J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Izak Pangemanan, menyampaikan permohonan maaf atas tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh sejumlah prajurit Batalyon 300 terhadap warga lokal di Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. Belum diketahui pasti kapan penyiksaan itu dilakukan, tetapi diperkirakan pada awal Februari.
“Saya sebagai Pangdam dan TNI AD mengakui bahwa perbuatan ini tidak dibenarkan. Perbuatan ini melanggar hukum dan mencoreng nama baik TNI. Perbuatan ini juga mencoreng upaya penanganan konflik di Papua. Saya minta maaf kepada seluruh masyarakat Papua. Kami akan terus bekerja agar kejadian-kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa mendatang,” kata Izak dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (25/3).
Video penyiksaan orang asli Papua bernama Defianus Kogoya dilakukan oleh 13 prajurit TNI dari Kodam III/Siliwangi, Yonif Raider 300/Braja Wijaya yang sedang penempatan di Papua Tengah, viral di media sosial sejak akhir pekan lalu.
Pangdam Cenderawasih menyayangkan penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI itu karena selama ini TNI telah berupaya membangun citra baik di Papua. “Ini tidak boleh terjadi. Upaya kami terus menyelesaikan permasalahan Papua dengan cara-cara dan pendekatan-pendekatan yang benar. Ada prajurit yang melakukan ini, sangat disayangkan dan melanggar hukum. TNI tidak pernah menerapkan prosedur kekerasan dalam melaksanakan tugas,” ujar Izak.
Selain membentuk tim investigasi penyiksaan orang asli Papua ini, Kodam XVII/Cenderawasih juga meminta bantuan Kodam III/Siliwangi karena 13 prajurit yang melakukan penyiksaan itu berasal dari Yonif Raider 300/Braja Wijaya.
“Tidak ada satu pun yang boleh lolos, semua yang terlibat akan dihukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kami sudah meminta bantuan pemeriksaan kepada Kodam III/Siliwangi. Kami meminta bantuan pemeriksaan dan saat ini Pomdam III/Siliwangi sedang melakukan pemeriksaan kepada mereka yang diduga terlibat dalam tindakan kekerasan ini,” ungkap Izak.
Tiga belas prajurit TNI itu telah ditahan sementara di instalasi tahanan militer Pomdam III/Siliwangi. Nantinya, mereka akan ditetapkan sebagai tersangka.
“Proses hukum akan kami dorong terus. Kompensasi kepada masyarakat Papua adalah keadilan yang harus didapatkan. Kami akan memberikan keadilan yang seadilnya kepada masyarakat Papua. Proses hukum bisa diakses siapa pun. Saya berjanji akan meningkatkan pengawasan sehingga kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” jelas Izak.
Pangdam Cenderawasih Bersikukuh Kogoya adalah Anggota KKB/Bagian TPNPB-OPM
Pangdam Cenderawasih juga memastikan jika Defianus Kogoya merupakan anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Awal mula penyiksaaan itu berawal saat aparat keamanan TNI-Polri menerima informasi dari masyarakat jika ada rencana pembakaran puskesmas di Distrik Gome yang akan dilakukan oleh Defianus Kogoya bersama kelompoknya. Pada saat aparat keamanan TNI-Polri mengamankan puskesmas. Mereka ditembaki oleh KKB, yang memicu baku tembak dengan aparat.
“Lalu, pasukan kami melakukan pengejaran dan tertangkap tiga orang yaitu Warinus Kogoya, Alianus Murib, dan Defianus Kogoya. Ketika ditangkap ditemukan mereka membawa satu pucuk senjata api, beberapa amunisi, senapan angin, dan senjata tajam,” ujar Izak.
Ketiganya orang itu sedianya akan dibawa ke Polres Puncak. Namun saat di perjalanan Warinus Kogoya mencoba meloloskan diri dengan melompat dari atas mobil dengan tangan terikat. Nahas, Warinus meninggal dunia usai kepalanya terbentur batu. Alianus dan Defianus juga sempat melarikan diri tapi berhasil ditangkap kembali di Distrik Gome.
“Di situ dia dianiaya tapi setelah itu dibawa ke puskesmas untuk diobati dan dikembalikan ke masyarakat. Saat ini mereka dalam kondisi baik dan telah dikembalikan kepada keluarganya,” jelas Izak.
Kejadian Berulang, Kepercayaan Publik Anjlok
Sementara itu Ketua Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Gustaf Kawer, mengatakan penyiksaan orang asli Papua yang dilakukan TNI merupakan pengulangan dari kejadian-kejadian yang sebelumnya pernah terjadi di Bumi Cenderawasih.
“Kami tidak kaget dengan pernyataan Pangdam karena itu pengulangan dari kejadian-kejadian sebelumnya dan tanpa evaluasi serta penyelesaian yang tuntas terhadap kekerasan di Papua,” katanya kepada VOA, Senin (25/3).
Menurutnya penyelidikan dan penetapan ke-13 prajurit sebagai tersangka saja tidak cukup. “Saya pikir tidak cukup menetapkan 13 prajurit sebagai tersangka karena itu perlu investigasi yang lebih dalam. Investigasi seharusnya tidak mendengar dari 13 prajurit TNI itu saja. Tapi investigasi ke masyarakat yang menjadi korban maupun saksi lain di lapangan. Maka akan didapatkan data bahwa pelaku sebenarnya itu siapa, ada 13 pelaku atau lebih dari itu,” ujarnya.
Gustaf pun menyarankan agar penegakan hukum terhadap prajurit TNI yang terlibat dalam penyiksaan tersebut diadili di peradilan umum atau peradilan HAM.
“Supaya prosesnya bisa dilihat masyarakat. Kalau bisa diproses jangan di luar Papua. Supaya masyarakat bisa lihat langsung dan ada keadilan bagi orang Papua,” katanya.
Gustaf menyerukan pemerintah untuk menarik seluruh pasukan keamanan TNI-Polri yang berada di wilayah konflik di Papua agar kasus-kasus kekerasan terhadap orang asli Papua tidak terulang kembali. Apalagi pasukan keamanan TNI-Polri non organik yang tak mengerti budaya dan sosial masyarakat lokal Papua.
“Saya kasih contoh mereka pergi operasi dan masyarakat ada yang berkebun tapi dituduh TPNPB-OPM. Ada yang berburu tapi dipikir TPNPB-OPM. Jadi semua masyarakat di daerah konflik mereka pikir itu TPNPB-OPM. Ini fatal sekali, supaya tidak terjadi memang mereka perlu ditarik biar masyarakat yang mengurus dirinya sendiri di daerah konflik,” pungkasnya.
YLBHI Tuntut Pemerintah Akhiri Pendekatan Keamanan di Papua
Hal senada disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI yang menuntut Presiden dan DPR RI agar “segera menghentikan pendekatan keamanan dalam upaya menyelesaikan konflik papua dengan melakukan evaluasi atas praktik berbagai operasi militer di luar perang.” YLBHI mencontohkan Operasi Damai Cartenz 2024 yang justru menggunakan praktik kekerasan dan penyiksaan.
Menurut catatan YLBHI telah terjadi sedikitnya tiga praktik kekerasan dan penyiksaan di Papua pada tahun 2024 ini saja, yaitu kasus di Kabupaten Intan Jaya pada bulan Januari, di Kabupaten Yahokimi pada bulan Februari dan kasus di Kabupaten Puncak pada bulan Maret.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah