J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengungkapkan perputaran uang dalam judi online di Indonesia mencapai Rp327 triliun sepanjang tahun 2023.
“Kalau menurut PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), sekitar Rp327 triliun perputaran uangnya di Indonesia saja. itu perputaran uang, omzet, itu sudah besar sekali,” ungkap Menkominfo Budi Arie usai melakukan Rapat Terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Presiden, Jakarta, pekan lalu.
Ia menjelaskan, permasalahan ini sangat mengkhawatirkan karena mayoritas masyarakat yang terjerat judi online tersebut berasal dari kalangan bawah. Selain itu, awal tahun ini dilaporkan sudah ada empat orang yang mengakhiri hidup mereka akibat judi online. Guna mengatasi permasalahan ini, pemerintah pun akan membentuk satuan tugas (satgas).
Satgas tersebut, kata Budi Arie, akan terdiri dari beberapa pihak terkait seperti Kominfo, Otoritas Jasa keuangan (OJK), Kemenko Polhukam, dan aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Dalam kesempatan itu, Budi Arie membantah upaya yang dilakukan oleh pemerintah selama ini untuk memberantas judi online tidak efektif.
“Bukannya tidak efektif, tugas Kominfo cuma take down, duitnya di mana? Itu berkaitan dengan OJK, nah Ketua OJK bisa blokir itu rekening, tetapi membuka dan membekukan rekening tidak bisa, mesti aparat penegak hukum. Jadi kerjanya mesti holistik dan komprehensif,” jelasnya.
Selain pembentukan satgas, pemerintah pun nantinya akan memberikan edukasi literasi digital terutama untuk kalangan masyarakat bawah agar mereka lebih memahami bahaya judi online.
Ketua OJK Mahendra Siregar mengatakan sejak akhir tahun 2023 hingga Maret 2024, pihaknya telah memblokir kurang lebih 5.000 rekening yang terindikasi digunakan untuk transaksi judi online.
“Memang kami selama ini sudah bekerja erat dengan Menkominfo. Apabila menerima daftar rekening yang ditengarai akan digunakan atau sedang digunakan sebagai bagian dari kegiatan judi online, kami langsung melakukan pemblokiran, dan jumlahnya dalam beberapa bulan ini sudah mencapai 5.000 rekening,” ungkap Mahendra.
Menurutnya, penyelesaian permasalahan tersebut tidak cukup dengan memblokir website dan rekening yang digunakan untuk judi online semata. Segala upaya dari berbagai pihak terkait harus dimaksimalkan agar judi online kelak bisa dihentikan.
“Bukan tidak efektif, justru kami melihatnya bahwa itu adalah salah satu dari berbagai lapisan yang ada di dalam proses aktivitas dari judi online. Ada yang sifatnya tidak dilakukan di dalam negeri, ada yang lintas batas, ada juga yang dilakukannya tidak melalui rekening bank. Ada juga yang memerlukan pendalaman dan penelusuran dari rekening bank termasuk apabila sudah dilakukan pemindahan buku dan lain-lain. Jadi lapisan-lapisan berikutnya ini harus juga diselesaikan sehingga tidak ada ruang-ruang kosong yang terus terjadi,” jelasnya.
Political Will Pemerintah
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber Indonesia CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) Pratama Persadha mengungkapkan cara pemerintah selama ini dalam memberantas judi online tidak tepat.
Pratama menjelaskan, selama ini pemerintah hanya memblokir website judi online. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah, katanya, banyak agen dan bandar judi online bahkan menggunakan hacker atau peretas untuk membobol situs pemerintah untuk dijadikan landing page bagi masyarakat yang ingin melakukan permainan judi online.
“Tidak efektif, bukan itu caranya. Kalau misalkan mau serius, yang diblokir adalah link alamat IP permainan judi onlinenya, jadi bukan websitenya. Kita main judi online pakai aplikasi. Kita download aplikasi, yang kita log in kemudian kita main di situ, itu yang diblokir,” ungkap Pratama ketika berbincang dengan VOA.
Dengan memblokir alamat IP, kata Pratama, artinya sama dengan pemerintah menghancurkan sebuah kasino sehingga orang tidak bisa lagi bermain di situ.
Menurutnya, permasalahan judi online yang sudah cukup lama terjadi di tanah air ini seharusnya bisa diselesaikan dalam hitungan hari saja. Yang terpenting adalah adanya kemauan politik dari pemerintah secara menyeluruh untuk memberantas judi online sampai ke akar-akarnya. Political will itu, kata Pratama, sampai detik ini belum dipunyai oleh pemerintah. Apalagi, katanya, masih banyak oknum aparat penegak hukum yang kerap menerima setoran dari bisnis tersebut agar tetap bisa berjalan.
“Pak Presiden sudah bagus, mau membentuk satgas. Tetapi, satgasnya benar enggak? Satgasnya kompeten tidak? Benar mau menegakkan hukum secara maksimal tidak? Ngerti enggak cara melakukan pemberantasan judi online?,” katanya.
Menurutnya, pemerintah harus benar-benar serius dalam mengatasi permasalahan ini. Pasalnya saat ini judi online sudah menjadi penyakit masyarakat.
“Karena depositnya sangat kecil Rp10.000 sekarang bisa , sehingga yang jadi target itu driver ojol, tukang becak, pedagang di pasar, tukang parkir, yang sebenarnya mereka untuk hidup saja susah. Akhirnya ketika mulai terjerat judi online, kalah, kemudian dia mau main lagi supaya bisa menang tetapi tetap kalah, dan pasti akan kalah, akhirnya mereka melakukan pinjaman online. Akibatnya apa? Terjerat pinjaman sana, sini, anaknya mau sekolah tidak bisa, makan tidak bisa,” jelasnya.
Lingkaran Setan yang Tidak Terputus
Pinky Saptandari, ssiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, mengibaratkan fenomena judi online tersebut seperti seseorang yang gagap teknologi. Dalam konteks ini, gagap teknologi bukan dalam arti tidak mengerti cara mengoperasikan ponsel, melainkan tidak bisa menggunakannya secara tepat guna.
“Sekarang orang dengan uang berapa pun, sudah bisa punya perangkat HP. Kemudian di satu sisi kalau pakai istilahnya pakar, kita ini kembali ke zaman manusia yang berada dalam gua, di masa purba. Tetapi gua sekarang ini justru namanya gua virtual, yang membuat orang itu terperangkap dalam gua virtual yang membuat mereka menjadi nyaman dan menganggap itu adalah segala-galanya,” ungkap Pinky.
Aktivitas manusia yang kebanyakan bercengkerama dengan ponsel inilah yang menurutnya bisa memicu seseorang kecanduan menggunakannya, termasuk untuk bermain judi online. Karena itu, selain upaya holistik dari pemerintah seperti melakukan pemblokiran, upaya dari komunitas juga cukup penting agar literasi digital masyarakat bisa meningkat.
“Ada satu gap antara literasi digital dengan kemampuan untuk mengonsumsi dan juga memanfaatkan semua yang ditawarkan melalui era digital ini. Edukasi, apakah itu melalui pengajian, apakah melalui pendidikan di sekolah, menurut saya itu penting, menyelipkan literasi digital sebagai satu kurikulum agar mereka tidak menjadi korban,” katanya.
“Kasihan, sudah ekonominya pas-pasan kemudian terjebak dalam judi online, akhirnya juga terjerat pinjol sehingga ini menjadi lingkaran setan. Kemiskinan diperparah karena terjadi proses pemiskinan, dan sistem yang ada membuat orang tidak hanya mengalami kemiskinan, tetapi pemiskinan,” pungkasnya.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah