Oleh Dahlan Iskan
LIA seperti saya: sama-sama masih jetlag. Saya datang dari Jakarta, dia dari Santiago di ujung barat Spanyol.
Ini kali kedua Lia ke Santiago: untuk Camino. Anda sudah tahu apa itu Camino: perjalanan rohani ke makam Santo James di Santiago. Lia memang Katolik.
Itu perjalanan penderitaan. Jalan kaki. Sejauh 100 km. Dari Sarria ke Santiago. Lewat jalan-jalan desa.
Ada yang memilih rute (camino) yang lebih jauh. Dari arah Perancis. Atau dari arah mana saja. Bisa pilih. Mau yang 1.200 km juga ada.
Yang paling populer dari arah timur yang 100 km itu. Atau jarak yang sama dari arah selatan: dari kota Porto, di bagian utara Portugis.
Di Camino yang pertama dulu, Lia pilih rute dari selatan itu. Camino jarak 100 km adalah yang minimalis. Soal mau ditempuh berapa hari itu terserah kekuatan iman masing-masing –utamanya kekuatan kaki mereka.
Boleh dalam sehari, boleh seminggu, pun sebulan.
Kapan Anda putuskan untuk Camino lagi yang kedua?
“Di hari begitu tahu Pak Ganjar kalah,” jawab Lia.
Lia adalah ketua tim pemenangan Ganjar-Mahfud. Untuk seluruh Amerika. All out. Sampai plat nomor mobilnyi, Lexus, diganti GANJAR. Bukan lagi plat nomor angka. GANJAR itu plat nomor resmi yang didaftarkan di New York.
Lia berhasil. Sukses. Ganjar menang satu putaran: dapat suara lebih 50 persen di Amerika. Hampir 51 persen.
Tapi pemilih di Amerika hanya 20.000 orang. Apalagi di Vatikan, jauh lebih kecil lagi. Biar pun Ganjar menang di dua negara itu Anda sudah tahu hasil keseluruhannya.
“Begitu quick count menyatakan Pak Ganjar kalah saya bilang ke suami: kita Camino lagi,” ujar Lia. Sang suami, James Sundah, setuju. James, Anda sudah tahu, pencipta lagu ‘Lilin lilin Kecil’.
“Saya juga hubungi anak saya untuk ikut”, kata Lia. Erick, anak mereka, kini umur 26 tahun. Ia lahir di Boston. Sampai tamat SMA di Binus Jakarta. Sarjana manajemen bisnisnya dari Amerika.
Lia lantas cari visa Spanyol. Meski sudah hampir 30 tahun di Amerika Lia masih warga negara Indonesia. Ia sangat cinta Indonesia. Kakeknya dapat bintang dari Presiden Soekarno. Sang kakek seorang pejuang. Penyedia senjata untuk para pejuang kemerdekaan.
Lia aktivis. Gesit. Kerja keras. Dia juga pengacara di New York –khusus untuk urusan imigrasi. Saya diajak ke kantornyi di Queens. Di jalan utama yang strategis. Klien terbanyaknya dari Eropa Timur.
Lia sudah memutuskan mendukung Ganjar sejak Jokowi belum belok kanan. Bahkan sejak Megawati masih terlihat enggan mencapreskan Ganjar.
Lia sendiri menamatkan SMA di Santa Ursula Jakarta. Lalu sekolah musik di Berkeley California. Spesialisasinya piano. Klasik. Masternya di bidang bisnis di Boston. Lalu mendalami hukum, juga di Boston.
Jadilah Lia seorang jurist doctor. “Jurist doctor bukan PhD. Tidak sama. Gelar itu untuk bisa praktik pengacara,” kata Lia.
Lia begitu kecewa atas hasil Pilpres. Ini kekecewaan kedua di politik.
Lia pernah dipanggil pulang ke Indonesia. Agar aktif di berbagai tim pemenangan capres SBY di periode kedua. Sukses. SBY menang mutlak.
Lia sendiri kalah. Lia adalah caleg DPR RI dari Partai Demokrat. Untuk daerah pemilihan Bangka.
Maling dan copet suara sudah ada saat itu meski belum seseru Pemilu terakhir. Di antara sesama caleg satu partai sudah saling serobot suara.
Lima tahun kemudian Lia all out memenangkan Jokowi. Sukses. Pun lima tahun setelah itu. Kali ini dia tidak menyangka Jokowi belok kanan ke Prabowo di tahap terakhir.
Putusannya untuk Camino sekali lagi adalah cara Lia agar bisa move on setelah itu.
“Saya tipe orang yang mendukung seorang Capres tapi tidak membenci Capres lain,” ujar Lia.
Di perjalanan Camino itu Lia melakukan kontemplasi: apa itu hidup dan untuk apa hidup.
Tiap hari Lia berjalan 20 Km. Selama lima hari. Jari-jari kakinyi melepuh. Dibalut. Melepuh lagi. Jalan tidak boleh berhenti. Hati tidak boleh putus asa.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia