Oleh Dahlan Iskan
PUN di bulan puasa: kerja keras. Tiga hari, tiga kota, tiga komitmen investasi.
Maka begitu dilantik jadi presiden baru, Prabowo Subianto langsung bisa lari. Mestinya. November depan. Penantian yang masih lama. Tidak bisa seperti di Inggris: hari ini diputuskan terpilih, besoknya dilantik.
Sisi baiknya: presiden terpilih bisa menyiapkan diri matang-matang. Agar setelah dilantik pun masih harus belajar dulu.
Tujuh bulan penantian pelantikan.
Begitu lama.
Bulan madu politiknya sudah akan lama lewat.
Konflik internal pasca kemenangan juga sudah terurai. Mestinya.
Nego dengan lawan politik pun sudah bisa cincai.
Tinggal lari.
Persiapan untuk lari itu sudah bisa dilakukan pun oleh pemerintah yang sekarang. Birokrasi bisa tetap lari kencang. Tidak perlu lagi ada tim transisi. Birokrasi yang sekarang juga tidak perlu gamang.
Para investor yang setahun terakhir bersikap “wait and see” sudah waktunya “action”.
Maka setelah Pemilu usai orang seperti Septian Hario Seto bisa langsung terbang menemui para calon investor kelompok “wait and see”.
Anda sudah tahu Seto: deputi menteri koordinator Luhut Binsar Pandjaitan. Yang namanya top saat berpolemik dengan ekonom terkemuka yang juga seniornya di Universitas Indonesia: Dr Faisal Basri. Yakni soal nilai tambah hilirisasi nikel.
Pun meski di bulan puasa. Seto ke Shanghai, Ningbo, dan Shenzhen. “Ini baru kali pertama saya berpuasa di Tiongkok,” katanya.
Menu buka puasanya apa?
“Serba seafood,” jawabnya.
Saya maklum. Ningbo adalah kota pantai. Seto bertemu pengusaha “wait and see” di kota Ningbo: pertengahan antara Shanghai dan Wenzhou.
Shanghai tempat Seto mendarat. Lalu naik mobil ke Ningbo –lewat jembatan di atas laut sejauh 36 km.
Wenzhou adalah daerah asal pemilik perusahaan hilirisasi nikel di Morowali, Sulteng.
Di buka puasa itu Seto mendapat penjelasan bahwa semua menu yang disiapkan adalah makanan halal. Di antara yang buka bersama memang hanya Seto yang berpuasa.
“Untung di Tiongkok waktu buka dan sahurnya hampir sama dengan di Indonesia,” ujar Seto.
Ke Shanghai kali ini Seto ikut penerbangan tengah malam dari Jakarta. Begitu terbang ia makan sahur. Pukul 06.00 sudah mendarat. Dua jam kemudian sudah rapat di Shanghai.
Yakni rapat dengan perusahaan kaca yang selama ini ‘wait and see’ untuk berinvestasi di Indonesia.
“Rapat ini untuk finalisasi rencana itu,” ujar Seto.
Salah satu produk pabrik kaca ini adalah photovoltaic glass. Yakni bahan untuk solar cell. Masih banyak macam lagi produk lain.
Investasi yang akan dilakukan sangat besar: antara USD 3,5 miliar-4 miliar. Sekitar Rp 75 triliun.
Hasil finalisasi itu: groundbreaking sudah bisa dilakukan Juni depan. Itu untuk fase pertama dari tiga fase –photovoltaic di fase terakhir. Tinggal pemerintah yang harus mempercepat perizinannya.
Lokasi proyek ini Anda sudah tahu: di kawasan industri terbaru di Kalimantan Utara. Milik Boy Thohir dan pengusaha lainnya itu.
“Ini sekaligus menguatkan posisi Kaltara sebagai kawasan industri hijau di Indonesia,” ujar Seto.
Dua jam di Shanghai Seto naik mobil ke arah selatan: Ningbo. Sekitar 3 jam perjalanan. Di tengah jalan mampir rest area: Seto tidur. Yang lain makan siang.
Ningbo adalah kota terbesar kedua di provinsi Zhejiang. Sinar Mas pernah punya bank di kota ini: Bank Ningbo.
“Saya suka kota ini. Meskipun ini daerah industri, kotanya bersih dan penduduknya juga sangat ramah,” ujar Seto.
Kalau terjadi perang besar antara Taiwan-Tiongkok, Ningbo berada di lingkaran satu wilayah perang.
