Oleh Dahlan Iskan
SUAMI Janet kaget: saya minum bir. Baru sekali itu terlihat di matanya. Saya beralasan: itu untuk menyambut kedatangannya di Amerika. Di rumah John Mohn. Di Lawrence, Kansas.
Seumur hidup baru sekali ini Janet dan suami melihat saya minum bir. Di pesta-pesta di Tiongkok, ketika semua orang minum bir saya selalu minta air putih.
Kadang saya beralasan: punya masalah dengan liver saya, tidak boleh minum alkohol. Lebih sering suami Janet yang menjelaskan: saya tidak boleh makan babi dan minum minuman keras.
Di hadapan tamu-tamunya ia minum bir dua kali lebih banyak dari sang tamu. Satu kali untuk dirinya sendiri, kali kedua untuk mewakili saya.
Kali ini John-lah yang membuat saya minum bir.
“Anda boleh minum ini,” kata John tiba-tiba, sambil menyodorkan botol bir dengan merk terkenal: Budweiser. Nomor satu atau dua di Amerika.
“Anda bercanda,” jawab saya.
“Tidak bercanda. Lihat keterangannya,” tambahnya.
Saya pun membaca dengan teliti keterangan di botol bir itu: zero alcohol.
“Hah? Bir tanpa alkohol?”
“Benar. Saya beli ini khusus untuk menyambut kedatangan Anda,” ujar John.
“Sejak kapan ada bir tanpa alkohol”.
“Sudah dua tahun ini”.
“Hanya Budweiser yang memproduksi bir tanpa alkohol?”
“Beberapa merk lain ikut-ikutan”.
Beberapa hari kemudian ketika John ke supermarket, saya ikut. Saya ingin tahu apakah benar-benar bir tanpa alkohol dijual di supermarket.
Saya pun dibawa ke rak yang memajang bir. Benar. Bir tanpa alkohol dijual di situ. Juga beberapa bir serupa merk lain. Lalu kami membeli beberapa botol untuk menjamu kedatangan Janet dan suami.
“Jangan bilang dulu kalau ini bir tanpa alkohol. Saya ingin tahu apakah ia merasa aneh dengan cita rasa bir ini,” pinta saya.
John setuju. Pun Chris, isteri John.
Saat minum bir itu suami Janet tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.
“Birnya enak?”
“Enak”.
“Tidak ada yang aneh?”
“Tidak”.
Lalu saya menuangkan bir ke gelas saya. Ia kaget. Tumben, minum bir.
Setelah itu barulah John membongkar apa yang sedang kami rahasiakan. Prank yang berhasil. Ia pun heran: ada bir tanpa alkohol.
Saya bercerita: di Indonesia juga pernah ada bir dengan kandungan alkohol hanya 2 persen.
Anda masih ingat namanya: saya lupa. Waktu itu jadi pembicaraan umum. Terutama di dunia marketing. Bir dua persen itu jadi bahasan seminar-seminar marketing.
Akhirnya kita semua tahu: produk itu gagal di pasar. Bagi yang mengharamkan bir, kandungan alkohol dua persen pun tetap saja alkohol.
Di Amerika, Anda sudah tahu, hampir tidak ada orang yang punya sopir. Padahal kebiasaan minum bir sudah begitu mengakarnya. Peraturan pun keras: orang yang baru saja minum minuman beralkohol tidak boleh mengemudi mobil.
Itu juga alasan utama kenapa perlu diproduksi bir tanpa alkohol. Agar setelah minum bir masih bisa mengendarai mobil.
“Iklan bir tanpa alkohol ini sangat gencar. Iklan itu selalu menonjolkan kegembiraan minum bir dilanjutkan dengan kegembiraan mengemudi,” ujar John.
Saya pun akhirnya tahu seperti apa rasa bir: tidak menarik. Enakan air putih.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia