Lia James

Lia bersama suami James F. Sundah dan anaknya Erick saat ada di Camino, tepatnya di KM 44.911. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

MESKI bukan Katolik saya ingin ikut Camino. Oktober nanti. InsyaAllah.

Lia Suntoso siap jadi pemandu. Pun suaminyi, James F Sundah. Juga anak mereka, Erick, yang bulan depan buka usaha di Austin, Texas.

Persoalannya: Lia menawarkan rute yang lain lagi. Agar tidak mengulang dua rute yang pernah mereka lalui. Padahal saya justru ingin rute Sarria-Santiago yang 100 km itu.

Saya setuju tidak lewat Porto –saya sudah pernah ke Porto. Tapi apakah rute baru lebih menarik? Belum ada jalan tengah. Pasti ada. Semua bisa dirundingkan.

Tidak akan seberat persoalan apakah PDI-Perjuangan akan masuk kabinet. Atau pilih di luar saja tapi harus bersama PKS. Jangan-jangan karena PDI-Perjuangan pilih di luar justru PKS gabung ke dalam.

James Sundah juga bukan Katolik. Ia tetap Protestan. Tapi ikut Camino. Mereka sudah biasa gantian: kadang James ikut kebaktian di gereja Katolik kadang sebaliknya.

Erick juga. Hanya Erick masih sering lupa: saat ikut kebaktian bapaknya ia masih sering menutup doa dengan menggerakkan tangan ke tiga arah –cara Katolik.

Lia sudah memberi saya kursus pendek menuju Camino. Harus pakai sepatu apa, baju berapa, kaus kaki seperti apa dan topi yang bagaimana.

Saya sudah punya sepatu dari merk yang disyaratkan Lia. Dibelikan istri waktu di Shanghai. Tapi saya kurang peduli tipenya. Semoga sama: tipe yang kalau kena air tidak basah sampai dalam. Tidak perlu beli yang baru. Kemungkinan kehujanan sangat tinggi di sana. Apalagi Oktober.

Berarti harus membeli jas hujan. Oh tidak perlu beli. Lia punya banyak. Pun yang belum dibuka bungkusnya. Saya diberi satu.

Untuk jaket, Lia mensyaratkan merk tertentu. Tahan hujan dan angin. Ringan sekali. Seringan isi dompetnya Putu Leong. Saya sudah punya dua. Saya ingat di mana membelinya: di Evansville, Indiana.

Dari dua pengalaman ikut Camino, Lia mensyaratkan agar saya membeli kaus kaki khusus: harus woll. Tidak menyerap keringat.

Memang ada yang lebih baik: kaus kaki berjari lima. Bisa mengurangi kemungkinan jari-jari melepuh. Tapi Lia belum menemukan kaus kaki woll yang berjari lima.

Tidak boleh lupa: minyak angin, minyak gosok dan obat puskesmas –pusing, keseleo, masuk angin. Dan harus latihan jalan jauh setiap hari. Sejak sebulan sebelum berangkat.

Yang terakhir itu rasanya saya tidak perlu. Senam dansa saya sudah melebihi jalan kaki. Dan lagi saya sudah lulus jalan kaki dari Mekah ke Arafah. Waktu naik haji dulu. Lebih jauh dari 20 km. Pulang pergi pula.

Jemaah haji umumnya naik bus ke Arafah. Tapi Rizal Effendy dan Zainal Muttaqin menantang saya untuk jalan kaki saja. Dua direktur perusahaan saya itu hampir 10 tahun lebih muda.

Saya ganti menantang Nino dan satu lagi yang lebih muda lagi. Terbersit sedikit kesombongan; saya harus lebih kuat dari dua yang termuda itu.

Jadilah berlima jalan kaki. Dari Mekah setelah Asar. Sekitar pukul 4.30 sore. Tiba di Arafah jam 11.00 malam. Kelak di tahun 2010 Rizal jadi Wali Kota Balikpapan.

Dua yang termuda itu mampu meruntuhkan kesombongan saya: Mekah-Arafah itu enteng bagi mereka. Saya baru tahu setelah di Arafah: mengapa dua pemuda itu tetap segar saja. Ternyata mereka sudah biasa ikut Sumo –jalan kaki tahunan dari Surabaya ke Mojokerto, 50 km.

James tidak harus latihan. Nafasnya terlihat lebih berat dibanding umurnya. Dan lagi di Camino ini James sudah dianggap lulus tanpa harus berjalan kaki. Ia boleh naik mobil. Di jalur mobil. Di jalan raya. Sekalian mengangkut bagasi istri dan anaknya. Juga bagasi saya kelak. Insyaallah.

James lulus otomatis?

“Betul. Semua orang yang bernama James boleh tanpa jalan kaki di Camino,” ujar Lia. James membenarkan itu.

Ketika berangkat jalan kaki dari Sarria, Lia membawa ‘paspor Camino’. Dia pun minta paspornyi distempel petugas di Sarria, pedalaman Spanyol. Dapat satu stempel. Sarria hanya sebuah desa, 100 km di timur Santiago.

Tidak ada upacara pemberangkatan. Semua orang berangkat sendiri-sendiri. Tidak ada pula titik pemberangkatan. Boleh dari mana saja. Pun dari hotel.

Tidak jauh dari hotel Lia ada gereja kecil. Lia bertiga mampir untuk berdoa.

Di tengah perjalanan, Lia minta stempel lagi ke petugas yang ada. Sehari paling tidak harus ada dua stempel di ‘paspor Camino’. Lia pun memperlihatkan paspor Camino-nyi: penuh stempel. Lima hari kali dua stempel.

Stempel itu untuk membedakan mana yang Camino beneran dan mana yang mencuri rute. Lia memilih satu etape lebih 20 km. Ada yang 22 atau 24. Agar etape terakhir tidak sampai 20 km.

Lia berusaha harus sudah sampai Katedral di Santiago sebelum pukul 12.00. Maksudnyi: agar bisa ikut misa yang jam 12.00 siang. Lewat dari itu baru bisa ikut misa yang jam 17.00. Hanya ada dua kali misa untuk umum di Katedral St James setiap hari.

Misa di Katedral Santiago istimewa. Ada cara pemberkatan khusus yang tidak ada di katedral lain di dunia. Itu bisa jadi semacam klimaks Camino.

Lihatlah videonya di YouTube. Tempat dupa itu sangat besar. Berat. Digantung sangat tinggi di dalam ruang besar gereja. Tempat dupa itu harus diayun-ayunkan ke kanan dan ke kiri. Agar asap dupanya bisa memenuhi seluruh ruang di gereja.

Untuk mengayunkannya kini Anda sudah tahu: pakai tali besar yang ditarik oleh enam rohaniawan Katolik. Kadang 10 orang. Dupa pun berayun. Di ketinggian. Mula-mula radius ayunnya sempit. Lama-lama melebar. Sampai mentok sisi kanan dan kiri ruang gereja.

Asap dupa pun mengepul lebih besar. Aroma dupa memenuhi gereja. Itu penting: bisa menutup aroma keringat berbagai bangsa yang baru menyelesaikan jalan jauh menuju Santiago.

Banyak teman saya yang bukan Muslim ingin ikut umroh. Ingin merasakan umroh itu seperti apa. Tapi kan tidak bisa. Tidak boleh.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia