Oleh: Dahlan Iskan
TIDAK ada kejutan di Taiwan: capres yang didukung presiden incumbent-lah yang menang.
Tsai Ing-wen sudah menjabat presiden Taiwan dua periode. Tidak bisa lagi nyalon. Dia pilih mendukung wakilnya, Lai Ching-te, untuk nyapres.
Berhasil.
Ching-te menang di Pilpres hari Sabtu kemarin. Perolehan suaranya tidak sampai 40 persen, tapi tidak ada putaran kedua. Ching-te jadi presiden baru Taiwan.
Berarti ketegangan antara Tiongkok dan Amerika masih berlanjut. Mungkin meningkat.
Di Amerika kini sedang dibahas UU baru: mendukung Taiwan menjadi anggota baru IMF (International Monetary Fund).
Rancangan UU itu dimajukan oleh anggota DPR dari Partai Republik asal California. Namanyi: Young Kim.
Semua pihak di DPR sudah menyatakan dukungan. Berarti akan gol. Ini satu tahap penting meningkatnya eksistensi Taiwan sebagai negara –yang oleh Tiongkok dianggap salah satu provinsinya.
Kini memang ada tiga anggota DPR Amerika yang keturunan Korea Selatan. Tiga-tiganya wanita. Dua lainnya adalah Michelle Park Steel dan Marilyn Strickland.
Park juga mewakili California. Beda Dapil. Sedang satunya, Marylin, mewakili tetangga utara California: negara bagian Washington.
Marylin masih lahir di Seoul. Ayahnyi Amerika kulit hitam, ibunyi Korea. Kim sudah lahir di California.
Terpilihnya Ching-te ini tentu masa-masa penuh tantangan bagi Tiongkok: ujian emosi.
Tapi rasanya presiden baru Taiwan ini lebih kalem dibanding Ing-wen. Ia sarjana kesehatan masyarakat di Taiwan. Lalu meraih gelar master di bidang yang sama di Harvard.
Kali ini calon presiden Taiwan ada tiga: Lai Ching-te dari Partai Rakyat Demokratik, Hou Yu-ih dari Koumintang, dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan.
Ching-te beraliran sama dengan pendahulunya: anti Tiongkok.
Yu-ih pro Tiongkok.
Wen-je anti kemapanan.
Meski kalah, dukungan untuk calon dari partai Koumintang sangat besar. Di atas 35 persen. Itu yang membuat pemenang tidak bisa mengabaikannya.
Setidaknya tidak akan mungkin pemenang pilpres kali ini akan menyatakan Taiwan merdeka. Mungkin cukup dengan status quo seperti sekarang: independen. Sambil pelan-pelan bergantung ke Amerika Serikat: agar kian eksis.
Sikap Tiongkok sudah jelas. Tiongkok sudah merevisi konstitusi: begitu Taiwan menyatakan merdeka harus diserang.
Tiongkok sendiri terus berusaha mengisolasi Taiwan dari pengakuan internasional. Kian sedikit negara yang punya hubungan diplomatik dengan Taiwan. Satu per satu dipreteli oleh Tiongkok.
Tiongkok tentu berharap Koumintang menang. Tapi rasanya masih lama Koumintang bisa memenangi pemilu di Taiwan. Ada ‘hantu hidup’ yang membayang-bayanginya: kasus Hong Kong.
Apa yang terjadi di Hong Kong begitu hidup di benak anak muda Taiwan.
Kebebasan di Hong Kong akhirnya ternyata dibatasi. Mereka tidak peduli alasan pembatasan itu: gara-gara demo anarki yang tidak kunjung berhenti di Hong Kong. Selama dua tahun. Sebelum Covid-19. Hampir setiap hari. Tiongkok akhirnya melakukan tindakan represi. Terutama setelah ada tanda-tanda demo tersebut mengarah ke tuntutan Hong Kong merdeka.
Apa yang kemudian terjadi di Hong Kong itulah yang tidak mereka inginkan terjadi di Taiwan. Di pilpres yang lalu saya di Taipei. Beberapa hari. Ikut menyaksikan penghitungan suara di TPS-TPS. Semua dilakukan secara manual.
Di acara-acara kampanye Ing-wen saat itu jelas sekali digelar spanduk: anak muda Hong Kong mendukung Ing-wen. Jangan sampai Taiwan menjadi seperti Hong Kong.
Tiongkok tampaknya harus membuktikan dulu bahwa Hong Kong menjadi lebih makmur di bawah kendalinya sepenuhnya. Dan itu tidak bisa cepat. Perlu pembuktian yang lama.
Ching-te, hemat saya, masih diuntungkan oleh efek Hong Kong itu. Letak Hong Kong di depan mata Taiwan. Apa yang terjadi di Hong Kong seperti terjadi di halaman sebelah.
Kita merindukan dunia yang aman dan damai. Perekonomian yang meningkat. Kesejahteraan yang membaik. Tapi ada saja calon penghambatnya.
Sayang semua makhluk punya emosi. Emosi bisa membuat maju. Juga bisa membuat rusak.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia