Oleh Dahlan Iskan
“Kami juga berangkat pukul 04.00,” wanita yang antre di depan saya.
Lebih setengah baya. Langsing. Masih cantik. Rambut agak pirang. Bergelombang. Energetik. Tinggalnyi lebih dekat Manhattan meski di negara bagian lain: New Jersey. Yakni New Jersey yang menghadap ke Manhattan yang hanya dipisahkan laut sempit.
Sebenarnya dari situlah tempat terbaik untuk memandang keindahan Manhattan secara keseluruhan. Di situlah lokasi iklan obat herbal anti masuk angin yang dibintangi anak Pak Iskan bersama Pio beberapa tahun dulu.
Si pirang tiba di tempat antrean bersamaan, tapi saya menyilakannyi antre di depan saya. ”Saya tadi muter agak jauh. Terowongan bawah lautnya tutup. Baru dibuka pukul 05.00,” ujarnyi.
Terowongan tutup malam hari? Di New York? Itu berita baru bagi saya.
Ternyata memang baru: sejak Iran mengketapelkan roket-roket jarak jauhnya ke Israel. Atau sejak demo mahasiswa pro-Palestina banyak terjadi di kampus-kampus besar Amerika.
Saya pun ingat pernah ditangkap polisi di dekat mulut terowongan itu. Yakni mulut di sisi Manhattan. Saat itu saya banting setir ke jalan kecil. Harusnya dilarang masuk. Satu arah. Saya lihat sepi dan mobil di belakang saya agak jauh. Putusan itu saya ambil mendadak justru ketika melihat terowongan. Kalau saya telanjur masuk terowongan itu akan sampai ke New Jersey. Muter baliknya amat jauh. Padahal saya mau ke bandara JFK. Bisa ketinggalan pesawat.
Ada polisi di situ. Saya diminta minggir. Di Amerika pengemudi tidak boleh turun dari mobil di saat dihentikan polisi. Tapi saya diminta turun. Saya langsung menunduk-nunduk minta maaf. Belum ditanya pun saya sudah mengakui salah. Salah jalan. Mau ke bandara.
Polisi minta SIM saya. Ia lihat: SIM Indonesia. Lalu minta paspor: Indonesia. Resmi. Legal. Ada visa. “Indonesia” gumamnya. Polisi pun memberi nasehat dua kalimat pendek. Lalu saya disuruh ke arah JFK yang benar. Saya kembali minta maaf tiga kali dan mengucapkan terima kasih.
Orang New Jersey, wanita, pirang, ikut antre melihat Trump diadili sejak sebelum pukul 05.00 pagi.
Wanita di belakang saya lebih jauh lagi: dari negara bagian New York tapi tiga jam di utara Manhattan.
“Saya berangkat kemarin sore. Menginap di Manhattan,” ujarnyi. Juga lebih setengah baya. Ceriwis. Banyak cerita. Dengan suara tidak lirih. Apa saja diceritakan. Dia seperti Leong Putu –sebaliknya. Banyak yang dia ceritakan itu tentang kebaikan suaminyi.
Tapi sang suami ditinggal ke Manhattan untuk antre lihat diadilinya Presiden Donald Trump.
Antrean kian panjang. Sudah satu jam lagi dari adegan di bawah pohon.
Air yang saya minum sejak bangun tidur lebih satu liter. Yang sudah diekspor baru 300 mili. Selebihnya harus cari jalan keluar.
Satu jam berikutnya tidak tahan lagi. Petugas datang ke tempat Antrean. “Jangan meninggalkan antrean,” teriaknya beberapa kali.
Erick, putra tunggal Lia dan James F Sunday sudah bersama saya. Saya lirik tangannya: memegang botol minuman. Masih ada airnya. Sedikit. Botol itu saya minta.
“Untuk apa?”
“Ada deh”.
Ia berikan botol itu. Saya buang airnya. Ia pun tahu –mestinya. Saya ke balik pohon lagi.
Saya juga terpikir fikh Islam seperti perusuh M Zainal Arifin di komentarnya kemarin. Tapi fikh juga mengatur hal-hal darurat. Trump yang bikin fikh darurat.
“Anda dari partai Republik?” tanya saya pada Si pirang.
“Saya Demokrat”.
“Anda Republik?” tanya saya ke Si ceriwis.
“Demokrat”. Lalu ceramah soal mengapa Demokrat.
“Anda Republik?” tanya saya ke laki-laki jangkung yang juga lebih setengah baya.
“Demokrat”.
Demokrat. Demokrat. Demokrat. Semua Demokrat.
Ada satu yang Republik. Wanita. Setengah baya. Berpakaian cantik. Seperti baru keluar dari salon. Atau dia tidur tengkurap tadi malam setelah dari salon kemarin sore.
Si salon tidak ikut antre. Dia mondar-mandir di sebelah antrean. Dari belakang ke depan, balik lagi ke belakang. Dia berteriak-teriak memuji Trump. Memaki Presiden Joe Biden.
Si ceriwis ganti berteriak ke arah Si salon. Memaki Trump. Lalu disusul teriakan Si Pirang. Tidak sahut-sahutan karena Si salon tidak pernah memutus mulutnyi. Dia monolog. Semua yang merespon dari antrean juga wanita. Tidak ada laki-laki yang ikut urusan perempuan.
Si salon berhenti sendiri. Ngacir ke arah mobil-mobil televisi di belakang sana. Mungkin berniat orasi di depan kamera.
Kalau betul pukul 09.00 sidang dimulai mestinya setengah jam lagi antrean bisa bergerak maju. Tidak ada tanda-tanda itu. Memang di jalan depan pengadilan sudah kian sibuk. Mobil searah kian banyak. Kamera-kamera televisi kian siap di pinggir jalan. Dari antrean di bagian tengah tidak bisa melihat detil suasana di jalan itu.
Sesekali lewat mobil yang dipasangi layar lebar di bagian sampingnya. Terbaca gerak digital di layar itu. Terbaca tulisan besar: Tiga Presiden yang memperkarakan lawan politiknya. Washington, Lincoln, Biden. Layar mati sekejab. Lalu muncul tulisan di layar lagi. Hero. Hero. Coward.
Itu iklan politik berjalan. Dari kubu Trump. Mengecam Biden.
Taktik itu mengingatkan saya ke taktik jitu Bonek di stadion. Terutama saat wasit berlaku curang ke Persebaya. Bonek meneriakkan kecaman pada wasit tanpa kena pidana.
“Wasiiiit…” teriak ribuan Bonek di tribun kanan.
“Maliiiiiing…” teriak ribuan Bonek di tribun kiri.
Tidak ada Bonek yang meneriakkan ‘Wasit Maling’.
Penulis adalah wartawan senior Indonesia