Oleh Dahlan Iskan
INFRASTRUKTUR di Amerika kini sudah ketinggalan jauh. Terutama dibandingkan dengan Tiongkok-baru. Bandara, kereta api, jalan tol, pelabuhan, jembatan –banyak yang roboh pula.
Gelandangan. Pengemis. Kekerasan.
Maka tujuan saya kali ini justru ke New York. Pulangnya kelak tidak lagi dari Big Apple. Pilih pulang dari San Fransisco. Yang di media begitu menakutkannya: penjarahan toko, gelandangan, tenda-tenda di sepanjang jalan, kekerasan pada etnik Asia.
Saya tidak terpengaruh dengan kesan yang muncul di media di Asia seperti itu. Saya tidak takut jalan-jalan sendirian meski orang seperti saya bisa dikira Tionghoa juga. Bahkan ada orang Korea tewas di Amerika juga dikira Tionghoa. Pun yang lebih coklat dari India.
Di hari keempat saya meninggalkan New York: dari bandara La Guardia –bukan dari bandara kedatangan saya di JFK. Sudah waktunya ke satu negara bagian nun jauh di tengah –yang Anda sudah tahu.
Kali ini saya tidak naik mobil. Tidak lucu: setir mobil tiga hari, sendirian. Apalagi saya sudah pernah beberapa kali bermobil dari New York ke sana –lewat jalur yang berbeda.
Saya kaget: ini bukan LaGuardia. Ini LaGuardia. Bukan. Iya. Ternyata ini bandara baru. Terminalnya yang baru. Terperangah.
Ini mah bukan infrastruktur yang ketinggalan. Tidak kalah dengan yang di Tiongkok. Bahkan unggul. Terasa finishing-nya sempurna.
Khas negara yang sudah lama kaya. Material eksterior dan interiornya lebih berkelas –tidak terasa ada unsur menghemat bahan.
Walhasil, sama-sama modern, sama-sama baru, bandara LaGuardia terasa lebih elegan.
Presiden Donald Trumplah yang awalnya mengeluh: infrastruktur Amerika sudah seperti negara ketiga, negara miskin. Ternyata itu khas curhatnya orang kaya: “Tahun ini kami rugi besar. Keuntungan merosot 70 persen”.
Dan sisa yang 30 persen itu adalah ratusan miliar rupiah.
Tiga jam kemudian saya mendarat di KCI. Tepat waktu, pun di kelas ekonomi. Tidak ada tornado seperti yang saya cemaskan.
Di wilayah itu, di bulan seperti ini, seperti Probolinggo dengan Angin Gending-nya: banyak puting beliung. Bahkan tornado. Sesekali ingin juga melihat tornado asal jangan ketika menahan pipis.
Atau jangan-jangan di Probolinggo, tidak ada lagi Angin Geding sejak Antangin dipasarkan di sana. Atau seperti di Nganjuk dengan angin bawangnya –saya lupa pelajaran di SD nama angin kencang di Nganjuk.
“Sudah berapa lama bandara baru KCI ini?” tanya saya pada penjemput istimewa saya.
“Satu atau dua tahun,” jawabnyi. “Saya juga baru sekali ini ke bandara baru,” tambahnyi.
Mirip dengan LaGuardia: modern, cantik, anggun. Kata terakhir itu yang masih belum ada di dunia ketiga. Itu yang membedakan orang kaya baru dan orang kaya lama. Apalagi kalau barunya belum lama.
Orang kaya baru masih punya sikap pelit pada anak-anaknya –baru mulai berubah terhadap cucunya. Lebih pelit dari yang tidak kaya –misalnya hanya mau membelikan anaknya mobil Honda Odyssey.
Maka ada humor sekelas Bung L300: seenak-enak anak orang kaya masih lebih enak cucunya orang kaya.
Menabrakkan Tesla kakeknya sampai hancur pun masih diciumi sambil mengatakan, “untung cucu tersayangku selamat”.
Sedang anak orang kaya masih sering dimarahi: harus kerja lebih keras, harus hemat, jangan banyak rebahan. “Ingat bapakmu ini, bisa begini karena kerja tidak mengenal lelah…”, dan masih panjang lagi.
Dari bandara kami menyusuri I-70. Salah satu jalan bebas hambatan terpanjang di Amerika. Yang dibangun di masa Presiden Eisenhower –lahir di negara bagian ini. (Jangan lupa Presiden siapa yang membangun tol di Indonesia). Museum kepresidenan Eisenhiwer hanya sepelemparan piring dari salah satu exit I-70.
Ini jalan lama sekali. Sudah tua, setua orang orang seperti Bung Thamrin Dahlan: dibangun tahun 1956. Sedikit lebih muda dari sistem jalan bebas hambatan di Jerman, OtoBahn.
Meski tua jalan ini tetap seperti orang tua satu itu; masih tembem segar, selangnya masih berfungsi mengalirkan cairan apa pun dan belokan-belokannya cantik. Khas jalan bebas hambatan di Amerika –tidak pakai bayar tol. Waktu membangun tidak pakai utang. Pakai. Utangnya tanpa bunga, ke orang yang menikmatinya: pemilik mobil. Lewat penambahan harga di pembelian BBM mereka.
Saya harus kerja keras di tengah-tengah Amerika ini. Siang-malam. Seperti muda dulu. Tidak bisa diganggu –kecuali oleh perusuh Disway lewat humor, ejekan dan air zam-zamnya.
Saya merasa beruntung: banyak bahan tulisan yang saya kumpulkan di New York. Cukup untuk sembilan hari –sehingga tidak ada stres tambahan selama ditekan kesibukan itu.
Kesibukan itu sudah selesai. Besok. Atau lusa. Waktunya memikirkan hendak ke mana.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia