Oleh Dahlan Iskan
CUACA buruk sejak hari pertama puasa. Matahari seperti mati lampu sepanjang siang. Langit didominasi mendung. Tidak ada panas. Tidak ada haus –bagi yang puasa.
Bagi yang sering naik pesawat sebaliknya: hari-hari ini dipenuhi rasa waswas.
Guncangan fisik tidak hanya sesekali terasa. Guncangan batin lebih-lebih lagi: teringat bagaimana naik pesawat yang pilot dan copilotnya tertidur selama 28 menit. Anda sudah tahu: itu Batik Air jurusan Kendari nan jauh.
Tapi saya harus naik Batik Air dari Jakarta Jumat malam kemarin. Itulah satu-satunya pesawat yang terbang malam ke Surabaya: pukul 19.00. Yang lebih awal bisa banyak pilihan, tapi khawatir rapatnya berlarut-larut.
Kebetulan saya yang memimpin rapat. Sebelum mulai pun saya sudah lobi-lobi. Agenda yang sulit-sulit saya carikan kompromi sebelum rapat dimulai.
Rapat harus selesai paling lama dua jam. Itulah doktrin saya sejak lama. Rapat yang lebih dua jam bukanlah rapat. Itu forum pertengkaran. Atau, itu benar-benar rapat tapi ibarat tanpa pimpinan –meski sosoknya ada.
Tentu saya berdoa agar pilot Batik yang ini tidak tertidur. Jarak terbangnya kan pendek. Hanya satu jam 15 menit. Mestinya belum sempat mengantuk sudah harus mengurangi ketinggian pesawat dari 28.000 kaki. Apalagi banyak mendung yang sering mengguncang cockpit mereka.
Menjadi pilot di perjalanan panjang mungkin memang membosankan. Monoton. Tidak ada yang perlu diwaspadai. Tidak akan terperosok ke selokan. Mungkin ibarat mengemudikan mobil di North Dakota: jalannya lapang, sepi, lurus. Tidak menantang sama sekali: ngantuk.
Sambil terbayang pilot yang tidur itu saya menenangkan diri: pesawat terbang itu hebat. Ditinggal tidur sopirnya selama 28 menit pun baik-baik saja. Auto pilotnya berfungsi dengan baik. Komputernya tidak bisa mengantuk. Ia tahu ke mana tujuan pesawat. Ia tahu kapan harus mendarat. Ia pun tahu cara mendarat –seandainya pilotnya tidak terbangun.
Ada prosedur khusus bagaimana cara membangunkan pilot seperti itu. Menara pengawas ternyata tahu bahwa pilot di suatu pesawat lagi tidak aktif. Tidak ada komunikasi.
Menara bisa minta bantuan pesawat lain yang terbang di sekitar Batik. Tidak berhasil kontak. Kecurigaan pun kian tinggi: pilot dan copilotnya tertidur.
Maka menara punya rencana berikutnya: membangunkan mereka dengan cara lain. Tunggu dua menit lagi. Tunggu genap 30 menit.
Caranya: menara akan meminta bantuan TNI-AU untuk melacak keberadaan Batik Air itu: dengan pesawat tempur kecepatan tinggi. Pesawat tempur itu akan bermanuver di dekat Batik Air tersebut –dengan suaranya yang menggelegar.
Sebelum itu dilakukan ternyata pilot sudah terbangun. Rupanya auto-bangun di otak pilot juga berfungsi: bisa bangun sebelum 30 menit.
Saya juga tenang saja di tengah guncangan cuaca buruk. Saya percaya pada ilmu pengetahuan. Pada teknologi pesawat. Juga pada prosedur tesnya: sebelum pesawat diizinkan beroperasi pasti sudah dicoba terbang di cuaca yang terburuk yang pernah ada.
Tentu tesnya di komputer. Tapi itu sudah cukup –terutama bagi yang percaya ilmu sebagai anugerah Tuhan.
Belakangan memang terjadi beberapa musibah beruntun di udara. Januari lalu pintu pesawat lepas begitu saja. Jatuh ke bumi. Posisi pesawat lagi terbang tinggi di atas kota Portland, California.
Berita baiknya: tidak ada penumpang yang terlempar keluar. Padahal udara luar pasti menyedot dalamnya pesawat dengan sedotan sangat kuat.
Hebat. Berarti semua penumpang begitu disiplin: mengenakan sabuk pengaman. Hanya dengan itu penumpang tidak terlempar: sabuk pengaman.
Minggu ini ada kejadian lain: pesawat 787 mendadak ‘jatuh’ dari puncak ketinggiannya. Pesawat dari Sidney ke Selandia Baru. Tersentak ke bawah. Begitu banyak yang terluka: 50 orang –12 di antaranya harus masuk rumah sakit. Mereka terlempar dari kursi. Membentur kursi lain. Membentur langit-langit pesawat.
Penyebabnya satu: mereka tidak mau tetap pakai sabuk pengaman.
Sudah lama saya disiplin pakai sabuk pengaman. Yakni sejak ada kejadian pesawat di Jepang yang mendadak ‘jatuh’ dari puncak ketinggiannya. Juga Boeing 787. ‘Jatuh’-nya sangat dalam: 5.000 kaki.
Pesawat ternyata sudah didesain anti turbulensi. Terjatuh dari ketinggian sedalam itu pun bisa seimbang lagi di ketinggian tertentu.
Tidak satu pun yang meninggal. Hanya satu yang cedera: kepala membentur plafon pesawat. Berarti hanya satu orang itu yang tidak mau pakai sabuk pengaman.
Jumat pagi kemarin itu saya berangkat ke Jakarta pakai Pelita Air. Penuh. Hanya dapat seat di kelas bisnis. Mubazir. Tidak bisa makan. Apa boleh buat.
Tapi saya dapat pengalaman baru. Sebelum terbang pramugarinya yang 5i memberi tahu: kursi saya itu dilengkapi airbag. Kalau misalnya pesawat terhentak keras, airbag akan keluar. Jangan kaget.
Ketika lewat di atas Semarang pesawat terhentak cuaca buruk. Airbag tidak keluar. Mungkin hentakannya kurang keras. Mungkin kalau hentakannya sekeras pesawat jatuh barulah airbag-nya keluar.
Maka saya percaya saya ada airbag di situ. Daripada harus dibuktikan dengan menjatuhkan pesawat.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia