Oleh Dahlan Iskan
UNTUK keluar dari El Paso pilihan kami hanya dua: ke Albuquerque, kota terbesar di New Mexico, lalu bermalam di Phoenix. Atau di kota Tempe.
Tapi Phoenix seperti kota mati di musim panas seperti ini. Tempe terasa lebih hidup. Saya tidak pilih keduanya –sudah dua kali ke sana.
Saya pilih dari El Paso langsung ke Tucson di Arizona selatan. Mereka setuju. Berarti masih pindah dari wilayah gurun ke gurun yang lain. Dari yang tidak berpohon ke gurun berbatu. Masih harus berjam-jam menyusuri semak, pasir dan debu.
Jalan ke arah barat ini masih juga lurus-lurus. Ratusan kilometer tidak ada beloknya. Jalan ini seperti garis di buku tulis. Di sebelahnya, sekitar 75 meter di utaranya, ada garis lurus yang lain: rel kereta api.
Kereta apinya pun seperti garis lurus. Panjang. Kereta itulah hiburan yang lewat: saya pun menghitung gerbongnya. Daripada bete.
Mobil kami lebih cepat dari kereta itu: bisa menghitung gerbongnya dengan teliti: 150 gerbong. Kira-kira 2 km panjangnya?
Itu kereta barang. Sebagiannya angkut kontainer 40 ft. Tidak ada kereta penumpang di jalur ini.
Saya tidak pernah berpapasan dengan truk yang mengangkut kontainer di jalan raya. Tidak ada juga truk yang pakai bak terbuka. Atau yang ditutup terpal. Truk terbaik di Indonesia pun masih terburuk di Amerika –bahkan itu pun tidak ada.
Tidak ada truk. Tidak ada trailer. Yang ada adalah jumbo beroda 18. Besar, panjang dan tertutup. Di belakang ruang kemudi ada ruang untuk kamar tidur sopir. Pun 18 wheeler sejumbo itu juga ngebut.
Saya amati hiburan di garis lurus itu: ada yang baru. Kontainer yang diangkut kereta itu bersusun dua. Alangkah hematnya angkutan barang antar kota dengan cara Amerika ini. Kontainer diangkut kereta api. Tumpuk dua pula!
Memasuki wilayah Arizona mulai ada pemandangan lain: batu. Bukit batu. Gunung batu. Gurun batu.
Dari Mekah ke Madinah juga serba batu. Anda sudah tahu: di sana warna gunung batunya hitam. Di Arizona gunung-gunung batunya berwarna coklat muda.
Garis-garis lurus itu pun akhirnya sampai kota Yuma. Inilah kota yang juga dibelah dua: separo di Amerika, separonya lagi di Meksiko.
Pagar pembatas dua negara pun terlihat lagi. Pun setelah Yuma, pagarnya terlihat lebih nyata: pagar di tengah gurun. Lurus seperti garis di buku tulis. Gurun panas nan luas diberi pagar. Gurun di sisi Amerika, gurun pula di sisi Meksiko.
Untungnya, saya semakin percaya pada suami Janet. Di sepanjang bentangan El Paso hingga Tucson, hampir selalu ada orang yang mengemudikan mobil. Saya hanya membantu dua jam lebih awal: dari El Paso ke Gila Bend.
Ternyata kemampuan suami Janet tidak perlu diragukan. Bahkan lebih stabil –cepatnya.
Sejak pisah dari John di Lawrence, Kansas, saya seperti sudah melupakan bahasa Inggris. Sepanjang jalan, siang-malam, hanya berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Mandarin.
Mereka terlihat begitu bahagia tidak lagi harus berbahasa Inggris. Pun di restoran, mereka tidak mau order. Semua terserah ke saya. Makan apa pun mau –asal tidak dipaksa order dalam bahasa Inggris.
Mereka pusing kalau harus membuka menu yang hurufnya Inggris. Seperti saya dulu, pusing kalau harus order menu di Beijing.
Baru bila ke restoran Chinese food mereka yang order –minta buku menu yang berbahasa Mandarin.
Tiba di Tucson Janet masih minta ke taman nasional di balik gunung batu di barat kota. Harus di waktu senja pula. Agar dia bisa mengabadikan hutan kaktus di lereng gunung itu terlihat seperti hantu-hantu pocong yang kurang makan.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia