Oleh Dahlan Iskan
TERNYATA dari sini: segala macam buah, sayur, dan kurma Saudi Arabia. Dari Buraydah.
Dulu saya suka heran membaca berita: Arab produksi sayur-mayur. Rupanya di sini: di provinsi Qassim ini –Buraydah ibu kotanya.
Memang ada hujan di provinsi ini. Terakhir seminggu sebelum kedatangan saya. Deras. Seminggu sebelumnya lagi tiga hari berturut-turut.
Itu buktinya. Di sana itu. Lihatlah ke kanan jalan. Agak di kejauhan itu: ada genangan air di sana. Luas. Lihat. Lebih dari 100 lapangan sepak bola An-Nassr luasnya. Atau stadion Al Hilal. Saking luasnya sampai terlihat seperti danau. Danau di tengah padang pasir: permukaannya menyilaukan. Sampai harus beli kacamata hitam….
“Dua bulan lagi air itu kering. Jadi seperti itu,” ujar si 100 riyal sambil menunjuk tanah basah tidak jauh dari mobilnya.
Itu ternyata bukan danau: hanya air genangan yang tipis. Tidak sampai 30 cm.
Yang penting ada bukti pernah ada hujan. Hujan itu tidak turun lagi mulai akhir bulan ini. Sampai jumpa November depan.
Musim hujan tiga bulan itu sudah cukup untuk bercocok tanam.
Toh sekali tanam dengan luas satu hektare hasilnya sama dengan tiga kali tanam dengan luas 0,3 hektare. Komentator yang selalu bertanya soal di mana belajar matematika mungkin bisa mulai belajar berhitung dari Buraydah.
Jangan tanya soal kurma. Provinsi Qassim adalah ‘ibu kota’ kurma Saudi Arabia. Kalau Anda beli kurma sesekali lihat bungkusnya: banyak yang tertulis Qassim. Maksudnya dari provinsi ini.
Saya beruntung berhenti di Buraydah. Otak saya lebih banyak isinya. Pandangan saya akan Shada Alabo (萨达阿拉伯) pun berubah.
Tanpa saya sadari Shada Alabo punya daratan yang luas. Yang subur memang lebih sedikit. Tapi sedikit dari sangat luas jatuhnya masih luas.
Anda sudah tahu: daratan Shada Alabo lebih luas dari Indonesia yang luas itu. Nggak percaya? Kurangi lautnya. Jumlahkan tanahnya. Tanah kita lebih kecil dari tanah Arab Saudi.
Kurangi juga tanah kita yang tidak subur. Belum tentu masih bisa lebih luas dari provinsi Qassim.
Yang juga baru: kini Provinsi Qassim menanam gandum. Akan terus dikembangkan. Saya baca rencana itu: Qassim akan jadi eksporter gandum. Insya Allah.
Keesokan harinya saya dapat keterangan dari staf kedutaan besar kita di Riyadh: mulai banyak TKI kita di Qassim yang kerjanya di bidang pertanian. Saya tersenyum mendengar penjelasan itu. Orang Indonesia kerja di bidang pertanian di Arab Saudi.
Senja hari saya ke supermarket. Beli tomat ceri dan timun kecil-kecil. Untuk makan malam. Tomatnya dua gelas. Timunnya satu bungkus: isi 18 biji. Habis 60 riyal –sekitar Rp 260 ribu Organik. Juga produk lokal.
Sambil jalan pulang ke hotel saya beli jagung bakar. Di pinggir taman. Satu biji 5 riyal. “Beli 10 riyal saya beri tiga,” katanya. Tiga jagung bakar Rp 40 ribu. Itu jagung produksi Qassim. Jagung manis.
Penduduk Buraydah lebih setengah juta: kota besar untuk ukuran Arab. Tidak aneh: di dalam kota tidak terlihat pohon. Gersang. Apalagi semua bangunannya warna krem. Mata yang terbiasa menatap warna hijau tiba-tiba harus sering berkedip: sampai harus beli kacamata hitam.
Habis makan malam saya berolahraga. Satu jam. Mandi. Tidur. Ini kota besar. Besok pasti ada kendaraan menuju Riyadh. Pasti ada terminal bus.
Saya juga sudah tahu: ada juga kereta dari Buraydah ke Riyadh. Hanya jadwalnya belum tahu. Gampang. Besok saja. Tidur dulu. Sambil membawa mimpi indah: di TV Buraydah Liverpool baru saja menang dramatik. Entah di TV Anda.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia