J5NEWSROOM.COM, Yogyakarta – Election Corner Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (EC FISIPOL UGM) menyelenggarakan dialog publik bertajuk “Suara Politik FISIPOL UGM untuk Demokrasi yang Berkualitas”.
Dalam kesempatan ini, terdapat 4 narasumber hadir, antara lain Abdul Gaffar Karim (Dosen Politik dan Pemerintahan UGM), Kuskridho Ambardi (Dosen Sosiologi UGM), Mada Sukmajati (Dosen Politik dan Pemerintahan UGM), dan Ario Wicaksono (Dosen Manajemen & Kebijakan Publik UGM).
Acara dibuka oleh Dekan FISIPOL UGM Wawan Mas’udi yang menekankan pentingnya peran FISIPOL UGM dalam merespon dinamika sosial-politik terkini untuk menjaga demokrasi yang berkualitas. Terdapat beberapa poin yang disoroti mulai dari tantangan bangsa yang dipengaruhi situasi global hingga netralitas penyelenggara pemilu dan negara. Wawan Mas’udi juga menekankan pentingnya menjaga integritas sebagai fondasi kerangka bernegara.
Kuskridho Ambardi atau akrab disapa Dodi Ambardi mengawali diskusi dengan argumentasi pentingnya ukuran dalam menentukan keberhasilan pemilu. Menurutnya, pemilu seharusnya memiliki keterkaitan antara level nasional dan daerah. Selama ini, fokus pemilu hanya pada pemilu eksekutif, sedangkan pemilu legislatif cenderung dikesampingkan.
Padahal, rakyat sedang memilih satu set kepemimpinan. Dodi juga mengatakan urgensi untuk mendorong perbaikan seleksi kepemimpinan di Indonesia, sehingga tidak ada lagi calon pemimpin nasional yang hanya muncul dadakan atau hasil kompromi elit. Dodi pun menambahkan bahwa konteks Amerika Serikat mengizinkan Presiden untuk berkampanye secara regulatif.
Indonesia pun demikian. Namun yang menjadi pembeda adalah tidak ada BUMN di Amerika Serikat sehingga ruang gerak Presiden untuk mengontrol resources menjadi terbatas. Sedangkan dalam konteks Indonesia berbanding terbalik.
Kemudian, Mada Sukmajati lebih menyoroti fenomena ‘politik gaspol’ yang berkembang menjelang hari pencoblosan. Hal ini dapat disimak melalui salah satu kutipan dari buku “How Democracies Die” karya Levitsky dan Ziblatt yang menekankan mutual toleration (saling menghormati perbedaan nilai) dan institutional forbearance (kesabaran dari menggunakan kekuatan institusional untuk menghancurkan lawan politik) untuk memastikan demokrasi tetap hidup.
Menurut Mada, politik gaspol meniadakan kedua aspek diatas sehingga berdampak kepada terciptanya disintegrasi bangsa. Mada pun menambahkan bahwa Indonesia tengah mengalami Filipinanisasi plus yang artinya kondisi pemilu di Indonesia lebih dalam kondisi mengkhawatirkan dibandingkan pemilu Filipina tahun 2022 karena tidak melakukan otak-atik konstitusi.
Selanjutnya, Ario Wicaksono menjelaskan pentingnya politik programatik dalam pemilu. Hal ini dapat diwujudkan apabila kita memiliki scientific temper atau budaya ilmiah untuk mewujudkan kebijakan berbasis bukti. Ini tercermin dari sejauh mana setiap kandidat melakukan inkorporasi pengetahuan dan bukti-bukti ilmiah ke dalam kebijakannya, sehingga jargon politiknya berisi.
Selain itu, Ario berpandangan media sosial berperan besar dalam memberikan edukasi publik melalui fact-checking atas setiap data atau informasi yang dibahas di ranah publik.
Abdul Gaffar Karim sebagai narasumber terakhir mengatakan, setidaknya ada tiga persoalan kunci yang menyebabkan menurunnya integritas pemilu.
Pertama, adanya keterputusan antara penyelenggara pemilu dan masyarakat sipil. Kedua, adanya kedekatan berlebihan antara penyelenggara pemilu dengan parpol atau anggota legislatif.
Ketiga, adanya persoalan etika dalam cara kerja state auxiliary authority (SAA). Ketiganya membuat kinerja penyelenggara pemilu–yang seharusnya membawa ide-ide publik ke ranah negara–justru tidak mencerminkan
kepentingan publik.
Kesimpulannya, pemilu merupakan sarana untuk memilih pemimpin secara demokratis. Kualitas pemilu akan bergantung pada sejauh mana kita menilai dan memahami politik. Selain itu, kinerja penyelenggara pemilu yang baik akan mendorong legitimasi publik yang tinggi.
Editor: Agung