Islamophobia: Fakta, Faktor dan Solusinya (Bagian-1)

Direktur Jamaica Muslim Center New York Amerika Serikat Shamsi Ali Al-Kajangi saat menjadi salah satu pembicara diskusi mengenai Islamophobia. (Foto: Dok Pri)

Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi

SEBENARNYA, saya telah beberapa kali menulis tentang Islamophobia,  khususnya dalam konteaks dunia Barat dan lebih khusus lagi di Amerika Serikat. Tapi karena isu ini adalah isu yang berlanjut terus menerus (continue permanently) maka selalu menarik untuk dibahas.

Tulisan ini sebenarnya merupakan ringkasan dari presentasi spontan (tanpa paper) saya yang disampaikan pada acara panel diskusi yang diadakan bersama tiga perwakilan negara (Turki, Indonesia, Pakistan) di New York, pada Rabu 5 Juni 2024. Saya mendapat Kehormatan diminta menjadi panelis mewakili Indonesia di acara tersebut.

Dua Fakta Pembuka Mata

Saya mengawali dengan menyampaikan dua kenyataan yang bisa membuka mata semua untuk melihat apa dan bagaimana sesungguhnya Islamophobia itu. Sekaligus dapat menjadi ilustrasi akan tantangan yang kita dihadapi dalam menyikapi apa yang biasa saya sebut sebagai “social ill” atau penyakit kemasyarakatan yang cenderung dinormalkan oleh dunia.

Satu, telah menjadi fakta bahwa Islam adalah agama yang selalu mendapat perlakukan yang tidak adil (unjust/unfair). Salah satu hal yang saya maksudkan pada konteks ini adalah kenyataan bahwa ketika ada pemeluk agama Islam (oknum Muslim) melakuan kesalahan atau kejahatan (evil) maka Islamlah yang seolah menjadi inspirasi kejahatan itu. Sebaliknya ketika ada pemeluk agama lain yang melakukan kesalahan atau kejahatan, umumnya agama mereka tidak akan menjadi tertuduh dan disalahkan (blamed).

Kita ambil saja contoh ketika ada prilaku intoleransi yang terjadi kepada minoritas non Muslim di negara-negara mayoritas Muslim. Barat dan media massanya, termasuk organisasi-organisasi NGOnya akan berteriak menuduh Islam. Seolah agama ini  anti non Muslim, ajaran yang intoleran, tidak menghormati kebebasan dan HAM, dan seterusnya.

Sebaliknya kita lihat mereka diam membisu ketika umat Islam tidak saja diperlakukan secara intoleran, bahkan dibantai. Apa yang terjadi di Gaza saat ini tidak menjadikan agama Yahudi tertuduh. Apa yang terjadi di Burma (Rohingya), di China (Uighur) kekejaman pengikut Modi di India, bahkan intoleransi di beberapa negara Barat sendiri, termasuk Amerika, tidak menjadikan ajaran agama disalahkan.

Ambil satu contoh lagi tentang apa yang disebut “female mutilation” Atau “sunat wanita” yang (maaf) seringkali dipahami oleh Barat dengan “mutilasi clitoris” wanita. Bagi mereka ini dianggap pelanggaran HAM dan diskriminasi ke kaum wanita. Kita sering mendengar bahwa yang banyak melakukan ini adalah umat Islam karena ajarannya. Padahal negara yang paling banyak melakukan ini adalah Ethiopia. Karena praktek ini lebih kepada budaya Afrika ketimbang pertimbangan agama.

Kedua, Islamophobia Bukan Hal Baru

Sebagian orang masih menyangka jika Islamophobia itu adalah fenomena baru. Sebagian bahkan berpikiran jika Islamophobia lahir dari peristiwa Nine Eleven di tahun 2001 yang lalu. Bahkan sebagian pula menyangka jika Islamophobia itu terjadi  terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat.

Fakta sesunggguhnya adalah bahwa Islamophobia adalah fenomena lama bahkan sejak Islam hadir di semenjung tanah Arab di abad keenam. Hadirnya Islam dan diangkatnya Muhammad (SAW) menjadi Rasul menjadi ancaman terbuka bagi kekuatan dunia ketika itu, baik kepada Romawi di Barat maupun Persia di Timur. Kenyataan ini memiliki implikasi sejarah dalam interaksi Islam dan dunia Barat khususnya hingga kini.

Selanjutnya adalah kenyataan dengan kekuasaan Islam di Andalusia (Barat) sekitar tujuh abad. Kejatuhan kekuasaan umat Islam di Spanyol berakhir dengan kembalinya kekuasaan Kristiani dengan peristiwa inquisisi menjadi catatan sejarah bahkan seolah dendam sejarah yang pahit dalam interaksi antara Islam dan Barat.

Belakangan kekuasaan Islam kembali hadir dan menjadi momok yang ditakuti dunia Barat melalui Khilafah Utsmaniyah (Ottoman Empire). Hampir saja Eropa keseluruhan terjatuh di bawah kekuasaan Otorman Empire jika saja tidak tertahankan pada peperangan Vienna (Austria) yang terkenal itu. Peristiwa ini menjadi dendam sejarah tersendiri bagi dunia Barat dalam berinteraksi dengan Islam.

Sikap dan prilaku Barat kepada Islam yang beriringan dengan sejarah Islam itu (dari awal) berlanjut dengan format dan bentuk yang berbeda-beda. Seiring perjalanan waktu ketakutan yang tidak rasional (irrational fear), kebencian dan prilaku prejudice kepada Islam dan Muslim yang disebut Islamophobia itu semakin mengakar di dunia Barat khususnya.

Kita mulai dengan dunia akademis dengan mengambil penamaan studi Islam di berbagai universitas di Barat, termasuk Eropa dan Amerika. Dalam studi Islam, mereka sengaja tidak memakai kata “Islam” tapi nama lain yang pastinya memiliki konotasi yang mereka inginkan. Ada dua nama yang terpakai untuk studi Islam di Barat. Satu, Middle Eastern studies. Dua, Studies of Orientalism.

Kedua penamaan untuk studi Islam ini pastinya memiliki konotasi bahkan tendensi untuk membangun imajinasi tertentu (dan pastinya negatif) tentang agama Islam. Tendensi ini sendiri merupakan pembenaran tentang kecurigaan jika studi Islam di Barat telah menjadi salah satu ekspresi Islamophobia.

Studi Islam dinamai studi Timur Tengah sesungguhnya untuk menggambarkan jika Islam itu adalah agama Timur Tengah (Arab). Penamaan ini bertujuan sebagai penggambaran bahwa Islam itu adalah agama yang anti so called “western civilization” yang telah berhasil dipersepsikan sebagai peradaban maju dan menghormati nilai-nilai Universal kemanusiaan (kebebasan, keadilan dan HAM) secara umum. Kesimpulan yang ingin dijustifikasi sesuai realita yang ada di negara-negara Timur Tengah. Kurang kebebasan, demokrasi, minim HAM dan hak-hak wanita.

Hal sama sesungguhnya dengan penamaan studi Islam dengan studi ketimuran (Orientalisme). Mereka ingin menggambarkan bahwa Islam itu adalah ideologi Timur yang tidak sejalan dengan paham Barat. Timur yang kerap dipersepsikan dengan dengan pemikiran  sempit dan prilaku primitif.

Semua itu kemudian diperkuat dengan dibangunnya persepsi umum seolah agama Kristen dan Yahudi adalah agama orang-orang Barat (western religions). Sementara yang lain, khususnya Islam adalah agama non Barat. Yang memperburuk kemudian adalah seolah segala sesuatu yang disebut “Western” itu superior (paling baik, maju, indah, beradab). Sementara non western itu bersifat inferior (lemah, bodoh, terbelakang, tidak beradab).

Amerika Serikat sendiri hingga beberapa tahun terakhir ini dikenal sebagai bangsa Yahudi dan Kristen (Judio-Christian nation). Untuk menggambarkan bahwa agama-agama lain tidak sesuai dengan Amerika yang dianggap super power dan merasa Istimewa (exceptional).

Hal lain yang menjadi catatan yang tak terlupakan adalah peperangan-peperangan yang didesign (direkayasa) di negara-negara Muslim, dari perang Afghanistan, ke perang Iran-Irak, perang Irak-Koalisi US, perang Suriah, hingga ke perang Yaman.

Semua perang itu dilabel dan dipersepsikan sebagai perang Islam melawan Barat. Pada umumnya dipersepsikan sebagai perang “uncivilized” melawan “civilized”. Puncak dari semua itu adalah serangan Nine Eleven yang menjadi justifiesi utama untuk menuduh Islam sebagai agama dan ajaran yang antitesis dari peradaban Barat.

Saya hanya ingin menggambarkan bahwa untuk memahami realita Islamophobia kedua fakta di atas harus dijadikan pijakan. Bahwa memang ada prilaku tidak fair (tidak adil) di kalangan non Muslim terhadap agama ini. Sekaligus harus dipahami bahwa fenomena Islamophobia atau ketakutan, kebencian dan prilaku prejudice kepada Islam dan pemeluknya bukan fenomena kemarin. Tapi telah sedemikian lama dan mengakar di kalangan Barat khususnya.

Lalu apa saja faktor-faktor atau penyebab terjadinya Islamophobia itu?

Jamaica City, 6 Juni 2024

Penulis adalah Direktur Jamaica Muslim Center New York Amerika Serikat. Naskah ini dikirim via japri oleh penulis ke J5NEWSROOM.COM, Kamis, 6 Juni 202