Air Amran

Andi Amran Sulaiman kembali masuk kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertanian lagi. (Foto/Instagram/@a.amran_sulaiman)

Oleh Dahlan Iskan

INI kejutan di saat haus: Amran Sulaiman akan membeli 7.000 pompa air.

Kapan?

“Mulai sekarang,” ujar menteri pertanian itu.

Saya memang terkesan dengan putusan itu. Begitu TSM. Begitu cepat. Lalu, dari Tiongkok, saya WA beliau. Kemarin. Langsung direspons. Angka 7.000 pompa itu langsung dari keterangan beliau.

Pompa itu untuk mengairi sawah. Yakni sawah yang tanpa irigasi. Luasnya: 1 juta hektare. Separo di Jawa, selebihnya di luar Jawa. Termasuk di daerah asalnya: Sulawesi Selatan.

“Itu lebih penting dari food estate,” tulis saya dalam WA ke sang menteri.

Saya punya prinsip: meningkatkan produksi beras di sawah yang sudah ‘jadi’ jauh lebih mudah dari memproduksi beras di sawah baru. Juga lebih instan.

Rakyat kita sudah terbiasa serba instan: makanan instan, keinginan instan, bansos instan.

Cetak sawah baru tidak bisa instan: perlu kesabaran. Apalagi di tanah gambut Kalimantan.

Sawah baru belum akan mampu menghasilkan padi sebanyak sawah yang sudah ‘jadi’.

Di tahun pertama sawah baru paling hanya bisa menghasilkan gabah dua atau tiga ton/hektare.

Tahun kedua hanya bisa naik sedikit.

Pun tahun ketiga.

Baru di tahun keenam akan mampu menghasilkan 6 sampai 8 ton/hektare.

Begitu panjang penantian hasilnya. Padahal sebelum tahun keenam medsos akan keburu ribut: ‘proyek sawah baru’ langsung disebut gagal!

Bahkan kecaman seperti itu sudah mulai muncul di tahun kedua. Lalu akan kian ribut menjelang Pemilu.

Tentu akan dipersoalkan besarnya biaya cetak sawah baru dibanding hasil. Rakyat tidak akan bisa menerima penjelasan proyek strategis jangka panjang.

Maka mencetak sawah baru kelihatannya tidak cocok dilakukan di negara yang tiap lima tahun ada Pemilu. Program jangka panjang seperti itu berpotensi jadi persoalan.

Maka meningkatkan produksi di sawah yang sudah ‘jadi’ adalah solusi.

Dari sudut itu saya melihat Menteri Amran jeli: begitu banyak sawah yang tidak bisa ditanami padi di musim kemarau. Tidak ada irigasi. Sepenuhnya bergantung pada hujan: tadah hujan.

Mengadakan air di tanah seperti itu lebih mudah dari membuka food estate.

Petani sendiri sudah lama melihat peluang pengadaan pompa seperti itu. Pompa mandiri. Petani beli sendiri.

Kalau Anda menyusuri jalan tol dari Sragen ke Ngawi sampai ke Nganjuk tataplah kanan kiri: ribuan pompa air mandiri diadakan sendiri oleh petani.

Maka Sragen, Ngawi jadi lumbung padi. Nganjuk jadi lumbung bawang merah.

Kini Amran mau membeli 7.000 pompa air. Besar-besaran. Untuk 1 juta hektare. Biayanya Rp 5 triliun.

Kalau saja bukan bulan puasa saya berani taruhan: hasilnya jauh lebih besar dari sawah baru di food estate.

Lebih instan. Cocok untuk memenuhi rasa dahaga medsos yang serba instan.

Seberapa besar ukuran pompa yang dibeli?

“Semua ukuran. Besar, sedang, kecil,” ujar Amran.

Melihat jawaban itu, rasanya tidak mungkin lewat tender. Dugaan saya pembelian akan dilakukan lewat e-katalog.

Maka beruntung para pedagang yang sudah memasukkan pompa air di e-katalog mereka. Ada bisnis Rp 5 triliun dadakan.

Tentu saya masih akan banyak bertanya: sepulang dari Tiongkok nanti. Akan diapakan 7.000 pompa itu. Dibagikan gratis? Pada siapa? Lewat siapa? Mengapa tidak sebelum Pilpres? Siapa yang harus menanggung biaya operasional? Terutama untuk membeli BBM?

Kalau sampai pompa itu tidak bisa beroperasi target pun gagal. Kalau berhasil maka impor beras akan hilang tahun depan.

Tentu akan lebih baik kalau pompa tersebut pakai tenaga surya. Tidak mencemari lingkungan. Dan lagi air bisa dipompa siang hari. Tidak harus beli baterai.

Di sini Amran harus teliti. Jangan ada yang main api. Amran harus kerja keras. Sebentar lagi sudah kemarau.

Amran sendiri biasa kerja keras. Ketika tidak lagi jadi menteri ia tidak berhenti berbakti. Ia lagi membangun masjid besar di Makassar. Di belakang kampus Universitas Hasanuddin. Konon akan yang terbesar di Indonesia Timur.

“Saya pernah diajak meninjau lokasi masjid itu,” ujar Akbar Faisal, mantan anggota DPR yang sekarang jadi YouTuber berkaliber. Podcast-nya, Uncensored, Anda sudah tahu: top sekali.

Masjid itu nanti akan diberi nama khusus: nama ibunya.

Lokasi masjid itu sangat bersejarah bagi hidup Amran. Ia kuliah di fakultas pertanian di Unhas. S-2 pertaniannya juga di Unhas. Pun S-3 nya di bidang yang sama.

Saat Amran jadi mahasiswa ia selalu ke empang di belakang kampus itu: cari ikan. Hasilnya untuk membiayai kuliahnya. Sampai lulus.

Ayahnya seorang petani. Ia tahu penderitaan petani. Terutama kalau ada serangan hama: tikus.

Maka saat jadi mahasiswa itu Amran terus berpikir bagaimana bisa memberantas tikus di sawah. Berbagai uji coba ia lakukan: berhasil. Ia pun menciptakan formula racun tikus. Lubang tikus dimasuki asap beracun. Lubang satunya dibuntu. Tikusnya mati.

Racun tikus jenis itu ia beri nama Tiran. Artinya Anda sudah tahu: Tikus Mati Diracun Amran.

Racun tikus itulah yang membawa Amran mentas dari kemiskinan. Lalu jadi kaya. Ia tidak lupa penderitaan masa mudanya. Ia simpan baik-baik foto kamar kosnya yang sempit dan kumuh saat jadi mahasiswa.

Setelah kaya Amran membeli tanah empang di belakang kampus itu. Puluhan hektare luasnya. Sebagian untuk masjid besar bernama ibunya.

Air empang sumber biaya kuliah Amran. Kuliahnya jadi sumber ide Amran menemukan racun tikus. Ia tidak lupa air yang lebih hulu: ibundanya.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia