Oleh Swary Utami Dewi
DUA selebritas yang sering menampilkan kekayaan super mewah di media sosial baru saja diciduk insitusi penegakan hukum. Mereka terjerat kasus korupsi tambang timah, yang berpusat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bukan main-main. Perkiraan kerugian negara, termasuk kerusakan lingkungan, diperkirakan sebesar Rp 271 triliun. Bisa jadi, inilah kasus korupsi terbesar yang (ketahuan) pernah terjadi di tanah air.
Pikiranku lalu menerawang ke wilayah tambang-tambang lain di Indonesia. Batubara, misalnya. Di Kalimantan ada “haji-haji” yang kekayaannya juga bukan abal-abal. Nama para pengusaha batubara ini bisa dilacak di berbagai media, beserta tampilan harta mereka yang melimpah-ruah. Lalu ada pula contoh tambang lain, yang juga sedang naik daun, yakni nikel.
Itulah beberapa fenomena tambang, tepatnya tambang geologi di negeri ini. Adalah fakta bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya tambang. Bahkan sangat kaya. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk negara dengan kekayaan sumber daya geologi terbesar.
Kekayaan sumber daya geologi tersebut mencakup berbagai jenis bahan galian, misalnya logam, non-logam, batuan dan batubara. Juga ada sumber daya energi besar yang dimiliki negeri ini seperti minyak bumi, gas alam, panas bumi dan uranium. Memang luar biasa kayanya kita.
Aku tertarik mengulik data timah yang sedang menjadi pusat perbincangan di tanah air. Dari suatu media terkemuka, yang menyitir data dari World Population Review, ada data menarik yang menunjukkan bahwa timah memang istimewa. Disebutkan bahwa Indonesia merupakan penghasil timah terbesar kedua di dunia, setelah China.
Selain itu, cadangan timah Indonesia juga yang terbesar kedua, sesudah Australia. Pada 2022, produksi Indonesia mencapai 74 ribu ton, sementara cadangan timah mencapai 800 ribu ton. Aku tidak paham bagaimana menghitungnya. Tapi pasti nilainya memang bukan remeh-temeh.
Bagaimana halnya dengan batubara? Data dari Suara Pemerintah pada 2021 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil batubara terbesar ketiga di dunia, dengan produksi sebanyak 281,7 ton per tahun. Indonesia juga menempati peringkat kedua eksportir batubara di tingkat global. Batubara sendiri banyak ditemukan di Sumatra Selatan, dan tentu saja di Kalimantan tadi (Kalimantan Timur, Selatan dan Tengah)
Contoh tambang ketiga adalah nikel. Nikel juga merupakan salah satu jenis tambang berharga di Indonesia. Menurut data dari Databoks pada tahun 2023 Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 21 juta metrik ton. Sedikitnya ada tujuh provinsi yang memiliki banyak tambang nikel berdasarkan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP), yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Logikanya, jika kekayaan tambang kita luar biasa dahsyat begini, rakyat Indonesia sudah pasti gemah ripah loh jinawi. Tapi bagaimana faktanya? Apakah sudah banyak yang bisa menikmati kekayaan seperti para selebritis yang korup tadi? Atau seperti para haji batubara? Aku tertarik mengulik dari titik terdekat saja, yakni masyarakat yang berada di wilayah-wilayah tambang tersebut.
Lagi-lagi aku menelusuri berita yang sedang tren, yakni timah. Kompas (1 April 2024) menulis bahwa korupsi tambang timah sebesar Rp 271 triliun tersebut adalah “puncak gunung es” dari praktik pertambangan timah, yang tidak memberikan manfaat untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dituliskan pula bahwa “praktik culas membuat pertambangan ‘Si Emas Putih’ hanya memperkaya segelintir pihak dan meninggalkan kerusakan lingkungan serta fenomena anak putus sekolah.”
Meski ada data yang menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di wilayah ini relatif jauh lebih baik dibandingkan wilayah lain di Indonesia, ternyata fenomena kemiskinan masih banyak ditemui. Salah satunya seperti yang ditulis Kompas tadi. Yang kaya, ya hanya segelintir…
Untuk batubara, tampaknya juga senada. Sebagai contoh, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2019 menyebutkan bahwa wilayah tambang batubara yang luas ternyata tak menjamin rendahnya tingkat kemiskinan dan pengangguran masyarakat sekitar. Ini memang menjadi pemandangan sehari-hari bagi mereka yang kenal baik dengan provinsi-provinsi yang mengeksploitasi batubara ini.
Bagaimana halnya masyarakat di wilayah nikel? Di atas sudah disebutkan bahwa ada tujuh provinsi yang banyak memiliki tambang-tambang nikel di Indonesia. Databoks menyebutkan bahwa hampir seluruh provinsi di pusat-pusat tambang nikel itu mengalami peningkatan persentase kemiskinan sepanjang September 2022 hingga Maret 2023. Hanya Papua dan Papua Barat yang sedikit (bukan drastis) mengalami penurunan tingkat kemiskinan pada periode tersebut. Ups… Sungguh suatu ironi.
Bagaimana bukan ironi yang menyesakkan dada? Jelas faktanya Indonesia kaya akan tambang. Jelas pula ada para “crazy-crazy” yang menjadi super kaya karena kerukan mineral-mineral ini. Tapi nyatanya, kemiskinan masih menjadi fenomena umum di wilayah-wilayah tambang ini.
Hasil riset JATAM, misalnya, pada 2019 menunjukkan bahwa 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia rentan mengalami kerawanan pangan. Kemiskinan pun terjadi di wilayah-wilayah tersebut. Ini juga disuarakan berkali-kali oleh berbagai pihak kredibel lainnya. Dan hingga kini ironi atau anomali tersebut masih terjadi. Belum lagi ada masalah-masalah lain yang juga penting karena adanya praktik tambang-tambang tertentu yang ugal-ugalan, yakni isu korupsi, kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
Lantas apa? Apakah hilirisasi tambang bisa menjadi kunci penyelesaian masalah ini? Bagaimana membenahi tata kelola, yang mampu secara efektif berdampak pada pemutusan praktik korupsi dan menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat — dan bukan segelintir “crazy-crazy” itu saja? Bagaimana memastikan bahwa pengelolaan tambang tidak menimbulkan dan meninggalkan konflik sosial serta kerusakan lingkungan pada negeri ini? Berani dan mampukah para pemimpin kita melakukan banyak terobosan tersebut?
Ah, banyak pertanyaan berseliweran di benakku. Jangan sampai berpuluh tahun ke depan persoalan-persoalan klasik ini masih terjadi. Tikus mati di lumbung padi, manusia tumbang di sentra tambang, lingkungan rusak karena ulah si tamak.*
Jakarta, 1 April 2024
Penulis adalah Sekretaris Komunitas Penulis SATUPENA