Disway Gratis

Tulisan pertama Dahlan Iskan, yang dibuat 9 Februari 2018. Lima tahun Dahlan Iskan tak pernah absen menulis. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

SUDAH takdirnya Disway harus gratis. Dilahirkannya pun tanpa biaya. Idenya gratis: dari Mas Joko Intarto. Desain web-nya gratis: dari Mas Gepeng. Server-nya gratis: nebeng punya Mas Iwan.

Maka menjelang ulang tahun Disway ini saya ingin mengenang yang serbagratis itu. Yang memberi durian gratis saja ditulis –apalagi ini yang meletakkan dasar-dasar sejarah Disway.

Soal Joko Intarto biarlah ia menulis sendiri. Saya justru penasaran dengan Gepeng. Kenapa tidak ada temannya yang ingat nama aslinya:

Julius Nata Saputra. Ia lahir di Malang dan lulus S1 elektro juga di Malang: dari perguruan tinggi swasta di sana, Universitas Widya Gama.

“Waktu kuliah saya memang kurus. Lalu teman satu kost memanggil saya Gepeng. Terbawa sampai sekarang,” ujar Julius.

Gepeng lulus tahun 2004. Pun Iwan yang nama aslinya Edi Hermawan. Juga Yuli Eka Prasetya alias Eka. Tiga orang ini bergabung mendirikan usaha bersama: web developer. Iwan yang menjadi pemegang saham mayoritas.

Gepeng sebagai yang paling ahli mendesain web jadi dirutnya. Web pertama Disway itu ia bangun hanya dalam waktu dua hari. Nyaris tidak tidur. Bersama Eka. Lalu Iwan menyiapkan server.

Iwan sampai harus kelabakan. Hari pertama Disway terbit server-nya jebol. Terlalu banyak yang mengakses. Di luar perhitungan.

Yang hebat dari tiga orang itu: sampai sekarang masih rukun. Masih utuh bertiga. Usahanya juga makin maju. “Kami baru buka kantor di Yogyakarta,” ujar Gepeng. Di Jogja tenaga terampil di bidang IT sangat banyak. Pun permintaan gajinya tidak tinggi.

Banyak anak muda mendirikan usaha bersama sesama teman sekelas. Lalu kandas. Bertengkar. Bubar. Itu karena mereka berbagi rata: sahamnya sama-sama sepertiga. Persahabatan trio Iwan-Gepeng-Eka langgeng karena salah satu dari mereka mayoritas.

Soal sejarah lahirnya Disway sendiri, biarlah bung Joko Intarto sendiri yang bercerita. Inilah tulisannya. Judulnya: NOSTALGIA DISWAY

***

Selamat datang era metamorfosis media. Tema ini saya kira cocok untuk semua pelaku industri yang saat ini tengah menyiapkan perhelatan akbar: Hari Pers Nasional. Dari luar gelanggang, saya menulis sebuah catatan.

Saya ingat hari ini empat tahun yang lalu: Bersama Mas Ahmad Zaini, Mas Nawie, dan Mas Gepeng, kami berjibaku menyelesaikan website Disway. Hari ini hingga tiga hari kemudian kami sibuk luar biasa.

Tidak peduli waktu. Handphone on terus. Grup WhatsApp dengan member empat orang itu terus meng-update informasi perkembangan Disway.

Mas Gepeng yang nama aslinya Julius mengerjakan website. Mas Nawie yang nama aslinya Edy Hermawan mengurus server. Saya mengedit 10 artikel pertama tulisan asli Pak Dahlan Iskan. Mas Zaini membuat web desain dan ilustrasi gambar 10 artikel perdana. “Tanggal 9 Februari 2018 Disway harus online, tepat pukul 09.00 WIB,’’ kata Pak Dahlan.

Website Disway memang disiapkan sangat cepat. Hanya beberapa hari saja. Semua gara-gara Pak Dahlan yang masih ogah-ogahan menulis artikel. Saat saya datangi di apartemennya di SCBD untuk memintanya menulis lagi. Ia tak goyah. “Saya sudah tidak mau menulis lagi,” jawabnya pada kunjungan pertama.

Saya tahu. Dari nadanya, ia kurang suka. Tapi saya tidak menyerah. Terus mencari akal agar ia setuju menulis lagi. Sedikit muter-muter tidak masalah.

Saya ganti topik. Cerita tentang teman-teman saya wartawan senior yang kebanyakan stroke. “Iya, kok banyak wartawan saat tua kena stroke ya?” kata Pak Dahlan.

Aha! Frekuensi Pak Dahkan sudah sama dengan saya. Berarti bisa masuk ke tujuan semula. “Kemungkinan karena mereka stres. Biasanya menulis. Tiba-tiba tidak menulis lagi karena tidak punya media,” jawab saya asal saja.

