Oleh Dahlan Iskan
KE TIONGKOK kali ini saya tidak ke kota besarnya sama sekali. Pun tidak ke kota level dua atau level tiga.
Enam kota yang saya kunjungi kali ini, semua di level empat. Setingkat Tasikmalaya, Tegal, Dumai, Bitung, atau Balikpapan. Daerahnya pun hanya di tiga provinsi di selatan. Di provinsi pulau Hainan saya ke San-Ya dan Haikou. Di provinsi Guangdong saya ke Shantou, Jieyang, Meizhou, dan Chaozhou. Di Fujian saya ke Putian.
Semuanya jalan darat –kecuali dari Haikou di Pulau Hainan ke Jieyang di Tiongkok daratan. Semuanya dengan mobil listrik. Pun ketika harus menempuh perjalanan sejauh lima atau enam jam.
Begitu banyak merek mobil listrik di Tiongkok. Saya tidak kunjung hafal. Tidak mungkin bisa hafal. Ratusan merek. Pemerintahnya seperti membiarkan seribu bunga bermekaran.
Di Haikou, saya minta diantar ke mal teramai di kota itu. Di pusat kota. Bangunannya hanya empat lantai. Kelasnya mirip ruko yang dijadikan satu. Tapi di parkirannya ada 15 stasiun pengisian baterai mobil listrik. Dari 15 itu hanya satu yang kosong.
Dari 14 mobil yang mengisi listrik di situ tidak satu pun yang mereknya sama. Saya catat satu per satu. Ada merek Eado. Baru sekali ini saya tahu. Jangan-jangan Anda sudah tahu lebih dulu. Ada merek One. Belum pernah saya lihat. Roewe –yang ini saya pernah ke showroom-nya di Hangzhou.
Ada pula merek Haval –sering saya lihat melaju di jalan raya. Ada Denza –yeeiii ini ‘Alphard’ idaman baru saya. Ada merek Zeekr 001 –belum kenal sama sekali.
Lalu ada Qashqai –pusing membacanya. Ada BYD –Anda sudah tahu: dibaca Piyati. Lalu ada mobil listrik mereknya hanya ditulis dalam huruf Mandarin. Ups.. Masih ada dua lagi yang mereknya juga hanya ditulis dalam huruf Mandarin.
Masih ada lagi merek Chery –Anda sudah tahu. Yang awalnya hanya bisa memproduksi mobil kecil murahan. Lalu ada merek Aion, Lynk & Co, Lincoln, Tesla, Aito, Aion, dan satu lagi: MW. Tanpa B.
Saya harus bertanya ke Tiffany Wang, teman saya: apa kepanjangan MW. Ternyata Weltmeister Motor. Itu merek asli Tiongkok. Tapi, kesannya seperti bikinan Inggris.
Di jalan-jalan saya menemukan banyak mobil listrik dengan merek yang belum pernah saya lihat. Juga bukan yang 14 di atas. Misalnya yang di foto itu: coba baca, merek apa itu.
Tapi lihatlah desain mobil itu: cantik sekali. Di zaman ini rasanya merek apa pun mobilnya tidak ada yang konyol desainnya. Pun mobil semurah apa pun desainnya tidak ada yang murahan.
Dari kota San-Ya ke Haikou itu misalnya saya naik sedan. Belum saya kenal. Desain luar dalamnya menggiurkan. Saya pelototi apa mereknya. Hanya ada tulisan Mandarin. Untung saya tahu apa itu: Chery. Bikinan provinsi paling miskin: Guangxi. Berbatasan dengan Laos. Setahu saya Chery itu mobil kecil murahan. Ternyata kini sudah memproduksi sedan besar yang begitu menggiurkan. Sekali isi listrik bisa untuk 600 km.
Maka dari San-Ya ke Haikou (250 km) tanpa harus isi ulang. Sepanjang jalan saya bisa menikmati pemandangan alam pulau Hainan: serasa di Indonesia. Banyak pohon kelapa. Di bagian tengahnya begitu banyak pohon pinang.
Hainan memang identik dengan kelapa. Pinang. Nanas. Mangga.
Sudah ada krim wajah dan kulit yang terbuat dari santan kelapa. Terlihat modern. Di toko kosmetik, krim santan itu bisa disandingkan dengan krim Eropa merek Nivea, The Body shop, L’Occitane atau Aesop. Ada lagi produk kelapa yang laris. Anda sudah tahu: santan encer. Baik dikalengkan maupun dikartonkan.
Kita juga punya ‘kota kelapa’: Manado. Tapi baru di Haikou ini saya lihat wali kotanya berani melakukan penghijauan kota dengan menanam pohon kelapa.
Maka di pusat kota Haikou, di trotoarnya, berderet pohon kelapa. Tanpa dikebiri. Buah kelapanya dibiarkan membesar di sela-sela tangkai daunnya.
Berbeda dengan di pantai-pantai di Bali. Semua pohon kelapanya disunat: agar tidak ada wisatawan yang kepalanya kejatuhan kelapa.
Kota-kota level empat di Tiongkok ini telah berubah begini modernnya. Kalau saya menyebut nama Tasik, Tegal, dan seterusnya hanyalah untuk menggambarkan level kotanya. Bukan ukurannya –apalagi modernitas dan kekuatan ekonominya.
Jarak bumi-langit belum cukup jauh untuk menggambarkan perbedaannya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia