Tetangga N

Yoseb bersama istrinya, Nuri, dan anak-anaknya saat masih bekerja di Jawa Pos. (Foto: Dok Pribadi)

Oleh Dahlan Iskan

DUA BABI dan satu Yoseb membuat media yang saya pimpin bermasalah. Anda sudah tahu nama media di zaman itu: Jawa Pos.

Satu Yoseb itu meninggal dunia dua hari lalu. Ia generasi pertama copy editor Jawa Pos. Tulisan ini mewakili saya yang tidak bisa melayat mantan anak buah –lantaran lagi di Jakarta.

Seperti apa sepotong kisah Yoseb bisa Anda ikuti dari tulisan keluarga Disway, Joko Intarto (JTO) berikut ini:

***

Ingatan saya mendadak terbang ke masa lalu: 33 tahun yang lalu. Hari itu, kantor pusat Jawa Pos di Jalan Karah Agung dikepung massa dari berbagai organisasi Islam.

Padahal hari masih pagi. Sekitar pukul 09:00. Tapi ribuan demonstran sudah berkumpul di sepanjang jalan. Mereka tidak bisa masuk ke halaman karena pagar dikunci dan dijaga ratusan polisi.

Meski jarak mereka sekitar 100 meter dari gedung utama, suara para demonstran yang bergema melalui “toa” itu berhasil membangunkan saya yang baru terlelap tiga jam. Malam itu saya memang tidur di kantor. Hampir setiap malam saya tidak pulang ke kos-kosan, walau hanya 400 meter dari kantor.

Tempat tidur di kantor lebih nyaman –di arena lesehan. Ber-AC. Bersih dan sarung bantalnya diganti setiap hari. Kamar mandinya juga wangi. Jauhlah dibandingkan kos-kosan untuk karyawan baru yang gajinya hanya Rp 200 ribu per bulan.

“Kantor didemo. JTO bisa panggil Yoseb?” tanya Satpam.

“Yoseb? Siapa? Saya belum kenal,” jawab saya sambil mengucek-ucek mata yang masih belekan.

“Yoseb copy editor,” kata Satpam.

Saya menggelengkan kepala.

Saya benar-benar belum kenal nama Yoseb. Lagi pula saya wartawan yang baru bekerja dua minggu. Saya baru kenal redaktur rubrik. Belum kenal copy editor.

“Yuli Setyo Budi. Yoseb. Kodenya JOS!” jelas Satpam.

“Urusan apa pendemo itu dengan Yoseb?” tanya saya.

Rupanya kehebohan besar itu berawal dari salah ketik di dalam salah satu artikel. Harusnya huruf “N” yang di-klik. Ternyata keliru huruf “B”. Dua tombol huruf itu memang bersebelahan di keyboard komputer.  

Tahun 1991, artikel dan berita dari luar kota dikirim melalui mesin faksimile. Naskah tersebut kemudian diketik ulang oleh copy editor. Teknologi internet baru dikenal 4 tahun kemudian.

Karena bertepatan dengan hari besar Islam Maulid Nabi, Jawa Pos menurunkan artikel bertema keteladanan Rasulullah. Yuli Setyo Budi selaku copy editor yang kebagian tugas.

Di Jawa Pos, nama Yuli Setyo Budi itu dianggap terlalu panjang. Awak redaksi lalu memanggilnya dengan sebutan Yoseb (diucapkan Yosep): Singkatan prokem Yuli Setyo Budi. Konon karena ada karyawan lain Bernama Yuli, Setyo, dan Budi. Nama Yoseb ini tiada duanya.

Celaka 14. Yoseb salah ketik. Maksud hati akan menulis “Nabi”. Huruf “N” salah tutul dengan huruf “B”. Hasilnya berabe. Wajar kalau ada pembaca yang terbakar emosinya.

Apalagi muncul informasi sesat: Kode JOS di bagian akhir tulisan itu singkatan dari “Yosep”. Padahal “Yoseb” itu berasal dari “Yuli Setyo Budi”. Bukan “Yosep” yang lain.

Entah bagaimana model komunikasi warga waktu itu. Internet belum dikenal. Telepon selular belum ada. Apalagi media sosial dan aplikasi chat masih jauh.  Dalam tempo tidak sampai lima jam sejak koran Jawa Pos beredar, gelombang demonstrasi sudah begitu besarnya. Konon karena berbarengan dengan banyaknya acara pengajian.

Meski tetap tidak kenal Yoseb, saya turuti permintaan Satpam. Segera saya starter sepeda motor untuk menjemput JOS di rumahnya, di kawasan Banyu Urip, Surabaya Barat.

Baru sampai pagar depan kantor, perjalanan saya terhenti. Demonstran mengira sayalah JOS yang menyamar hendak melarikan diri. Untung polisi bisa meredam emosi mereka.

Menjelang tengah hari, saya dan Yoseb sampai di kantor Jawa Pos lagi. Dalam tempo tiga jam, jumlah massa sudah semakin banyak. Kali ini sudah ada yang membentangkan spanduk: “Tutup Jawa Pos!”

Beberapa menit kemudian, Dahlan Iskan datang. Beberapa perwakilan demonstran diundang masuk ke kantor pusat. Jawa Pos diwakili Dahlan dan Yoseb.

Saya diberi tugas meliput demonstrasi itu. Yakni untuk menulis hak jawab para demonstran. Satpam diperintahkan memborong sebanyak mungkin nasi bungkus dari warung di sepanjang Jalan Karah Agung untuk ribuan orang yang berdemo di depan kantor.

Menjelang Asar, tercapailah perdamaian. Saya kebagian tugas menuliskan beritanya dari dua sisi: Suara demonstran dan Yoseb.

Kamis tadi malam, di lini masa WhatsApp group pensiunan “Jawa Pos” Cowas, muncul permintaan doa untuk Yoseb yang dalam kondisi kritis di RS Islam, Surabaya. Pagi tadi muncul berita duka: Yoseb telah berpulang untuk selama-lamanya.

Inalillahi waina ilaihi rojiun. Selamat jalan sobatku. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosamu dan melipatgandakan amal baikmu.

Meski saya hanya bekerja dua tahun di kantor Jawa Pos Surabaya, nama Yoseb tidak akan pernah hilang dari ingatan saya. Selama saya masih bisa mengetik, selama itu pula saya akan teringat namanya: Karena tombol “N” dan “B” tetap bertetangga.

***

Yoseb belum pensiun ketika saya menjadi sesuatu di luar Jawa Pos. Hubungan saya dengan Yoseb pun terputus. Tapi saya tidak akan lupa: Yoseb adalah ‘dokter bahasa’ angkatan pertama di Jawa Pos.

Sebelum ada ‘dokter bahasa’ tulisan di Jawa Pos penuh dengan kekacauan kaidah bahasa. Pengetahuan wartawan tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar ternyata sangat parah. Maka kami rekrut ahli bahasa. Lulusan Unesa. Sekaligus lima orang.

Lima orang itu kewalahan. Kesalahan bahasa begitu merata. Direkrut lagi ahli bahasa angkatan kedua. Seminggu sekali wartawan dan redaktur wajib sekolah bahasa. Pengajarnya para copy editor.

Saya pernah ngambek ke copy editor. Tulisan saya memang menjadi benar –secara bahasa. Tapi juga menjadi hambar. “Tulisan saya menjadi seperti teks telegram,” kata saya. Telegram, Anda sudah tidak tahu. Saya pun malas menjelaskan pada Anda apa itu telegram –khawatir Anda menertawakan teknologi komunikasi masa lalu.

Yoseb dan copy editor lainnya sangat berjasa membawa Jawa Pos ke level tinggi dalam berbahasa Indonesia.

Saya telepon Hajjah Nuri, istri Yoseb tadi malam. Ternyata waktu saya mulai ngurusi setrum, Yoseb terkena stroke. Tekanan darahnya tinggi. Tidak sampai fatal. Setelah pensiun Yoseb bergabung ke harian Memorandum. Ia mengasuh rubrik ‘Sejuta persoalan rumah tangga’.

Kondisi badannya menurun tapi tetap masuk kantor di Memorandum. Pun di masa Covid-19.

Begitu terkena Covid, Yoseb masuk rumah sakit. Diperiksa. menyeluruh. Dari hasil pemeriksaan Covid itulah Nuri tahu kalau suaminyi ternyata gagal ginjal. Harus cuci darah. Seminggu sekali.

Setelah dua tahun cuci darah Yoseb tahu ada fasilitas baru cuci darah: CAPD. Cuci darahnya bisa dilakukan sendiri di rumah.

Ada beberapa prosedur untuk bisa CAPD. Istri dan anak Yoseb harus kursus CAPD. Selama satu bulan. Yoseb ikut kursus. Selama bisa Yoseb akan melakukannya sendiri.

Setelah mereka lulus dari kursus CAPD barulah bagian kiri perut Yoseb dilubangi. Dipasangi selang. Yakni untuk memasukkan cairan ‘pencuci’ darah: 2000ml. Dua liter.

Cairan pencuci itu dimasukkan selang. Seperti infus. Lalu cairan warna kuning keluar lewat selang di perut ini. Jumlah cairan yang keluar harus di atas 2000ml.

Yoseb melakukan sendiri cuci darahnya: empat kali sehari. Masing-masing sekitar 30 menit.

Pekan lalu ketika lagi bersama istri dan anak sulung duduk-dusuk di ruang tamu, Yoseb mengeluh. Sesak. Lemas. Terkulai.

Itu jam 08.00 tanggal 23 Januari lalu. Nuri dan si sulung menggotongnya ke rumah sakit. Anak keduanya sudah menikah dan tinggal di kota lain.

Rumah sakit terdekat tidak punya fasilitas cuci darah. Padahal jadwal cuci darah jam 09.00 sudah lewat beberapa jam. Malam itu Yoseb dipindah ke RSUD Sidoarjo. Masuk ICU. Racun dalam darahnya sudah meracuni otak.

Tiga hari kemudian Yoseb meninggal. Memuliakan Nabi Muhammad ternyata harus hati-hati. Tidak perlu menyalahkan pencipta keyboard mengapa menempatkan huruf N di sebelah huruf B.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia