Pasir Putih

Perjalanan Dahlan Iskan di Amerika Serikat sempat melintasi White Sand di New Mexico. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

PUN kalau Anda tidak bosan, rasanya saya yang mulai bosan: menulis kisah perjalanan ini. Seperti tidak ada urusan lain yang lebih besar saja.

Misalnya soal makan siang yang jadi makan bergizi itu: apanya yang salah. Atau heboh soal habib: keturunan Nabi Muhammad atau bukan.

Benarkah ada yang sengaja menjadikannya isu pertentangan tak kunjung padam di kalangan Islam.

Begitu banyak kejadian di dalam negeri. Tapi saya di El Paso. Di sebelah pagar perbatasan Amerika Serikat dengan Meksiko.

Terus di kawasan itu pun bosan. Sudah berhari-hari yang terlihat hanya gurun. Udaranya pun panas. Jalannya lurus-lurus –membosankan. Hanya seperti menyusuri garis-garis di buku tulis.

Lalu saya sempat berdebat dengan Janet –sayangnya dia didukung suaminyi: mampir ke Pasir Putih atau tidak. Saya bilang tidak. Mereka bilang harus.

“Kapan lagi bisa ke sini,” katanyi.

Perjalanan begitu jauh. Tidak mungkin mereka akan ke sini lagi hanya untuk ke Pasir Putih. Saya bilang, itu tidak penting. Bukan kasus BTS yang kalah sinar dengan kasus timah –sayangnya mereka tidak mengerti apa itu BTS dan timah.

Janet yang menang. Apalagi suaminyi yang sedang pegang kemudi. Saya masih bilang: “Belum tentu kenyataannya seindah foto-fotonya.”

Rupanya Janet telah melihat Google: betapa menakjubkannya White Sand. Di tengah gurun bersemak dan berladang minyak itu ada satu kawasan yang sangat berbeda. Luasnya mungkin satu kabupaten sendiri –kabupaten di Sulsel. Mencolok.

Di satu kawasan ini pasirnya putih semua. Berbukit-bukit. Bergelombang-gelombang. Berombak-ombak. Saya malas menceritakannya. Lihat sendiri di Google: White Sand National Park New Mexico. Atau sebangsa itu.

Ternyata banyak turis ke situ. Semua harus bermobil –untuk bisa memasuki tengah-tengahnya. Berkilo-kilo meter. Suami Janet menghentikan mobil. Keduanya naik ke gunung pasir putih itu. Joget-joget kesenangan. Berfoto ria.

Saya pilih tunggu di dalam mobil. Waktunya membaca komentar di Disway. Mencicil pekerjaan hari itu. Dan lagi saya tidak boleh terlalu terkena pancaran sinar matahari –sepanas pancaran sinar petromak siang itu. Obat yang saya minum tiap hari tidak membolehkan itu.

Ternyata 30.000 tahun lalu sudah ada makhluk di sini. Jauh sebelum Nabi Adam yang sekitar 10.000 tahun lalu.

Lapar.

Ada kota kecil jauh di depan sana: Bowie. Ada di peta. Meski harus sedikit ke luar jalur, kami ke kota itu. Pukul 13.00. Panas-panasnya gurun.

Tertulis di Google: ada satu coffee shop. Ikuti saja garis biru di layar. Kami sudah tidak berharap ada variasi makanan pilihan. Apa saja. Sekadar isi perut.

Ternyata tidak ada apa-apa di kota Bowie. Kota ini rasanya salah letak. Aneh. Kenapa juga ada orang punya rumah di sini.

Kami pun keliling kota mencari si kafe. Google mengatakan: kami sudah sampai. Tujuan Anda di kiri jalan. Tidak ada kafe. Yang ada rumah biasa. Tertutup. Tidak ada tanda-tanda kehidupan apalagi bekas kafe.

Dalam dua menit kami sudah keliling ke seluruh kota. Tidak ada toko apalagi kafe. Kota ini kira-kira hanya seluas satu RW.

Tidak ada rumah bagus. Pun setengah bagus. Tidak ada orang di jalan. Tidak ada pintu rumah terbuka. Sepi. Mati.

Apa boleh buat: sekalian saja nanti makan malam di El Paso.

Embargo dan boikot selalu tidak berhasil untuk jangka panjang.

Embargo minyak dari Arab hanya berhasil membuat Presiden Jimmy Carter tidak terpilih kembali –akibat krisis energi. Padahal banyak literatur mengatakan Carter adala presiden Amerika paling cerdas.

Setelah krisis energi itu Amerika seperti banteng terluka: lalu mandiri di bidang minyak dan gas.

Amerika tidak tergantung lagi minyak Arab. Mengulangi sejarah. Eropa tidak tergantung lagi ada Turkiye setelah daratan itu diblokade di masa nan dulu.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia