Oleh Dahlan Iskan
LIHATLAH foto itu: satu penumpang menghadap ke depan. Dua lainnya menghadap ke belakang. Di pesawat berbadan lebar jurusan Abu Dhabi–Jeddah dua hari lalu.
Itulah kalau susunan kursi di dalam pesawat dibuat menghadap dua arah. Separo-separo.
Saya duduk di sebelah wanita entah siapa di foto itu: menghadap ke bagian belakang pesawat.
Jelas, cara menyusun kursi seperti itu baru: bisa menambah jumlah penumpang. Bisa empat orang lebih banyak. Kita lihat apakah model ini akan menjadi mode baru ke depan.
Idenya mungkin datang dari pengaturan kursi VIP di pesawat pribadi. Di pesawat seperti itu saya sering dapat bagian kursi yang menghadap ke belakang. Sedang kursi yang menghadap ke depan untuk orang yang lebih penting dari saya. Atau, setidaknya, untuk si pemilik pesawat.
Dengan cara duduk berhadapan seperti itu penumpang bisa rapat sambil terbang. Atau ngobrol lebih gayeng. Atau ngegosip tingkat tinggi. Atau sambil makan. Ada meja makan di tengahnya. Kursinya pun setengah sofa.
Berarti sudah biasa ada kursi menghadap ke belakang. Toh Anda sudah sering lihat: pramugari juga selalu duduk menghadap ke belakang: sambil mengumumkan bahwa pesawat sudah akan mendarat.
Tapi yang saya naiki kemarin itu pesawat komersial. Perasaan penumpang harus dipertimbangkan. Apakah penumpang bisa menerima. Misalnya Anda. Ini soal marketing. Untuk apa lebih efisien tapi tidak disukai.
Misalnya membangun rumah di posisi tusuk sate. Efisien tapi sulit laku –kecuali rumah pertama yang mampu saya beli dulu: tusuk sate di Tenggilis Mejoyo. Tidak sial. Bahkan bisa membuat saya rukun 50 tahun dengan wanita yang di foto itu: 20 Agustus nanti
Apakah duduk menghadap ke belakang dikeluhkan oleh penumpang?
“Tidak ada,” jawab pramugari di situ. “Paling ketika awal datang saja ada yang seperti kaget, kok menghadap ke belakang,” tambahnyi.
Saya termasuk yang tidak kaget: sudah diberi tahu sejak memilih kursi waktu check in. Sama-sama menghadap ke belakang pilih yang mana. Sama-sama terpisah dengan wanita itu tapi yang mana.
Saya pilih yang dipisahkan meja. Bisa tetap saling lihat –setidaknya saling lirik. Untuk ngobrol memang agak sulit. Berjarak. Sedikit mengeraskan suara akan mengganggu penumpang lain. Lihat sekali lagi foto itu. Sulit kan? Untuk saling berbisik?
Memang, dari segi rasa, menghadap ke belakang tidak ada bedanya. Sama saja. Tidak seperti naik bus: bisa mabuk. Terutama karena saat melihat ke luar jendela pohon-pohon seperti berlarian berlawanan.
Di pesawat saya tidak bisa melihat pohon yang lari ke belakang. Tidak ada juga tiang listrik. Apalagi posisi duduk saya di blok tengah.
Untuk bisa melihat apakah di luar pesawat ada pohon yang lari saya harus menengok ke arah jendela. Saya sungkan. Ada wanita cantik, Arab, putih, tujuh ‘i’, di jendela itu. Kalau saya sering-sering lihat jendela bisa dikira naksir. Apalagi posisi duduknyi menghadap arah depan. Setiap saya menatap jendela otomatis menatap matanyi. Mengagumi dan menaksir memang beda tipis.
Bayangkan. Betapa sulit posisi saya di pesawat ini. Untung hanya dua setengah jam. Tapi itu dua setengah jam yang menyiksa: tidak bisa lihat pohon lari di luar sana.
Saya pun menyalahkan Qatar: mengapa bermusuhan dengan negara tetangganya. Qatar sempat tegang dengan Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Padahal pesawat yang saya naiki ini milik UEA.
Dari Abu Dhabi ke Jeddah seharusnya hanya dua jam. Potong lurus. Lewat atasnya Qatar. Gara-gara hubungan tidak baik itu pesawat harus memutar ke atas laut. Jalurnya lebih panjang. Lebih tersiksa: ada jendela tapi tidak bisa ditengok.
Tapi bukankah ketegangan di Qatar itu sudah reda? Terutama sejak menjelang Qatar jadi penyelenggara Piala Dunia sepak bola? Bukankah tim Saudi sudah mau berlaga di Qatar? Bukankah Arab Saudi sudah mau membatalkan rencana penggalian daratan yang memisahkan kedua negara? Bukankah proyek laut pemisah itu sudah diurungkan?
Saya juga menyalahkan angin: mengapa hari itu angin bertiup dari arah depan? Mengapa kecepatan angin sampai 97 km/jam? Head wind seperti itu bikin jalannya pesawat terhambat. Menambah siksaan jendela.
Saya pernah terbang dari San Francisco ke Hong Kong. Sepanjang perjalanan head wind sangat kencang: sampai 200 km/jam. Pesawat sampai termehek-mehek. Bahan bakar tidak cukup untuk sampai Hong Kong. Harus mendarat darurat di Taipei. Isi ulang. Penumpang menunggu di dalam pesawat. Jadwal kedatangan di Hong Kong pun telat lebih dua jam.
Tapi tidak ada persoalan jendela saat itu.
Kenapa sih di perjalanan Abu Dhabi–Jeddah ini angin tidak dari arah belakang? Tail wind bisa mempercepat perjalanan pesawat. Sehingga saya tidak harus lama-lama tersiksa oleh jendela itu.
“Mendung hitam tidak akan terus bergayut di tempat yang sama”.
Seberat apa pun, dan sebesar apa pun persoalan, akan ada waktunya berlalu. Oleh angin dari depan. Pun dari belakang.
Pesawat pun mendarat di Jeddah. Di bandara baru. Istimewa. Baru dipergunakan setelah Covid-19.
Pesawat-pesawat lain pun mendarat. Termasuk yang membawa turis. Saya lihat beberapa wanita bule di bandara itu. Hanya pakai hot pants jean.
Saya menengok ke arah pesawat parkir. Jendela itu masih di sana.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia