Gegara Serangan ke Gaza, Kabinet Israel Terancam Pecah!

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant menghadiri konferensi pers di pangkalan militer Kirya di Tel Aviv, Israel, Sabtu, 28 Oktober 2023. (Foto: via AP)

J5NEWSROOM.COM, Tel Aviv – Ketegangan di pemerintahan Israel mencapai puncaknya pada minggu ini sebagai buntut atas serangkaian serangan Israel di Gaza. Menteri pertahanan mengecam ketidakjelasan strategi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam menjalankan perang melawan Hamas.

Pernyataan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang menolak ide pembentukan pemerintahan militer di Gaza, mencerminkan meningkatnya ketidakpuasan di kalangan lembaga keamanan. Mereka resah karena Perdana Menteri Benjamin Netanyahu belum memberikan arahan jelas tentang siapa yang akan memimpin Gaza setelah pertempuran berakhir.

Mereka juga mengungkapkan perpecahan tajam antara dua mantan jenderal militer di dalam tubuh kabinet, Benny Gantz dan Gadi Eisenkot, yang mendukung seruan Gallant. Di sisi lain, partai-partai nasionalis sayap kanan yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Itamar Ben-Gvir mengecam pernyataan tersebut.

“Itu bukan cara untuk melancarkan perang,” demikian bunyi tajuk utama tabloid sayap kanan Israel Today pada edisi Kamis. Media itu juga menampilkan foto Netanyahu dan Gallant yang tampak saling memunggungi.

Netanyahu baru jelas dalam urus pembubaran Hamas dan pembebasan sekitar 130 sandera yang masih disandera. Selain target membasmi Hamas dan memulangkan sekitar 130 sandera yang masih ditahan kelompok itu, Netanyahu belum menjelaskan tujuan strategis yang jelas usai operasi militer nanti. Sejauh ini, operasi militer Netanyahu telah menewaskan sekitar 35.000 warga Palestina dan membuat Israel semakin terisolasi secara internasional.

Namun, dengan dukungan Ben-Gvir dan Smotrich, yang dekat dengan gerakan pemukim Tepi Barat, ia menolak keterlibatan Otoritas Palestina dalam pengelolaan Gaza pascaperang. Otoritas Palestina, yang didirikan berdasarkan perjanjian Oslo tiga dekade lalu, umumnya dianggap sebagai badan pemerintahan Palestina yang paling sah.

Netanyahu, yang berusaha mempertahankan koalisinya yang terpecah, tetap berkomitmen untuk mencapai kemenangan total atas Hamas. Dia mengatakan kepada CNBC pada Rabu bahwa setelah itu, Gaza bisa dijalankan oleh “pemerintahan sipil non-Hamas dengan tanggung jawab militer Israel secara keseluruhan.”

Para pejabat Israel menyebutkan bahwa pemimpin klan Palestina atau tokoh lainnya mungkin direkrut untuk mengisi kekosongan itu. Namun, belum ada bukti konkret mengenai siapa yang akan dipilih, dan tidak ada negara Arab sahabat yang bersedia membantu.

“Dari Israel pilihannya adalah mereka mengakhiri perang, dan mundur, atau membentuk pemerintahan militer di sana, dan mereka menguasai seluruh wilayah entah sampai kapan, karena begitu mereka meninggalkan suatu wilayah, Hamas akan muncul kembali,” kata Yossi Mekelberg, rekan Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House.

Taktik Gerilya

Penolakan Gallant untuk mempertimbangkan bentuk pemerintahan militer permanen mencerminkan kekhawatiran akan konsekuensi negatif dari operasi tersebut terhadap militer dan perekonomian. Hal ini juga mengingatkan aksi pendudukan Israel di Lebanon selatan setelah perang 1982.

Yedioth Ahronoth, surat kabar terkemuka di Israel, mengutip penilaian rahasia dari lembaga pertahanan pada Jumat. Penilaian tersebut memperkirakan biaya mempertahankan pemerintahan militer di Jalur Gaza sekitar 20 miliar shekel ($5,43 miliar) per tahun, di samping biaya rekonstruksi. Persyaratan tambahan pasukan akan mengalihkan pasukan dari perbatasan utara dengan Lebanon dan Israel tengah, serta akan menimbulkan peningkatan tajam dalam kebutuhan tugas cadangan.

Untuk mengambil kendali penuh atas Gaza akan memerlukan setidaknya empat divisi, atau sekitar 50.000 tentara, kata Michael Milshtein, mantan perwira intelijen dan salah satu spesialis terkemuka Israel di Hamas.

Sementara ribuan anggota Hamas tewas dalam perang tersebut dan para komandan Israel mengatakan sebagian besar batalyon terorganisir gerakan tersebut berhasil dibubarkan, kelompok-kelompok kecil bermunculan di wilayah yang ditinggalkan tentara pada tahap awal perang.

Dampak yang mungkin ditimbulkan oleh pemberontakan berkepanjangan bagi Israel tergambar pada Rabu, ketika lima tentara Israel terbunuh tak sengaja oleh tank Israel dalam “tembakan ramah” di daerah Jabalia di utara Kota Gaza. Tentara Israel mengatakan pada Januari bahwa mereka berhasil stuktur militer Hamas setelah pertempuran berminggu-minggu.

Pada saat itu, dikatakan bahwa militan masih ada di Jabalia, tetapi mereka beroperasi “tanpa kerangka kerja dan tanpa komandan.”

Pada Jumat, tentara mengatakan mereka melakukan serangan “tingkat divisi” di Jabalia, di mana pasukan bertempur di pusat kota. Dikatakan bahwa pasukan tmembunuh lebih dari 60 anggota Hamas dan menemukan puluhan roket jarak jauh.

Juru bicara militer Israel, Laksamana Muda Daniel Hagari, mengatakan tugas militer adalah untuk “menghancurkan tempat-tempat di mana Hamas kembali dan mencoba untuk berkumpul kembali.” Namun ia mengatakan setiap pertanyaan mengenai pemerintahan alternatif selain Hamas akan menjadi keputusan politik.

Meskipun sebagian besar survei menunjukkan bahwa warga Israel masih mendukung perang tersebut, dukungan tersebut telah menurun. Semakin banyak orang yang lebih memprioritaskan kembalinya para sandera daripada menghancurkan Hamas. 

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah