Oleh Dahlan Iskan
TERBACA JELAS dua tulisan pembatas luar Kafe Kaifa di Madinah ini. Salah satunya: Madinah to the World.
Madinah memang baru dinobatkan sebagai salah satu kota tersehat di dunia. Yang menobatkannya: organisasi kesehatan PBB, WHO.
Pembenahan kota Madinah telah membanggakan umat Islam sedunia. Itulah satu-satunya kota di negara Islam yang masuk daftar sehat –jauh dari motto yang diagung-agungkan agama itu: annadhofatu minal iman. Anda sudah tahu artinya.
Banyak juga jamaah umrah yang berfoto dengan latar belakang tulisan itu. Sekaligus bisa dapat latar belakang foto yang khas Madinah: gunung batu. Tidak jauh di sana.
Maka sepulang dari umrah kini banyak foto status di sekitar Kafe Kaifa ini. Baik yang di bingkai dengan latar belakang masjid Nabawi maupun yang di depan tulisan baru tadi.
Jangan-jangan ada organisasi Islam dunia yang ikut membuat ranking kota tersehat tersendiri. Khusus untuk negara Islam.
Di situ kita bisa bangga: banyak kota di negara Islam yang masuk daftar.
Toh di Amerika Serikat juga ada lembaga seperti itu. Khusus untuk membuat ranking tersehat se-Amerika. Juaranya Anda sudah tahu: Kota Honolulu. Di Hawaii. Di belakang Honolulu ada Seattle, San Diego, dan Washington DC.
Di Eropa juga ada daftar seperti itu. Juaranya: Copenhagen. Disusul Helsinki dan Denmark –semuanya di negara Skandinavia yang semakin tidak mementingkan beragama.
Lembaga lain punya pilihan lain lagi: Melbourne di Australia. Disusul Barcelona di Spanyol.
Saya tidak pernah mempersoalkan kriteria penilaian. Yang penting ada kriterianya. Dan yang lebih penting ada upaya untuk membuat sebuah kota semakin sehat bagi penghuninya.
Kekhawatiran gunung-gunung batu di dekat masjid Nabawi akan dihancurkan rasanya tidak perlu. Di bawah Putra Mahkota Mohamad bin Salman Saudi kian terintegrasi dengan dunia Barat.
Saya sendiri tidak khawatir. Terutama setelah naik bus dari Madinah ke Riyadh –lewat Buraydah.
Bus antar provinsi itu berangkat dari stasiun terminal baru. Masih di dalam kota –agak ke pinggir.
Dari hotel menuju terminal ini saya baru tahu: Madinah itu kota besar. Tidak pernah saya keliling kota Madinah. Setiap kali umrah rutenya tetap: dari hotel ke masjid pp. Kesannya Madinah itu ya hanya sekitar masjid Nabawi.
Terminal baru itu tidak perlu saya ceritakan. Tidak ada yang baru. Sangat biasa. Hanya satu bangunan sekelas rumah tipe 120. Ada ruang penjualan tiket. Ada kios makanan. Ada pintu menuju bus.
Tanpa lewat pintu itu pun saya bisa menuju bus. Dengan mudah. Yakni lewat jalan raya. Bus ke Riyadh itu parkir di satu lapangan kecil di pinggir jalan raya. Bersebelahan dengan gedung terminal. Tanpa pagar.
Kesan saya ini terminal bus sementara. Terminal yang megah seharusnya dibangun di sebelah stasiun kereta cepat jurusan Makkah dan Jeddah. Stasiun itu masih baru. Megah. Tidak kalah dengan stasiun kereta cepat di Tiongkok.
Di sebelah stasiun Whoosh itu terlihat masih banyak tanah kosong. Kelihatannya memang dicadangkan untuk terminal bus: jadi MadLinko –siapa tahu meng-copy program Gubernur Jakarta 2017-2023 Anies Baswedan dengan JakLinko-nya: antar moda transportasi harus saling terkoneksi.
Terminal bus itu, Anda sudah tahu, lebih ke pinggir kota –dibanding terminal lama yang seperti terminal Kopaja. Tapi untuk benar-benar keluar dari kota Madinah masih jauh. Masih harus melewati kota Madinah yang baru –banyak perumahan mewah terlihat di real estate sepanjang jalan.
Masih pula ada kawasan industri. Menyusuri jalan utama menuju Buraydah ini membuat saya tahu kota Madinah berkembang ke arah sini –ke sepanjang jalan ini. Kawasannya memang relatif datar. Baik di kanan maupun kiri jalan. Gunung-gunung batu seperti menjauh dari jalan jurusan Riyadh ini.
Mungkin jarang jemaah umrah yang punya minat planologi kota. Maka ziarah terkait umrahnya sebatas ke kebun kurma.
Mungkin mempelajari planologi dianggap bukan bagian dari ibadah.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia