Oleh Swary Utami Dewi
SELASA, 6 Februari 2024, saya membaca berita tentang satu (lagi) lembaga terhormat yang ketuanya “disenggol” secara etika karena dipandang memuluskan lolosnya satu pasangan untuk bertarung di pemilihan presiden 2024 di negeri ini.
Beberapa hari sebelumnya, muncul puluhan seruan moral dari para guru besar, akademisi dan cendekia lainnya tentang carut-marutnya kondisi demokrasi di Indonesia jelang Pemilu 2024. Kritik-kritik serupa juga telah bermunculan dengan isi yang kurang lebih senada.
Himbauan, keprihatinan bahkan penegasan tentang akrobat politik yang menyinggung nurani dan menegasikan akal budi ini, seperti sudah diduga, lagi-lagi mengalami upaya peminggiran, dari yang terang-terangan sampai halus terselubung; Dari yang mengurung wacana hanya dari segi “hukum dan aturan” semata, hingga munculnya opini yang mempertentangkan antara seruan nurani versus isu elektoral.
Juga tentunya ada meme olok-olokan terhadap para penyeru keprihatinan ini atau tanggapan “lempeng” tidak peduli. Seruan moral, etika, keadaban dan akal budi ini seperti menyeruak di tengah-tengah himpitan sesak berbagai narasi dan upaya pembenaran yang terus dilakukan.
Melihat fenomena ini, saya teringat uraian seorang sahabat, Yudi Latif, saat memberikan kuliah umum daring bertemakan “Pendidikan sebagai Proses Kebudayaan”, pada 5 Mei 2021. Salah satu yang sering saya ingat adalah penjelasan bahwa 98% kromosom manusia serupa dengan simpanse. Simpanse memiliki ciri-ciri di antaranya memiliki sifat egois, berkelompok dengan sesamanya, wilayahnya hanya untuk jenisnya (simpanse) dan dominatif.
Namun, meski memiliki kemiripan tersebut, ada penanda atau pembeda tertentu, yang menjadikan manusia ada pada “derajat manusia”. Dan itu hanya ada pada manusia, bukan makhluk lain. Apakah itu? Yudi menegaskan bahwa manusia merupakan satu-satunya primata yang bisa mengembangkan nilai, moral dan etika. Manusia punya kemampuan berbudaya, berbuat baik, kepedulian dan kemampuan mengembangkan nilai-nilai positif lainnya.
Selain itu, ada penegasan tentang perlunya kita sebagai manusia beradab untuk terus melakukan pendidikan pikiran dan hati. Mendidik pkiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan. Pendidikan tanpa mendidik nilai dan karakter hanya akan menghasilkan makhluk pintar “berbentuk manusia” semata, yang kemudian bisa menjadi makhluk yang kejam, culas dan tidak berhati.
Carut-marut politik dan kondisi demokrasi negeri yang menimbulkan kritik dan keprihatinan ini, yang pada banyak peristiwa begitu gampang meminggirkan bahkan membungkam moral dan etika melalui berbagai pembiasan dan justifikasi, membuat saya berpikir kembali apakah kita sedang melupakan nilai-nilai yang menjadikan kita tetap sebagai manusia?
Apakah kita sadar tidak sadar sedang menghancurkan derajat kemanusiaan kita sendiri karena tak mampu terlepas dari naluri dan agresivitas tertentu, dalam hal ini kuasa? Apakah proses pendidikan yang sudah dilakukan harus ditata kembali?
Saya masih terus merenung.dan merenung. Di balik hiruk-pikuk politik yang terjadi kini, saya ingin menyatakan hormat dan salut kepada para guru besar, akademisi dan cerdik cendekia, yang kini masih terus berupaya menjaga agar kita manusia tetap berada pada derajat kemanusiaan kita.*
6 Februari 2024
Penulis adalah anggota TP3PS serta Pendiri NARA dan KBCF dan Climate Leader Indonesia