“Masuk akal. Sebagai wartawan mereka mengelola banyak informasi. Sudah pensiun pun narasumbernya masih banyak yang memberi info. Pasti ingin menulis. Tapi tidak punya media. Stres,” sahut Pak Dahlan.

Ibarat main catur, saya sudah menjalankan pion: Open skak!

“Abah harus hati-hati. Jangan sampai kena stroke karena tidak mau menulis lagi,” kata saya dengan keyakinan penuh, Abah menolak berarti skakmat!

“Saya sudah tidak punya koran. Mau menulis di mana?” tanya Pak Dahlan setelah diam cukup lama.

“Abah, hari gini mosok masih mau nulis di koran? Berapa orang yang masih mau baca koran? Hari ini zamannya membaca koran digital. Menulislah di website,” jawab saya.

“Saya tidak punya website,” jawab Pak Dahlan. Kali ini nadanya mulai tinggi. Pertanda tidak senang. Tapi posisi catur masih open skak.

“Saya yang membuatkan website-nya. Saya yang mengelola. Abah saja yang menulis. Saya yang mengedit,” jawab saya.

Pak Dahlan akhirnya benar-benar menyerah. “Carikan nama website yang bagus. Kalau saya setuju, saya menulis. Kalau tidak setuju berarti saya tidak akan menulis lagi,” jawabnya.

Saya pulang dari apartemen itu dengan perasaan nano-nano. Senang tapi juga senep. Gagal menemukan nama yang disukai berarti mimpi saya untuk menikmati tulisan Pak Dahlan setiap hari harus dikubur dalam-dalam.

Sudah hari ketiga. Nama website itu tak kunjung saya dapatkan. Habis Magrib harus sudah sampai apartemen Pak Dahlan. Mempresentasikan konsep website dengan filosofi namanya.

Saat salat Asar, pikiran saya tidak konsen. Salat tapi pikiran ke mana-mana. Tiba-tiba terlintas nama: Disway. Dahlan Iskan Way. Cerita jalan hidup dan jalan pikiran Dahlan Iskan. Seperti judul buku: The Toyota Way. Itu saja yang disodorkan.

Segera saya kontak Mas Zaini mengabarkan nama Disway. Saya ingatkan agar segera siap-siap ketemu Pak Dahlan lagi.

Agar lebih lancar, saya belikan oleh-oleh kesukaannya. Seekor ingkung utuh: ayam kremes presto dari di Restoran Ny Lina.

“Apa nama website-nya?” tanya Pak Dahlan.

“Makan dulu Abah. Nanti setelah makan saya akan jelaskan. Pokoknya nama website ini saya temukan di tengah-tengah salat Asar,” kata saya.

Pak Dahlan tiba-tiba tertawa. Mungkin jawaban saya lucu. “Berarti Anda tidak salat dengan khusuk,” komentarnya.

Saya pun ikut tertawa.

Siasat berhasil. Pak Dahlan makan malam dengan lahapnya. Walau dengan porsi yang sangat sedikit. Saya dan Mas Zaini yang harus menghabiskan semuanya.

“Apa nama website-nya?” tanya Pak Dahlan lagi.

“Disway. Dahlan Iskan Way. Seperti The Toyota Way,” jawab saya.

“Nama lainnya apa?” sahutnya.

“Ada yang lain, tapi saya menjagokan Disway saja. Kalau tidak setuju, apa boleh buat,” jawab saya.

“Oke setuju!” jawab Pak Dahlan.

“Saya bisa menulis mulai kapan?” tanyanya.

“Dua minggu lagi. Tunggu website jadi dulu,” jawab saya.

“Tidak bisa. Tanggal 9 Februari pukul 09.00 website harus sudah online,” katanya.

“Waktunya hanya dua hari. Sanggup nggak?” tanya saya kepada Mas Gepeng dan Mas Nawie melalui WhatsApp.

“Oke. Dua hari lagi website siap tayang,” mereka kompak.

Tepat pada tanggal 9 Februari pukul 09.00, Pak Dahlan mengumumkan sudah mulai menulis lagi di website baru: Disway. Pengumuman dilakukan di sela-sela peringatan Hari Pers Nasional di Padang.

Tiga puluh menit setelah pengumuman, website yang baru berisi satu artikel itu down. Jumlah pengakses begitu banyaknya. Sementara server-nya masih gratisan.

Selamat Hari Pers Nasional. Selamat ulang tahun, Disway.

***

Joko Intarto orang Purwodadi. Saya sempat khawatir, kemarin, rumahnya tenggelam karena banjir. “Banjir itu 30 km dari kampung saya,” katanya.

Tanpa JTO tidak ada Disway hari ini. Gratis di awal. Gratis sampai akhir.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia