Oleh Dahlan Iskan
ISRAEL kini sudah membicarakan bagaimana wujud Gaza setelah perang selesai. Debat masih seru. Antar politisi beda sayap. Saling berbantah.
MER-C juga sudah membicarakan bagaimana nasib Rumah Sakit Indonesia pasca perang. Terutama karena RS Indonesia itu kini rusak akibat serangan Israel. “Kami merencanakan untuk memperbaikinya,” ujar dokter Sarbini Abdul Murad, ketua presidium MER-C. “Agar bisa segera dipakai lagi,” katanya.
RS Indonesia dibangun oleh MER-C. Dari dana masyarakat Islam Indonesia. Terbesar kedua di Gaza. Kapasitasnya lebih 200 tempat tidur pasien.
Dulu RS Indonesia 2,5 lantai –termasuk basement. Belakangan MER-C menambah dua lantai lagi ke atas.
Basement itu hasil kompromi. Awalnya tanpa basement. Pihak Palestina minta. Sekalian untuk perlindungan kalau ada serangan. MER-C sebenarnya keberatan. Biaya membuat basement mahal.
Basement inilah yang oleh Israel dianggap sebagai bunker. Pejuang Hamas dianggap menjadikan bunker itu sebagai perlindungan dari kejaran. Maka Israel menganggap sah membombardir Rumah Sakit Indonesia. Padahal, kata dokter Ben –panggilan Sarbini sehari-hari– basement itu untuk menyimpan obat-obatan.
Ada tuduhan lain ke RS Indonesia: jadi pusat pembuatan senjata Hamas. Bukti yang diajukan: sering ada kiriman minyak solar ke rumah sakit tersebut. “Kami memang punya stok solar relatif banyak. Agar rumah sakit tetap bisa berfungsi saat daerah sekitarnya mati lampu,” ujar dokter Ben.
RS Indonesia juga punya sumber air sendiri. Cukup besar. “Kami bor tanah sampai 100 meter. Airnya sangat baik,” ujar dokter Ben. Belum lagi peralatan medisnya. “Semua yang terbaik di Gaza,” katanya. “Termasuk peralatan MRI-nya,” tambahnya.
Untuk membeli peralatan medis saja menghabiskan, waktu itu, Rp 75 miliar. Lebih besar dari biaya membangun fisik RS-nya sendiri: Rp 60 miliar. Begitu besar hasil pengumpulan dana receh dari umat Islam Indonesia.
Semua tuduhan Israel itu diklarifikasi dengan baik. Apalagi MER-C tidak mengoperasikan rumah sakit itu.
MER-C menyerahkan RS Indonesia ke pemerintah Palestina. Bukan ke Hamas. Bukan ke Fatah. Bukan ke kelompok politik lain di Palestina. Pengelolaan RS tersebut sepenuhnya oleh pemerintah setempat.
Sejak diserahkan, nama Indonesia tidak diganti. Mereka juga mempertahankan nama-nama khas Indonesia lainnya. Misalnya nama-nama ruangan. Tiap ruang diberi nama pulau-pulau yang ada di Indonesia. Ads Ruang Jawa, Ruang Sumatera, Ruang Sulawesi, dan seterusnya. Guest house-nya diberi nama Wisma dr Joserizal.
Itu untuk mengabadikan nama dokter Joserizal, pendiri dan ketua presidium MER-C yang pertama. Nama Joserizal sangat legendaris di MER-C. Ia lulusan SMAN 2 Padang yang masuk FK Universitas Indonesia. Ayahnya profesor, pun ibunya. Sang ayah seorang wartawan sebelum akhirnya menjabat rektor Universitas Andalas, Padang.
Almarhum Jose-lah yang sering ke Gaza –pun ketika sudah sakit-sakitan.
Apakah pemerintah Indonesia tidak ikut menyumbang? Tidak. Pemerintah sudah menyumbang Palestina Rp 2 miliar. Uang itu diserahkan ke Bank Pembangunan Islam (IDB). MER-C pernah berusaha mendapatkan uang tersebut. Khususnya saat kepepet harus membayar kontraktor. Tapi IDB sudah telanjur mengalokasikannya ke RS As Sifa, di Gaza bagian tengah.
Ada cerita lucu saat membangun RS Indonesia. MER-C melihat: alat untuk membangunnya dibeli dari Israel. Pun bahan-bahannya. “Rupanya hubungan dagang antara Hamas dan Israel berjalan normal. Tidak terganggu,” ujar dokter Ben lantas tersenyum.
Uang memang tidak berideologi. Tidak pula beragama. Pun sampai hari ini, mata uang yang dipakai transaksi sehari-hari rakyat Gaza adalah Shekel –mata uang Israel. Palestina belum punya mata uang. Belum punya bank sentral.
Hamas sangat benci Israel. Tapi sangat cinta uangnya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia