Madinah Kafe

Suasana bingkai besar di Madinah Arab Saudi. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

MELIHAT kota-kota baru di Tiongkok kini saya ingat Madinah-baru. Salah satu dari dua kota suci di Arab Saudi.

Maka para wali kota dan legislator di seluruh Indonesia kini tidak harus belajar perombakan kota ke Tiongkok. Bisa ke Madinah. Sekalian umrah atau haji.

Yang paling baru di Madinah sekarang adalah ini: Kafe Kaifa.

Saya minta Mas Bajuri, pemilik Bakkah Tour dan Umrah, membawa saya ke Kafe Kaifa. Menjelang bulan puasa lalu. Seusai salat subuh di masjid Nabawi –masjid utama di Madinah.

Hotel tempat saya bermalam di Madinah berada di dekat gerbang masjid nomor 310. Maka kami harus berjalan menuju gerbang nomor 333. Tetap dengan sarung dan kopiah.

Jalan keluar dari gerbang No 333 ini lebar sekali. Selebar Nanjing Donglu –jalan tempat kya-kya terpopuler di Shanghai.

Jalan keluar dari gerbang 333 ini baru dilebarkan. Hotel-hotel lama digusur. Toko-toko lama hilang. Diganti hotel-hotel baru: Hilton, Sofitel, dan sebangsanya.

Bangunan modern paling dekat dengan gerbang 333 adalah mal. Antara mal dan pagar masjid adalah walk street. Pindah-pindah gerbang bisa lewat walk street ini. Bisa juga lewat halaman masjid.

Kami terus menelusuri jalan keluar dari gerbang 333. Kian jauh dari gemerlapnya lampu Masjid Nabawi.

Desain jalan keluar dari gerbang 333 ini dibuat khusus: tanpa mobil. Sampai beberapa blok menjauh dari gerbang. Lampu terang benderang. Pun di waktu habis subuh.

Satu blok dari gerbang 333 dibangun sebuah bingkai. Bingkai besar. Bingkai warna merah. Persis di tengah jalan.

Begitu banyak orang berfoto di depan bingkai itu. Kesannya: foto Anda seperti dalam sebuah bingkai dengan latar belakang jalan utama yang megah. Juga dengan latar belakang masjid Nabawi nan indah.

Saya tidak sempat berfoto di bingkai itu. Antrenya terlalu panjang. Ini pertanda bahwa Pemda Madinah sadar benar bahwa masyarakat sekarang begitu sadar foto –pun para jemaah umrah.

Kami terus berjalan menjauh dari masjid. Dua blok lagi ada hiasan lagi di tengah jalan. Juga sangat menggoda untuk jadi latar belakang foto. Masih dengan masjid Nabawi lebih jauh di belakang sana. Saya tidak mau menyebut hiasan apa itu: lihat saja sendiri di Madinah.

Jalan lebar ini bersih sekali. Kanan kirinya bangunan baru yang modern. Tertata. Cekli. Lalu di trotoarnya ada tempat sampah khas Madinah. Ikonik. Ada juga kran-kran air untuk minum orang yang lagi kya-kya di situ. Kran itu dibingkai dengan lengkung Islami-Arabi.

Saya lihat banyak juga yang mengisi botol minuman dari kran itu.

Toko-toko sederhana yang dulu di kiri kanan jalan ternyata diakomodasikan di lantai pertama bangunan-bangunan modern itu. Tentu dengan penataan isi toko yang lebih rapi. Saya beli boiler pemanas air minum. Harga 30 riyal. Made in China. Saya harus selalu minum air hangat di pagi bangun tidur.

Dulu, berjalan sejauh ini, sudah berada di luar kompleks masjid. Sudah tidak ada lagi bangunan-bangunan tinggi. Yang terlihat sudah gunung-gunung batu. Di jarak dekat. Di jarak jauh. Sepanjang mata memandang.

Mana Kafe Kaifa-nya?

“Masih di sana. Sedikit lagi,” jawab Mas Bajuri.

Madinah-baru begitu maju. Tiap kali saya ke Madinah selalu ada yang berubah. Yang terbaru ya Kafe Kaifa itu.

Ketika menulis ini saya lagi dalam perjalanan maesong –melayat ibunya direktur keuangan Harian Disway. Usianyi 104 tahun.

Maka tulisan terpaksa berakhir di sini dulu. Itu mereka, keluarga almarhumah, sudah menanti di dekat jenazah.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia