PKL Tanjungpinang: Antara Keberadaan, Ketertiban, dan Janji yang Belum Terealisasi

Pedagang Kaki Lima (PKL) Tanjungpinang. (Foto: Arifa Nurlianti, Priti Sintani)

Oleh: Arifa Nurlianti dan Priti Sintani

Tahukah Anda bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 10 juta Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tersebar di berbagai wilayah? Jumlah ini menunjukkan bahwa PKL memiliki peran penting dalam perekonomian dan budaya Indonesia. Namun, keberadaan mereka yang tidak terorganisir dengan baik sering kali menimbulkan masalah bagi masyarakat dan lingkungan.

Masalah yang ditimbulkan dari tidak terorganisirnya PKL tersebut seperti adanya sampah berserakan, kemacetan, kebisingan, dan kekacauan yang ditimbulkan PKL dapat mencemari lingkungan, mengganggu aktivitas, dan membahayakan keselamatan. Keamanan, ketertiban umum, persaingan tidak sehat, dan penurunan nilai estetika juga menjadi konsekuensi negatif.

Bagaimana cara menata PKL agar mereka dapat tetap berjualan dengan nyaman dan aman, tanpa mengganggu ketertiban umum, kebersihan, dan kelancaran lalu lintas? Strategi yang dapat diterapkan untuk mencapai keseimbang tersebut pertama, dengan menetapkan zona PKL teratur dan menerapkan zonasi serta jam operasional yang tepat untuk menghindari konflik. Kedua, melalui standarisasi infrastruktur seperti kios yang seragam dan fasilitas pendukung yang memadai. Ketiga, dengan memberikan izin usaha yang mudah, menerapkan aturan yang jelas, dan menegakkan hukum secara tegas. Keempat, melalui pembinaan dan edukasi bagi PKL tentang manajemen usaha dan kesadaran lingkungan, serta melibatkan partisipasi masyarakat.

Pertanyaan ini telah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga para PKL sendiri.

PKL telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap perkotaan di Indonesia. Mereka menawarkan berbagai macam barang dan jasa dengan harga terjangkau, menjangkau area yang tidak tersentuh oleh toko-toko besar, dan menjadi sumber pendapatan bagi jutaan orang. PKL memberikan lapangan pekerjaan bagi banyak orang, terutama mereka yang memiliki keterbatasan pendidikan dan keterampilan. Keberadaan mereka membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan, serta mendorong inklusi ekonomi bagi masyarakat.

Pemerintah Kota Tanjungpinang sudah membuat kebijakan terkait penertiban PKL, yang mana sejumlah PKL masih banyak berjualan disepanjang jalan antara Laman Boenda menuju tugu sirih yang membuat ketertiban lalu lintas menjadi terganggu. PKL di sepanjang jalan tersebut tidak hanya menyebabkan kemacetan, tetapi juga membahayakan keselamatan pengguna jalan. Hal ini menarik perhatian pemerintah untuk mengambil tindakan.

Satpol PP dan Polsek Tanjungpinang kemudian ditugaskan untuk menertibkan PKL, penertiban yang dilakukan seperti pemasan plang larangan berjualan diseputaran Taman Boenda, melaksanakan patroli terhadap PKL yang berjualan di trotoar dan Lorong Gambir.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Ketertiban umum berisi larangan melakukan kegiatan usaha atau berjualan di taman kota, melebihi jam 00.00 WIB di taman kota dan memasang spanduk atau umbul-umbul di taman kota. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 7 Tahun 2018 bahwasanya trotoar bukan tempat meletakkan barang dagangan jualan.

Namun, seperti yang kita lihat pada saat ini peraturan yang telah ditetapkan belum juga diterapkan oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang ada, dimana masih adanya PKL yang melanggar peraturan tersebut, seperti masih ada yang berjualan melebihi jam 00.00 WIB dan juga masih ada yang melakukan kegiatan usaha di taman kota. Terutama sering kita lihat pada hari libur ataupun hari biasa terlebih lagi apabila ada kegiatan yang diselenggarakan di area alun-alun tugu sirih.

Pastinya akan selalu terjadi kemacetan lalu lintas oleh masyarakat yang ingin parkir ataupun membeli jajanan yang dijual disepanjang pinggiran jalan. Hal ini juga menyebabkan kumpulan sampah yang berserakan dimana-mana.

Menurut berita yang kami baca, bahwasanya Pj Walikota Hasan memberikan sebuah janji dimana beliau menjanjikan lokasi atau tempat jualan di zona B (Taman Gurindam 12) Kota Tanjungpinang kepada para PKL sebagai pengganti lokasi jualan yang lama.

Namun, ketika para PKL sudah membuat kontainer janji tersebut belum juga terealisasikan hingga setelah lebaran usai. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan para PKL masih saja berjualan di sepanjang Laman Boenda menuju tugu sirih demi keberlangsungan hidup mereka.

Selain itu, dari berita pasar baru Encik Puan Perak Tanjungpinang bahwa adanya transformasi pasar tradisional Encik Puan Perak menjadi pasar modern. Hal ini dilakukan agar ibukota terlihat bersih, tertata dan rapi karena Tanjungpinang merupakan ibukota provinsi. Pemerintah Kota Tanjungpinang memindahkan para pedagang dari pasar lama Encik Puan Perak ke pasar baru Encik Puan Perak yang modern karena musibah yang terjadi yaitu robohnya bangunan pasar yang berada dikawasan Lorong Gambir.

Oleh sebab itu, pemerintah kota berkoordinasi bersama pemerintah provinsi dan disetujuilah pembangunan pasar modern tersebut. Namun dalam hal itu, banyak pedagang yang enggan berpindah karena berbagai alasan seperti akses yang sulit, ukuran kios yang kecil dan kurangnya sosialisasi dari pihak terkait. Karena hal ini terjadilah kesimpang siuran data dan miskomunikasi antara pedagang dan pihak pemerintah terkait penempatan kios dan fasilitas baru. Pedagang berharap agar pemerintah memperbaiki konstruksi pasar, seperti memperbesar ukuran kios.

Dalam hal ini pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan dan terus berkomunikasi dengan para pedagang untuk mencari solusi terbaik. Pemerintah perlu menegakkan peraturan secara konsisten dan adil terhadap PKL yang melanggar aturan. Hal ini penting untuk menciptakan ketertiban dan keadilan bagi semua pihak.
PKL memiliki peran penting dalam perekonomian dan budaya Indonesia. Namun, keberadaan mereka juga perlu ditata dengan baik agar tidak menimbulkan masalah bagi masyarakat dan lingkungan.

Penataan PKL yang berkelanjutan membutuhkan solusi komprehensif yang bisa ditawarkan, misal dengan melakukan pertemuan antara pemerintah dengan kalangan masyarakat, menentukan kapan waktu berdagang yang boleh dilakukan, barang apa yang boleh di jual, penataan insfrastruktur yang aman dan nyaman, pemberdayaan dan pelatihan PKL, serta melakukan evaluasi dan adaptasi berkelanjutan.

Dengan solusi komprehensif tersebut diharapkan keberadaan PKL dapat menjadi bagian integral dari kota yang tertata rapi, nyaman, aman dan estetis. Keberadaan PKL tidak lagi dipandang sebagai masalah melainkan sebagai elemen penting dalam dinamika ekonomi dan budaya kota.

Mahasiswi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Tugas Mata Kuliah Ekonomi Politik.