Di Ningbo, Seto rapat dengan perusahaan ”wait and see” lainnya: perusahaan tekstil.
Seto terkesan dengan calon investor ini. Pabrik tekstilnya terintegrasi secara vertikal.
“Mirip dengan Sriteks Solo yang kini lagi kesulitan besar itu?” tanya saya dalam hati. Tentu Seto tidak mendengar pertanyaan saya itu.
Saya tahu jawab Seto: tidak sama. Saking terintegrasinya perusahaan tekstil Ningbo ini sampai menyuplai kebutuhan pabrik-pabrik besar Amerika-Eropa seperti Nike, Adidas, Puma dan Uniqlo.
“Ia jadi seperti Foxconn-nya Apple,” ujar Seto.
Kesan mendalam lainnya: chairman perusahaan itu sangat humble dan sederhana. “Kalau kita ketemu di jalan, kita tidak akan mengira kalau orang ini punya kekayaan sekitar Rp 102 triliun,” ujar Seto. Angka itu ia dapat dari Forbes.
Seto bertemu langsung dengan sang chairman. Rapatnya dua jam. Satu jam lagi untuk meninjau pabrik.
Seto dapat cerita bahwa seluruh hidup sang chairman dihabiskan di pabrik. Sejak masih kecil. Pabrik itu didirikan oleh ayahnya.
Perusahaan ini juga memastikan investasi yang dulunya berstatus ”wait and see”. Mereka sudah melakukan pembicaraan tahap akhir dengan salah satu kawasan Industri di Jawa Barat. Ia perlu tanah sekitar 60 hektare.
Investasinya memang tidak sebesar yang pabrik kaca tapi daya serap tenaga kerjanya tinggi: 10.000 orang.
Bukan hanya soal tenaga kerja yang mengesankan Seto. Juga perlakuan pada karyawan mereka. “Semua karyawan disediakan asrama dan makan. Tiga kali sehari. Termasuk untuk keluarga. Semua,” ujar Seto.
Ia diajak keliling asrama itu. Melongok ke dalam kamar. Type 30 m2. Untuk dua orang.
Yang seperti itu tidak hanya di Ningbo. Di perusahaannya yang di Vietnam dan Kamboja pun sama. Pun yang di Jawa Barat nanti.
“Saya pun bertanya kepada sang chairman: kenapa melakukan itu semua. Bukankah akan menambah biaya produksi?” ujar Seto.
“Beliau menjawab bahwa karyawan adalah prioritas pertama mereka. Jika karyawan senang maka mereka akan berkontribusi besar buat perusahaan,” ujar Seto mengutip jawaban sang chairman.
Seto pun membaca laporan laba rugi perusahaan tersebut. Bisa dipercaya. Ini perusahaan publik. Listed di HKSE, pasar modal Hongkong.
“Net profit marginnya sekitar 14 persen. Luar biasa untuk perusahaan tekstil,” ujar Seto.
Malam itu Seto melewatkan malam di Ningbo. Pagi-pagi terbang ke lebih selatan: Shenzhen. Ia harus bertemu dengan perusahaan mobil yang Anda sudah tahu: BYD. Orang Tiongkok mengucapkannya dengan ‘piyati’.
Di Piyati pun Seto merapatkan finalisasi ‘wait and see’ yang kemarin: dipastikan jalan. Bulan depan akan ada pengumuman resmi relokasi pabrik Piyati ke Indonesia. Tidak perlu menunggu pelantikan presiden baru.
“Targetnya di awal 2026 pabrik mereka bisa berproduksi secara komersial,” ujar Seto.
Saya termasuk yang mengunjungi pameran mobil di PRJ Kemayoran bulan lalu. Piyati seperti menguasai area pameran. Salah satu mobil listrik yang menarik perhatian adalah: Denza D9. Mirip sekali dengan Toyota Alphard. Lebih mewah. Bisa 650 km/sekali charging.
Saya lihat masih stir kiri. Coba saja sudah stir kanan rasanya ingin langsung saya bawa pulang.
Piyati sudah siap membeli tanah 109 hektare. Rezeki nomplok bagi kawasan industri yang lagi lesu.
“Mungkin ini berkah Ramadan,” simpulnya.
Seto lega biar pun di bulan puasa bisa menjangkau tiga kota, dalam tiga hari, untuk tiga komitmen investasi.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia