Oleh Dahlan Iskan
DUH Gusti!
Akankah perang besar terjadi lagi. Jangan. Rupiah lagi nyaris Rp 16.000/dolar. Harga batu bara lagi gila-gilaan lagi. Bawang merah tembus Rp 60.000/kg di pasar istri.
Kalau terjadi perang lagi, yang tidak makan nangka pun kena getahnya.
Iran memang sudah menyatakan: “Serangan terhadap Israel tidak akan dilanjutkan. Serangan sudah dihentikan,” ujar Menteri Pertahanan Iran dikutip banyak media kemarin siang.
Bahwa Minggu malam kemarin Iran melancarkan serangan udara ke sasaran militer Israel itu sesuai dengan piagam PBB: Iran berhak mempertahankan diri setelah wilayahnya diserang Israel lebih 10 hari lalu.
Yang dimaksud ‘wilayah Iran’ adalah ‘gedung konsulat Iran di Syria’. Serangan jarak jauh Israel menghancurkan gedung itu. Menewaskan dua jenderal Iran.
Serangan Iran Minggu malam kemarin adalah serangan balasan. Tapi Israel kini dapat momentum membaliknya: Israel diserang Iran.
Dunia lantas seperti menyalahkan Iran. Israel pun merasa seperti mendapat keabsahan kalau dalam waktu dekat menyerang Iran.
Duh Gusti! Bisa terjadi perang lagi. Apakah sudah waktunya. Apakah Iran merasa bisa menang melawan Israel –yang ada Amerika dan Inggris di belakangnya.
Iran seperti tidak ingin sungguh-sungguh perang lawan Israel. Memang, Minggu malam itu 300 peluru kendali diluncurkan. Jarak jauh. Pakai drone. Antarnegara. Bukan satu atau dua. Serangan 300 drone berarti sebuah serangan besar.
Hasilnya? Nyaris nihil.
Israel mengumumkan hampir 100 persen serangan itu dipatahkan. Peluru kendali Iran dihancurkan di udara. Bahkan sudah hancur ketika masih di luar wilayah Israel.
Hanya sedikit sekali kerusakan di sasaran. Tidak berarti. Lalu seorang gadis kecil terluka. Kena serpihan.
Dilihat dari hasil serangan udara itu, rasanya dampak berikutnya justru lebih besar.
Misalkan Israel ganti meluncurkan senjata jarak jauhnya langsung ke Iran; adakah Iran juga akan bisa menangkisnya.
Sungguh menegangkan situasi terakhir ini. Drone Iran memang banyak dipakai Rusia di perang Ukraina. Tapi Ukraina bukan Israel.
Hamas tidak memilih serangan udara. Serangan darat yang dilakukan Hamas tahun lalu membawa korban lebih banyak di pihak Israel dibanding yang dilakukan Iran kemarin.
Dengan Iran menyatakan tidak akan melancarkan serangan susulan mestinya situasi terkendali. Amerika harus mengendalikan Israel untuk tidak meluas. Toh tidak ada korban berarti di Israel.
Yang menarik adalah: mengapa Iran baru melakukan serangan balasan Minggu malam, tanggal 14 April. Bukan setelah konsulatnya diserang?
Saya ingat: hari-hari ini adalah hari terjadinya Perang Khandaq. Di zaman Nabi Muhammad.
Kota Madinah saat itu dikepung pasukan sekutu. Beberapa suku Arab golongan pagan bersekutu dengan salah satu golongan Yahudi.
Anda sudah tahu: Pasukan Islam menang: 3000 orang melawan tentara sekutu 10.000 orang.
Salah satu taktik kemenangan: pasukan Islam membangun parit pertahanan. Idenya datang dari sahabat Nabi bernama Salman Al Farisi. Orang Parsi.
Ide itu diambil dari warisan perang bangsa Parsi di masa sebelumnya. Berkat taktik itu Parsi sampai bisa menguasai dunia.
Parit dalam bahasa Arab disebut Khandaq. Dari situlah perang ini pun disebut Perang Khandaq.
Sahabat Disway, Mas Bajuri, selalu membawa jemaah umrah Bakkah ke lokasi parit itu. Sekitar sembilan kilometer di utara masjid Nabawi.
Tentu paritnya sudah tidak ada. Sudah jadi jalan besar. Jalan utama di pinggir utara Madinah.
Di lokasi parit itu kini berdiri Masjid Tujuh. Ke masjid inilah Mas Bajuri membawa jemaah umrahnya berziarah.
Tujuh masjid itu, kata Mas Bajuri, dulunya adalah pos-pos perang. Lalu dijadikan masjid. Jadilah monumen perang.
Kini tujuh masjid itu disatukan menjadi satu masjid besar: Masjid Tujuh.
Mungkin Iran ingin mengambil Perang Khandaq sebagai spirit. Tapi di langit tidak bisa dibuat parit.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia