Oleh Nur Faizin
POLEMIK tentang Madura dan toko kelontong seketika menghentak dada, dipicu pernyataan Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Arif Rahman Hakim, yang mengimbau warung Madura bisa mengikuti aturan jam operasional yang ditetapkan pemerintah daerah.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop-UKM) merespons ihwal warung Madura yang dilarang membuka usahanya hingga 24 jam di Bali, lantaran banyak minimarket merasa tersaingi.
Meski wacana itu bersumber dari Bali, tetapi sedikitnya telah memicu kegelisahan dan diskursus publik tentang keberpihakan setengah hati pemerintah pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Menyikapi itu, setidaknya perlu pandangan jernih, mengedepankan kepentingan UMKM sebagai pintu masuk.
Pertama, toko kelontong Madura merupakan representasi kesejahteraan warga. Aktivitas ekonomi itu tumbuh dalam sistem sosial-ekonomi kemaduraan yang kokoh. Ia menjadi peluang usaha bagi para ‘migran Madura’ di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Yogyakarta, dan kota-kota besar lainnya.
Banyak dari mereka yang membuka bisnis itu sebagai sumber penghasilan utama atau tambahan. Sehingga, bila dikaji dalam pendekatan ekonomi paling dasar pun, sistem itu telah membantu meningkatkan ekonomi keluarga, warga, dan dan memberikan kontribusi pada perekonomian lokal khususnya, dan ekonomi nasional pada umumnya.
Kedua, di tengah pusat kota yang padat dengan sistem ekonomi yang cenderung mengarah pada kapitalisme korporatif, toko kelontong Madura masih memiliki peran penting dalam menyediakan akses barang dan kebutuhan sehari-hari bagi warga sekitar.
Harga barang-barang di toko kelontong itu juga lebih terjangkau dibanding minimarket atau supermarket besar.
Ketiga, ditinjau secara sosiologis, toko kelontong Madura sering menjadi pusat komunitas bagi para ‘migran’ Madura di kota-kota besar. Bukan hanya tempat untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari, tetapi juga titik pertemuan dan interaksi antarwarga Madura.
Di situ mereka bisa berbagi cerita, pengalaman, dan menyampaikan informasi terkini dari kampung halaman. Menurut hemat saya, itu sudah melampaui soal pendekatan ekonomi semata.
Keempat, pemerintah tidak boleh menggunakan tangan besi. Prinsipnya tetap harus membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar. Regulasi harus bersahabat pada UMKM, termasuk pada jenis usaha toko kelontong.
Mengingat itu aktivitas ekonomi yang penting, seharusnya pemerintah mendorong kegiatan ekonomi seperti toko Madura itu melalui pemberdayaan dan pelatihan; seperti konsultasi bisnis, fasilitasi kemudahan pada akses permodalan, akses terhadap sumber daya lain untuk membantu UMKM, meningkatkan keterampilan manajerial, pemasaran, dan operasional seperti yang sudah dilakukan pada UMKM lain selama ini.
Itu lebih esensial. Ketimbang meributkan soal jam buka, stimulus pertumbuhannya jauh lebih penting untuk ditingkatkan. Sehingga ekonomi warga tumbuh, tanpa harus ada yang dibunuh.*
Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Sumber: RMOL