Oleh Dahlan Iskan
HARI-HARI ini para caleg harus pakai kacamata rangkap: jangan salah hitung. Nasib kursi DPR mereka ditentukan kemarin atau hari ini.
Para caleg yang saya hubungi umumnya masih piket di posko masing-masing: di daerah pemilihan mereka. Mereka masih memelototi angka-angka: siapa pesaing sesama partai yang lolos, siapa pula pesaing dari partai lain yang terpilih.
Caleg DPR dari Partai Demokrat dapil Jateng III (Pati, Rembang, Blora, Grobogan), Amal Alghozali, kemarin sore memutuskan meninggalkan poskonya di Blora. Ia pulang ke Jakarta. Sebelum meninggalkan Blora, Amal posting di X:
“Sugeng sonten, lur. Ingin mengabarkan, meskipun menang di Blora dan Pati, suaraku tidak cukup untuk menang di dapil 3 karena saya kalah di Rembang dan Grobogan. Terima kasih atas semua doa dan dukungan. Maafkan semua kesalahanku. Akun ini akan kembali seperti normalnya”.
‘Lur’ adalah singkatan dari ‘sedulur’, saudara. Amal, pengusaha sukses di banyak bidang itu sudah lama jadi pengurus DPP Partai Demokrat, tapi baru kali ini jadi caleg. Gagal. Ayahnya adalah guru saya, di pelajaran ilmu mantik, saat di madrasah aliyah Takeran, Magetan.
Indah Kurnia juga masih di posko. Kalau terpilih lagi berarti Indah akan di DPR empat periode, mewakili PDI-Perjuangan. Kali ini pun masih di dapil 1 Jatim (Surabaya-Sidoarjo). Nama Indah Kurnia mengakar. Terutama di kalangan Tionghoa.
Indah mantan eksekutif bank (BCA), manajer Persebaya, dan terus aktif menyanyi. Dia pernah menyanyi 24 jam nonstop. Dia hafal syair 714 lagu.
Di partainyi Indah terdesak ke nomor kian bawah. Kali ini di nomor enam. Tapi di nomor berapa pun Indah bakal dicari. Dia kelihatannya masuk lagi ke DPR, bersama Puti Guntur, putri Guntur Soekarno Putra.
Di dapil 1 ini, juaranya adalah penyanyi kesukaan Anda: Ahmad Dhani. Dari Gerindra. Sementara ini Ahmad Dhani akan mewakili partainya Prabowo bersama incumbent Bambang Haryo Soekartono.
Seminggu sebelum coblosan Dhani terlihat nonton Persebaya di stadion Gelora Bung Tomo.
“Kali ini akan terpilih?” tanya saya sambil menyalaminya.
“Dulu pun perolehan suara saya hampir dapat satu kursi. Padahal waktu Pemilu saya lagi masuk penjara,” jawabnya.
Saya belum memberikan ucapan selamat bahwa kemungkinan besar perolehan suaranya yang paling besar di dapil 1 Jatim.
Di antara yang jaga posko itu yang paling menegangkan adalah caleg yang dari dapil Madura. Khususnya caleg DPR, DPD, dan DPRD Provinsi.
Di Madura, ujar salah satu caleg DPRD Jatim, suara yang dihitung dulu adalah DPRD kabupaten. Setelah itu barulah hasil Pilpres.
Kenapa begitu?
“Karena dua jenis Pemilu itulah yang benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat,” katanya. “Kami di Madura sepakat seperti itu,” ujar caleg yang mencoblos di Sumenep itu.
Itu juga dibenarkan Mathur, caleg DPRD Jatim dari Bangkalan. Mathur incumbent. Ia mewakili Partai Bulan Bintang. Se-Jawa, Mathur satu-satunya anggota DPRD provinsi dari partainya Yusril Ihza Mahendra itu.
“Sampai sekarang saya masih di posko,” ujar Mathur. “Kelihatannya sih saya bisa terpilih kembali,” ujarnya. Mathur adalah anggota DPRD Jatim paling kritis menyoroti soal korupsi di Jatim.
Beda dengan suara DPRD Kabupaten dan Pilpres, suara untuk DPR, DPD, dan DPRD provinsi tidak pakai dihitung. “Kami menerima langsung hasil rekap,” ujar Mathur.
Yang merekap itu adalah kepala desa. Suka-suka kepala desa: siapa, dari partai apa, akan dapat berapa suara. “Calon yang datang ke kepala desa akan dapat suara,” katanya. Kalau yang datang tiga orang, suara dibagi tiga itu. Siapa dapat berapa.
Yang seperti itu sudah tradisi di Madura. Pun di Pemilu yang lalu-lalu. “Kali ini kelihatannya lebih parah,” katanya.
Inilah akhir pekan yang menegangkan bagi para caleg. Hari-hari inilah saling sepak dan saling rangkul terjadi di antara mereka.
Yang satu kandang saling endus dan sepak. Yang beda kandang saling lempar mercon.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia