Senyum Muda

Para jamaah umroh sedang berjalan di Madinah Saudi Arabia. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

“TOLONG minta tempat duduk di tengah”.

Itulah pilihan saya kalau naik bus. Bukan di depan, yang posisi tempat duduknya di depan roda atau di atas roda.

Saya perlu posisi yang lebih stabil: ingin banyak membaca dan menulis. Tidak mudah pusing. Posisi tengah lebih stabil: antara roda depan dan roda belakang.

Yang saya hindari total adalah duduk di kursi belakang. Apalagi paling belakang. Posisi kursinya di belakang roda. Bisa terbang saat membaca: termasuk huruf-hurufnya.

“Jangan paling belakang,” kata saya setelah tahu bagian tengahnya pun sudah penuh. Saya sudah tua. Anak muda yang banyak pilih duduk di belakang. Apalagi yang lagi pacaran.

Ampun. Ini perjalanan panjang: 12 jam. Dari Madinah ke Riyadh. Kenapa tidak bisa duduk yang sesuai dengan kursi pilihan.

“Bus penuh. Yang ada tinggal satu kursi. Anda pembeli tiket terakhir”.

Ampun. Itu pasti tempat duduk yang paling dihindari semua penumpang bus: paling belakang, paling pojok.

Apa boleh buat. Pasrah. Tawakal. Sudah takdirnya begitu. Move on.

Saya lihat lembaran tiket: kursi nomor 49.

Mungkin ini hukuman bagi prangko yang melepaskan diri dari amplopnya. Si prangko ingin ke Riyadh untuk kali pertama. Jalan darat. Si amplop ditinggal di Madinah. Amplop itu akan dikirim lewat pos ke Makkah: travel Bakkah. Bersama amplop-amplop yang lain.

Percayalah si prangko akan tetap mencari amplopnya: pada saatnya.

Tapi 12 jam di pojokan bus paling belakang bukanlah sekadar hukuman. Tidak kebagian jendela pula. Sumpek. Penat. Bergetar –pun di jalan mulus tiga lajur ke arah timur.

Saya paksakan menulis untuk Disway: soal Pagar Teras itu. Hebat. Tidak pusing. Jalan bebas hambatan ini mulus sekali. Ini jalan bebas hambatan tapi bukan tol. Gratis. Saudi itu seperti Jerman: tidak punya jalan tol.

Orang Italia pernah menyombongkan diri ke orang Jerman: ketika pertama menggunakan teknologi mobil masuk gerbang tol tanpa berhenti. Si Jerman tinggal menjawab: kami tidak perlu gerbang.

Maafkan kalau Anda tidak bisa tersenyum membaca humor itu: saya mengakui kalah dari L-1301 soal menulis humor.

Jalan raya benar-benar mulus. Saya lihat jam di HP: hampir pukul 11.00. Sudah waktunya baca komentar para perusuh. Siapa tahu terhibur dan bisa senyum-senyum sendirian.

Ini bus tanpa lagu. Apalagi dangdut. Apalagi karaoke. Rasanya ingin mengundang Liam ke sini: agar nyanyi di bus ini.

Saya urungkan baca komentar. Pukul 11.00 itu masih pukul 15.00 waktu Indonesia. Kurang satu jam lagi. Agar yang kirim komentar sebelum pukul 16.00 masih bisa saya baca.

Saya pun pindah ke Google map: ini sudah sampai di mana.

Pertanyaan “ini sudah sampai di mana” itu sebenarnya pertanyaan –meminjam istilah beliau– pertanyaan “goblik”.

Untuk apa perlu bertanya sudah sampai di mana. Bus ini tidak lewat mana-mana. Sudah berapa jam pun melaju tetap saja baru sampai padang pasir. Atau gunung batu. Tidak bisa dibedakan sudah sampai di mana.

Kecuali, kelak, gunung batunya diberi nomor. Diberi nama ‘asmaul husna’ pun tidak cukup banyak. Mungkin perlu diberi nama-nama tokoh wayang kulit.

Dari map itu akhirnya saya tahu: kelak akan ada 1000 kota yang dilewati. Nama salah satunya: Buraydah. Bus akan sampai Buraydah kira-kira setelah lima jam melewati padang pasir berbatu. Atau enam jam dari Madinah.

Membaca nama Buraydah itu tiba-tiba muncul panggilan hati: turun di Buraydah. Tidak jadi ke Riyadh. Bermalam di Buraydah dulu. Di pedalaman Arab Saudi. Ingin tahu: seperti apa kota di tengah padang pasir.

Tinggal atur siasat: bagaimana agar boleh turun di kota sebelum tujuan. Saya siapkan jawaban-jawaban dari berbagai kemungkinan pertanyaan.

Bus ini pasti berhenti di Buraydah. Ini kota besar. Sudah waktunya sopir istirahat. Atau makan. Kenapa tidak ada informasi apa pun soal bus akan berhenti di mana saja. Tapi saya maklum. Ini Saudi.

Go head. Saya pun lebih sering lihat map. Kian mendekati Buraydah kian kuat keinginan untuk turun di situ. Ke Riyadhnya bisa keesokan hari. Toh tidak ada janji bertemu dengan siapa pun di Riyadh.

Lalu terlihat bus keluar dari jalan raya. Saya tidak tahu itu di mana. Tidak ada jendela. Buraydah masih agak jauh –meski terlihat dekat di peta.

Saya intip dari jendela penumpang depan: ini masih padang pasir. Ini seperti rest area. Rest area pertama setelah perjalanan enam jam.

Ada pompa bensin. Ada kios-kios. Masjid. Toilet. Beberapa bus yang berhenti. Sedikit mobil kecil.

Semua penumpang turun. Saya mulai ragu: ternyata bus ini berhenti di sini. Bukan di Buraydah. Logika normal saya salah: bus akan berhenti di kota besar berikutnya. Saya terlalu sering naik bus Greyhound di Amerika. Logika bus saya terbentuk dari situ. Atau dari sejak kecil di negeri sendiri.

Di sini ternyata bus berhenti di rest area.

Jangan ragu! Pantang mundur!

Tetap harus turun di sini!

Bahwa dari rest area akan naik apa ke Buraydah diatur belakangan. Di mana ada kemauan di situ ada kemungkinan.

Saya pun mencari kernet: harus ambil tas kecil saya di bagasi.

Ternyata tidak mudah. Saya tidak diizinkan turun di situ. Tiket saya ke Riyadh.

Tapi saya lihat wajah ragu di kepala kernet. Maka saya jelaskan: saya tidak minta uang pengurangan harga, saya tidak akan minta ia menanggung biaya kendaraan saya ke Buraydah. Semua tanggung jawab saya sendiri.

Saya dibawa ke kantor bus itu. Panjang perdebatan mereka soal saya. Saya tangkap sekilas: bagaimana bisa keluar dari padang pasir ini.

Seperti setengah putus asa kernet lalu membawa saya ke arah bus berhenti. Lama memandang wajah saya. Lalu keluar kata-kata pemungkasnya: beri saya 20 real, untuk makan.

Saya pun berterima kasih atas kebaikannya. Lalu dibukalah bagasi. Saya ambil tas merah kecil itu.

“Hanya itu?” tanyanya.

Isinya hanya dua lembar kain ihram dan dua potong baju dalam.

Ini musim dingin. Tidak berkeringat. Cucian pun lima jam ditinggal tidur sudah kering. Bibir saja terasa kering, apalagi hanya pakaian dalam.

Di rest area itu saya duduk di depan musala. Atur strategi.

Matahari menyentrongkan sinar terkuatnya. Langit seperti berdebu. Hati pun galau: bagaimana bisa keluar dari sini. Saya tidak punya apps taksi Saudi. Coba saya masih muda mungkin lebih pintar menggunakan segala cara yang ada di HP.

Saya raba dompet. Masih ada. Berarti ada uang. Rasanya itu senjata terbaik saat itu. Rasanya si amplop tadi memasukkan beberapa lembar uang real ke dompet. Termasuk beberapa lembar @200 real. Baru tahu. Saya kira nominal tertinggi itu lembar 100 real.

“Akan selalu ada orang baik di mana pun”.

Di samping banyak juga yang tidak baik.

Saya tanya beberapa hati di situ. Semua pendatang. Saya belum mau menggunakan senjata terakhir. Toh saya belum seperti Didi Kempot: bertanya sampai ke 1000 hati. Sampai kelelahan dan meninggal dunia.

Saya lihat di rest area ini ada bengkel mobil. Sepi. Beberapa montirnya duduk di lantai semen: makan bersama. Saya tunggu mereka selesai makan. Saya tidak mau menembak di saat angin belum reda.

Tapi mereka seperti tahu pedalaman hati saya: berdiri lama di depan bengkel itu.

“100 real,” katanya.

“Ok,” jawab saya.

“Kenapa mahal?” tanya saya ketika mobil sedan Hyundai meninggalkan rest area.

“Buraydah masih lebih 50 km dari sini,” jawabnya.

“Bukan itu?” tanya saya menunjuk sekelompok perumahan di kejauhan sana.

“Itu Bukhairiyah,” jawabnya.

“Yang sana itu?”

“Itu ~™¿©¢”, jawabnya, terdengar tidak jelas di telinga saya.

Ganti ia bertanya: di Buraydah nanti turun di mana.

“Di hotel”.

“Hotel apa?”

“Hotel apa saja”.

Ia tersenyum. Senyum muda. Tidak banyak tanya. Tidak banyak menyalahkan.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia