Oleh Moh. Bakir
Saat bahasan ini ditulis gema takbir Idul Adha mengalun tinggi dan menggelegar di seantero alam raya ini. Saya pun mengkhayal bahwa seperlima umat manusia sedang membaca (اَللّٰهُ اَكْبَرُ) secara berulang-ulang. Lebih dari 300 juta muslim membacanya secara bersama-sama. Seolah-olah gema takbir tersebut meninggi sebesar dan seluas bumi. Dengan demikian, bumi memperdengarkan kalimat-kalimat suci tersebut kepada planet lain di seantero langit.
Selain itu, lebih dari 20 ribu jamaah haji di Arafah mengucapkan secara bersama-sama apa yang dulu pernah diucapkan oleh Rasulullah SAW 1300 tahun yang lalu bersama para sahabat yang mulia. Maka, aku benar-benar merasa dan bahkan sangat yakin bahwa gema suara tersebut merupakan bentuk ubudiyah universal yang sepadan dengan manifestasi rububiyah ilahi yang bersifat universal sesuai dengan keagungan “Tuhan pemelihara bumi” dan “Tuhan alam semesta”.
Setelah itu, aku bertanya kepada diri sendiri, “Apa hubungan antara akhirat dan kalimat suci tersebut, yakni (اَللّٰهُ اَكْبَرُ)?” Akupun segera teringat bahwa kalimat ini berikut kalimat-kalimat yang baik dan mulia lainnya seperti (سُبْحَانَ اللّٰهِ), (اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ) dan (لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ), serta kalimat syiar Islam yang sejenis mengingatkan sekaligus mengisyaratkan tentang realitas akhirat, baik secara parsial maupun universal.
Penulis adalah Pimpinan Pondok Pesantren Ulul Ilmi Cendekia (UIC) Batam.