungguhnya sebuah refleksi kerinduan ilahiah seseorang dalam kehampaan tragis yang tak kesampaian. Umpama seorang sufi yang galau dalam kesufian tersebab rasa tak percaya diri yang berlebihan. Keraguan yang menunpuk dari hari ke hari. Keraguan menggumpal menjadi rindu pada Sang Maha Pengasih.
Dunia itu sesungguhnya adalah kehidupan yang memperdayakan. Ibarat penyair nasional asal Riau, Mosthamir Thalib yang tak sanggup mengulas sajak ‘menggenggam batu’ sang pencinta kekasih Abah Alia. Menggenggam batu safir permata nan indah mengkilau. Dunia pun begitu. Kilauan yang memperdayakan. Membuat hampir merata manusia tersungkur bernafsu ingin memilikinya.
BACA JUGA: Rindu Cikgu Terangkum dalam ‘Rindu DINI’
Begitupun mencintai [rasa cinta hakiki], sesungguhnya adalah peristiwa pergulatan rindu awal atau dini pada ‘sang kekasih’. Dalam bahasa ‘ubud dunia’, sang kekasih adalah meteri perhiasan yang menggoda.
Namun, sejumput rindu awal hingga air yang terelaborasi menjadi kalimat hikmah ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (Albaqarah: 156) menyadarkan sang sufi. “Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah kita akan kembali.”
Dalam kalimah hikmah sederhana, buku sajak ‘Rindu Dini’ menyebutnya dengan istilah ‘dari lubang kembali ke lubang’. Lubang awal membunyikan kalimah. Lubang akhir menyimpan hikmah.
Kredo ‘dari lubang kembali ke lubang’ sesungguhnya reduplikasi kehidupan modern nan hedon. Dalam makna ‘sang pencinta kekasih’ secara misterius berubah. Semua materi adalah ‘Rindu Dini’. Seperti juga Abah Alia dalam ‘menggenggam batu’ pada kedinian rindu-nya buat ‘Sang Maha Pengasih’. Seperti sajak berikut:
Di ‘Penghujung’
Di penghujung harap
apa yang ku dapat?
satu pertanyaan yang tak akan terjawab
Di penghujung hendak
apa yang ku ingin?
satu jawaban yang tanpa pertanyaan,
mimpi,
mungkin?
Di penghujung angan
apa yang ku khayal?
Kau pasti tahu jawabnya
Di satu muharam
di penghujung 1444, dan awal 1445 hijriyah
upaya dan doa ku belum terkabul,
Kau tetap saja tak menyapa?
Pekanbaru, Penghujung Desember 2023
Muchid Albintani lahir di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Sajak-sajaknya terbit dalam antologi, “Menderas Sampai Siak” (2017). “Ziarah Karyawan” (2017). “Segara Sakti Rantau Bertuah Antologi Puisi Jazirah 2” (2019). “Paradaban Baru Corona 99 Puisi Wartawan Penyair Indonesia” (2000). Baca sajak Lantera Puisi V 2018 di Singapura. Buku sajaknya “Rindu Dini” (2015), dan “Revolusi Longkang” (2017).
Buku terbarunya, “Teori Evolusi Dari Ahad Kembali Ke Tauhid Esai-Esai Akhir Zaman” (Yogyakarta: Deepublish,2021). “Terapi Virus Cerdas Berbangsa Bernegara” (Yogyakarta: Deepublish, 2022).
BACA JUGA: Menggenggam Pasir
Saat ini berkhidmat sebagai pensyarah Pascasarjana Ilmu Politik: Manajemen Pemerintahan Daerah dan Hubungan Internasional, Ilmu Administrasi, Ilmu Komunikasi dan Program Doktor Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau.
Pernah menjadi Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) dan Philosophy of Doctor (PhD) dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.
Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH), Indonesia juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) Montreal, Canada.
Pernah berkhidmat sebagai wartawan di Riau Pos Grup, Redpel Majalah Budaya Sagang, Koresponden Harian Bisnis Indonesia, dan Koresponden Majalah Mingguan Tempo di Malaysia.*