Oleh Suroto
PERSOALAN rakyat Indonesia dalam masalah sosial ekonomi itu ringkasnya karena tidak punya pendapatan atau terlalu kecilnya pendapatan mereka. Sehingga sebabkan tidak punya tabungan/kekayaan dan ini sebabkan kemiskinan.
Sistem ekonomi dualistik, dimana rakyat banyak miskin dan hanya segelintir elit yang kaya tidak berubah dari sejak jaman kolonial. Struktur feodalisme bahkan saat ini semakin mengeras bersama birokrasi, sebabkan sistem patrimonial dan dinasti semakin kuat.
Kesenjangan Ekonomi dan kemiskinan di Indonesia sudah keterlaluan. Dari 4 keluarga konglomerat, kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat miskin (Oxfam, 2022), dan menurut FAO (2023), ada 16,2 juta rakyat Indonesia yang pergi tidur dengan perut kosong.
Kongkalikong elit politik dan elit kaya menjadikan kemiskinan berkelanjutan dan kesenjangan semakin menganga lebar. Rasio Gini Kekayaan kita per 2022 adalah sebesar 0,77 (0-1). Sementara kemiskinan tidak beranjak dari angka sekitar 10 persen di satu dekade. Ini sudah dalam posisi rawan secara secara sosial politik.
Dari semua variabel Gini Ratio Kekayaan (GRK) menurut perhitungan World Data Book-Suisse Credit Institute (2021), jauh dari rata-rata dunia. Kita berada di dalam sistem kemiskinan struktural yang membentuk piramida yang runcing ke atas.
Jumlah penduduk dewasa Indonesia tahun 2021 adalah sebanyak 183,7 juta atau 67,38 persen dari penduduk. Rata-rata kekayaan orang dewasa Indonesia pada tahun 2021 sebesar 15.535 Dolar AS atau Rp222,3 juta. Sementara rata-rata dunia adalah sebesar 87.489 Dolar AS atau Rp1,257 miliar (dihitung dengan kurs tengah tahun 2021 sebesar Rp14.311 per 1 Dolar AS).
Rata-rata kelompok bawah (miskin) dengan kekayaan di bawah 10.000 Dolar AS atau di bawah Rp143,1 juta adalah sebanyak 75,1 persen. Rata-rata dunia hanya 53,2 persen.
Angka yang cukup fantastis adalah di kelompok kaya atau mereka yang memiliki kekayaan di atas 100.000 – 1 juta Dolar AS atau Rp1,43 miliar – 14,3 miliar. Di Indonesia angkanya hanya 1,9 persen, sementara rata rata dunia adalah sebesar 11,8 persen.
Sementara di kelompok super kaya atau mereka yang kekayaannya di atas Rp14,3 milyar ke atas hanya 0,1 persen. Sementara rata rata dunia sebesar 1,2 persen. Bahkan di kelompok super kaya ini jumlah mereka stagnan atau tidak berubah sama sekali di angka hanya 0,1 persen.
Dilihat dari angka angka tersebut maka kelompok miskin itu dapat dikatakan tidak mengalami kenaikan kelas. Demikian juga di kelompok menengah ke kaya dan juga dari kaya ke super kaya.
Kemiskinan struktural itu terjadi karena rakyat miskin tidak memiliki peluang untuk mengkreasi kekayaan. Sehingga mereka pada akhirnya hanya mewariskan kemiskinan baru.
Struktur yang timpang ini jelas menandakan ada yang salah dalam sistem perekonomian kita. Harus ada perombakan sistem secara konkret dan tidak cukup hanya dilakukan dengan kebijakan programatik biasa seperti yang dilakukan selama ini.
Sebut saja misalnya bantuan sosial (bansos), subsidi, pengupayaan akses kredit, dan lain sebagainya. Apalagi hanya dengan program makan siang yang disampaikan Capres-Cawapres, Prabowo-Gibran. Hal ini justru menjadi pelanggeng dari kemiskinan itu sendiri dan menghina rakyat.
Kondisi ketimpangan yang bersifat asimetris dan jangka panjang itu juga menandakan bahwa sebab sebab kemiskinan yang ada itu sifatnya struktural. Bukan hanya salah strategi tapi sudah salah teori. Sehingga harus dilakukan perombakan sistem secara fundamental, tak cukup hanya dengan program program karitatif dan tambal sulam. Ini dibutuhkan pemimpin sekelas Presiden yang bermoral etik dan berani.
Beberapa masalah pokok yang perlu dirombak adalah menyangkut regulasi dan kebijakan yang selama ini abaikan sistem demokrasi ekonomi (ekonomi konstitusi) dan membuat kita masuk jebakan negara global utara dalam bentuk jebakan utang, investasi, dan konsumsi. Utang ugal ugalan yang hanya digunakan untuk membangun infrastruktur fisik sebagai faktor pendukung (endorsement) bagi investasi asing, dan konsumsi basis importasi.
Regulasi kita banyak yang tidak sesuai dengan demokrasi ekonomi. Misalnya UU Investasi, UU BUMN, UU Perbankkan dll dan semakin parah dengan kehadiran UU Omnibus Law. Sebut UU Ciptakerja, UU PPSK (Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan) dan bentuk diskriminasi dan pengkerdilan koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi.
Masalah serius rakyat yang secara statistik paling banyak (petani, nelayan, petambak, peternak, perajin, dan pedagang rakyat) yang selama ini jadi jantung pekerjaan dan sumber pendapatan mereka belum dibahas serius.
Untuk itu, berikut adalah pokok-pokok usulan perubahan fundamental yang harus dilakukan oleh pemimpin baru setelah Pemilu. Di antaranya adalah :
- 1) Pembagian Saham untuk buruh minimal 20 persen
- 2) Pembatasan rasio gaji-gaji tertinggi dan terendah maksimal 10 kali lipat
- 3) Pajak untuk kekayaan bersih (Wealth Tax) orang dengan kekayaan di atas Rp1,5 miliar
- 4) Reforma Agraria sampai ke tata kelola, bukan hanya sertifikasi tanah
- 5) Akselerasi koperasi sebagai instrumen untuk pendemokratisasian ekonomi di semua sektor ekonomi termasuk Koperasikan BUMN dan BUMD
- 6) Alokasikan Pendapatan Minimum Warga Negara (universal basic income)
- 7) Hentikan kebijakan paket input seperti subsidi dan bansos yang selama ini hanya untungkan makelar program
- 8) Terapkan Kebijakan substitusi impor barang modal untuk dukung sektor pangan
- 9) Hentikan kebijakan utang ugal-ugalan
- 10) Insentif pajak bagi kelompok usaha mikro dan kecil, dan kebijakan trade off dan lain lain untuk memberikan dukungan bagi mereka
- 11) Kebijakan alokasi kredit untuk usaha mikro dan kecil hingga minimal 50 persen.
- 12) Segera bentuk UU Sistem Perekonomian Nasional berdasarkan Perintah UUD 45 pasal 33. *
Penulis adalah Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ) dan CEO INKUR (Induk Koperasi Usaha Rakyat)
Sumber: RMOL
Editor: Agung