Oleh Akmal Nasery Basral
1/
Mengisi libur Idul Fitri dengan film horor di bioskop, baru pertama kali saya lakukan kemarin (Jum’at, 12/4). Ada tiga alasan mengapa saya menonton Siksa Kubur yang berhasil meraup minat 257.871 penonton di hari pertama penayangan, Kamis (11/4/2024).
Alasan pertama, anak saya Aurora –yang sedang skripsi di sekolah perfilman– yang mengajak menonton. “Film ini mendapatkan mixed review di medsos,” katanya. Itu artinya penonton yang ‘suka’ dan ‘tidak suka’ agak berimbang jumlahnya. “Setelah menonton kita putuskan termasuk kelompok yang mana, Pa?” lanjut Aurora berseloroh kepada saya.
Alasan kedua, bioskop tujuan kami berada di Living World Kota Wisata, Cibubur, mal baru yang belum genap sebulan beroperasi. Alasan ketiga, dan terpenting, film ini besutan Joko Anwar. Sejak Pengabdi Setan (2017), Perempuan Tanah Jahanam (2019), dan Pengabdi Setan 2 (2022), Sutradara kelahiran Medan yang populer dipanggil Jokan tersebut semakin mengukuhkan diri sesolid reputasi James Wan atau Wes Craven dalam menyajikan tasrih ketakutan ( anatomy of fear) sebagai batang tubuh film horor modern abad 21.
Sayangnya, pengalaman menonton perdana di sentra belanja yang digadang-gadang sebagai ‘mal terbesar di timur Jakarta’ ini tak sesempurna harapan saya dan Aurora. Listrik bioskop (dan mal) sempat padam, film terputus. Bahkan setelah lampu menyala kembali dalam hitungan detik, film tetap tak berlanjut selama 5-6 menit berikutnya. Entah problem apa yang dialami operator sehingga butuh waktu cukup lama untuk mengatasi. Untung saja reaksi penonton tetap sopan tak ada yang blingsatan–mungkin karena masih suasana lebaran.
2/
Judul film ini sudah menghidangkan penonton dengan efek dread (rasa takut) yang tak terelakkan. Dread adalah satu dari tujuh elemen kunci yang harus dimiliki film horor menurut kritikus Matt Glasby dalam bukunya The Book of Horror: The Anatomy of Fear in Film (2020). Dan Siksa Kubur adalah judul yang dengan tepat merepresentasikan dread itu: mengunci emosi penonton dalam satu lorong gelap, sempit. Lari tak bisa, tak lari tak bisa.
Kisahnya sendiri tentang pengalaman kakak-adik Adil (Muzakki Ramdhan) dan Sita (Widuri Puteri Sasono). Orang tua mereka tewas dalam sebuah ledakan bom bunuh diri di luar toko roti mereka—dengan mereka menyaksikan dari dalam toko. Sebelum tragedi, Adil mendapatkan sebuah kaset misterius dari pelaku pengeboman berisi rekaman suara aneh dan mengerikan. Ini membangun subliminal message (pesan bawah sadar) di benak penonton, sekaligus elemen kunci kedua yang dibutuhkan sebuah film horor.
Kedua ABG yatim itu kemudian dikirimkan paman mereka ke sebuah pesantren yang lokasinya hanya punya dua akses jalur keluar-masuk, yakni dari gerbang utama dan dari sebuah terowongan tua angker yang konon dihuni iblis pencabut nyawa (fans serial Netflix Dark akan merasa familiar melihat mulut terowongan yang terlihat identik).
Sita menjadi santriwati skeptis-agnostik terhadap penjelasan ustazahnya (Jajang C. Noer) tentang alam kubur. Sedang Adil menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan pesantren yang membuatnya jadi pribadi pemurung dan peragu. Undecisive.
Atas inisiatif dan keberanian Sita, keduanya melarikan diri melalui terowongan tua meski harus mengalami peristiwa ganjil dan menyeramkan.
Adegan-adegan di lingkungan pesantren, hutan, dan terowongan, yang menghadirkan negative space (ruang kosong di sekeliling subjek), semakin menggiring penonton dalam tasrih ketakutan yang terus meninggi. Apalagi pada sekuens ini muncul ‘ the unexpected’ yang membuat penonton mulai mengalami singahak atau lonjak takut ( jumpscare) di tempat duduk mereka.
Racikan negative space dan the unexpected ini membuat 4 elemen kunci film horor terpenuhi. Bahkan sebetulnya sudah 5 elemen karena dalam usaha melarikan diri itu, Jokan menghadirkan adegan terkelupasnya kuku jari tangan Sita yang membuat darah berleleran. The grotesque yang membuat penonton bergidik ngeri. Dalam istilah yang lebih populer saat ini disebut gore (“darah yang membeku”).
Lepas dari jebakan terowongan angker, layar memutih. Setting waktu melaju beberapa belas tahun kemudian ketika Sita sudah menjadi perawat sebuah panti jompo (Sita dewasa diperankan Faradina Mufti) dan Adil (Reza Rahadian) menjadi petugas pemulasaran jenazah.
Dua profesi yang membuat Jokan sebagai sutradara semakin leluasa menyodorkan peristiwa-peristiwa janggal yang membuat ciut nyali penonton ( the uncanny) seperti perempuan berambut perak meriap-riap di panti jompo, kultus pemanggilan arwah, atau teror gaib terus menerus ( the unstoppable) yang dialami Adil di kamar jenazah melalui mayat-(mayat) yang dia pulasarakan.
Maka lengkaplah 7 elemen kunci film horor ( dread, subliminal, negative space, the unexpected, the grotesque, the uncanny, dan the unstoppable) tersedia dalam Siksa Kubur. Racikan maut yang terus menggiring penonton sampai pada ambang rasa takut.
3/
Kendati kelengkapan elemen kunci tasrih ketakutan lengkap tersedia, namun film ini menurut saya tak sepenuhnya berhasil sebagai karya yang utuh tersebab dua hal.
Pertama, dialog yang masih berjuntai-juntai panjangnya, salah satunya antara Sita dengan Pak Wahyu (Slamet Rahardjo), seorang penghuni rumah jompo. Jokan terlalu sibuk menjelas-jelaskan cara pandang diametral keduanya tentang siksa kubur melalui perbincangan formal layaknya diskusi dua pakar di ruang seminar. Jokan (seakan) lupa dengan film sebagai karya yang menjunjung tinggi prinsip ‘ show don’t tell’.
Kelemahan kedua, yang lebih signifikan, menyangkut referensi keislaman yang tampaknya tak dikonsultasikan seksama oleh Jokan kepada ahli fikih jenazah. Itu terlihat pada posisi jenazah Wahyu yang telentang dan papan-papan kayu yang dibariskan di atas lobang kubur sebagai penutup sebelum ditimbun tanah, tidak sesuai dengan penjelasan empat mazhab fikih dalam Islam.
Tiga mazhab fikih (Hanafi, Syafi’i, Hambali) mewajibkan posisi tubuh jenazah dimiringkan ke arah kanan dengan posisi wajah menghadap kiblat (jihhatul qiblah), sedangkan mazhab Maliki menyebutkan posisi jenazah seperti itu mustahab (sunnah). Namun, para ulama keempat mazhab bersepakat bahwa posisi jenazah tidak boleh telentang. Jika terjadi seperti itu, maka makam harus digali kembali dan posisi mayat disesuaikan dengan aturan.
Begitu juga dengan posisi papan-papan kayu sebagai penutup. Jika mayat sudah dimiringkan, lalu di bagian punggungnya diganjal dengan bola-bola tanah sekepalan tangan, maka papan-papan kayu dipasangkan secara diagonal sehingga membentuk sisi miring segi tiga di dalam liang lahat bukan dibariskan di atas lubang kubur seperti terlihat beberapa kali pada adegan film.
Dua hal di atas, dalam praktiknya sudah (dan selalu) dipraktikkan oleh para penggali kubur di pemakaman mana pun di tanah air. Artinya, ketidakcermatan Jokan dalam mengeksekusi posisi jenazah di liang kubur itu merupakan kesembronoan yang mengkhawatirkan dalam kapasitasnya sebagai sutradara senior.
Mungkin bagi sebagian penonton, hal itu tidak masalah. Bahkan boleh jadi akan ada pertanyaan balik, “Apakah untuk sebuah feature film yang mengizinkan imajinasi sutradara masuk dalam memperkuat cerita (dan mengokohkan efek dramatis), bukan film dokumenter yang taat aturan, termasuk aturan fikih, akurasi posisi jenazah tetap harus diperhatikan?”
Menurut saya: ya! ‘Licencia poetica’ dan privilese sutradara tidak berlaku dalam hal ini.
Sebab, pada adegan yang sama, Sita yang melakukan eksperimen ‘ikut dimakamkan’ (dengan membawa handy cam agar bisa merekam ada tidaknya siksa kubur yang dialami Wahyu), digambarkan berkali-kali mengucapkan lafaz “Astaghfirullah robbal baroya, astaghfirullah minal khotoya (aku mohon ampun kepada Allah Maha Penerima Taubat/aku mohon ampun kepada Allah dari segala dosa)” ketika siksa kubur mulai dialami Wahyu secara simultan, membuat jantung penonton seakan melompat ke pangkal tenggorokan.
Lafaz istighfar itu bukan saja diucapkan dengan sangat jelas dan akurat oleh Sita, bahkan ditampilkan teks verbatimnya pada layar.
4/
Jadi, apakah Siksa Kubur merupakan film horor terbaik Jokan?
Bagi saya dan Aurora: tidak. Saya masih berpendapat Perempuan Tanah Jahanam sebagai film horor terbaik Jokan. Bagi Aurora, masih Pengabdi Setan.
Namun kami sepakat melihat bahwa Siksa Kubur sebetulnya punya potensi menjadi film horor terbaik Jokan, jika saja tak ada dua kelemahan di atas.
Bagi kami penggunaan teknik-teknik camera movement, camera angle dan shot size dari film ini, bahkan ‘kelambanan bercerita’ (slow burn)–yang mengganggu sebagian penonton lain dalam beragam komentar di medsos–justru tak mengganggu bagi kami sama sekali. Slowburn punya keunggulan sendiri dalam menumpuk daya gedor di benak dan hati penonton, sebelum meledak dahsyat di akhir cerita–seperti tersaji juga dalam film ini.
Di sisi lain, kami mendapatkan kesan bahwa Siksa Kubur memiliki arti penting spesifik baik dalam karier profesional Jokan maupun dalam perkembangan spiritualitasnya sebagai pribadi, karena di film ini dia tak hanya menjadi penulis cerita dan sutradara—seperti banyak pada filmnya yang lain—melainkan juga menjadi penyunting (editor) film. Ditangani sendiri, tidak diserahkan kepada editor lain seperti pada film-film horor sebelumnya.
Ini sebuah catatan penting yang tak bisa diabaikan dalam meneroka Siksa Kubur, terlepas akhirnya penonton “suka” atau “tidak suka” secara keseluruhan sebagai satu tontonan.
Jokan sudah memberikan kesempatan berharga kepada penonton selama 117 menit di bioskop untuk berpikir ulang tentang probabilitas nasib diri masing-masing jika saat kepergian menuju Negeri Keabadian tiba.
Cibubur, 13 April 2023
Tambahan: Usai menulis resensi ini, saya intip IG Jokan (@jokoanwar), ternyata jumlah penonton sampai hari kedua, Jum’at (12/4/2024) sudah 511.731 penonton, atau 1/2 juta lebih hanya dalam dua hari penayangan.