Oleh Dahlan Iskan
KELOMPOK pertama: mereka yang dipaksa. Kelompok kedua: mereka yang masih menghitung untung rugi. Kelompok ketiga: mereka yang belum mengerti.
Itulah pengelompokan dunia usaha ketika ditanya apakah sudah melakukan pengurangan emisi karbon di perusahaan masing-masing.
Kemarin saya diundang untuk membahas pengurangan emisi karbon di program Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Yang memimpin diskusi Dewi Rizki dari WWF.
Para pengusaha diwakili Kadin dan Apindo. Dihadirkan juga Polda dan Kajati Jatim. Lalu eksekutif dari PLN.
Dari forum itu diketahui bahwa ternyata peran perusahaan swasta masih sangat kecil. Yang sudah melaksanakan barulah mereka yang dipaksa. Yang mampu memaksa mereka adalah partner mereka sendiri di negara maju.
Misalnya Nike dan Adidas. Mereka mewajibkan pabrik sepatu partner mereka di Indonesia untuk terus mengurangi emisi karbon. Kalau tidak, hubungan bisnis diputus. Pengusaha Indonesia takut. Terpaksa masuk ke program green.
Salah satu yang mereka lakukan adalah memasang solar cell di pabrik mereka. Itu berakibat kenaikan biaya produksi.
Cara lain: minta ke PLN untuk mendapat kiriman listrik dari pembangkit green. Misalnya dari pembangkit listrik panas bumi (geotermal).
PLN kini melayani permintaan listrik hijau seperti itu. Dengan tarif yang lebih tinggi. Anda pun bisa minta jenis listrik seperti itu ke PLN. Untuk rumah Anda. Siapa tahu Anda juga semakin peduli pada green energi.
Sudah lama saya tidak ke Unair. Gedung pasca sarjananya ternyata baru. Klasik. Bergaya arsitektur abad 16. Warna putih. Ruang-ruang kelasnya sangat masa kini.
Boleh dikata gedung pasca sarjana ini menjadi ikon baru di kampus B Unair. Yakni yang di selatan RSUD Dr Sutomo.
Kampus A-nya, Anda sudah tahu: khusus untuk fakultas kedokteran. Di sebelah utara RSUD Dr Sutomo.
Rektor Unair sendiri berkantor di Kampus C: lebih ke timur. Lebih luas. Lebih besar.
Saya lihat Kampus C ini terus ditata. Dibenahi. Kian indah. Kian hijau. Rasanya wajah Unair sekarang ini adalah yang paling indah dalam sejarahnya.
Unair juga terus memperbaiki rankingnya. Tiap tahun naik. “Tahun 2019 masih di urutan 750-800 dunia. Tahun ini di urutan 345,” ujar Prof Dr Suparto Wijoyo. “Tahun depan 308,” tambahnya.
Prof Suparto adalah wakil direktur 3 pasca sarjana. Ia yang jadi salah satu pembicara di acara kemarin.
Pasca sarjana Unair juga baru saja membuka program doktor untuk ilmu ‘Hukum dan Pembangunan’. “Ini prodi satu-satunya di Indonesia,” ujar Prof Suparto.
“Kami ingin memadukan hukum dengan kepentingan pembangunan secara seimbang. Perspektifnya bukan ilmu hukum tetapi dinamika hukum dalam pembangunan,” tambahnya.
Program itu baru dibuka tahun lalu. “Peminatnya membludak. Sampai sebagian harus masuk tahun berikutnya,” kata Prof Suparto yang memang orang hukum.
Salah satu mahasiswanya adalah Kapolda Jatim yang sekarang Irjen Pol Drs. Imam Sugianto, M.Si..
Di samping itu pasca sarjana Unair juga punya S-2 jurusan kajian ilmu kepolisian. Sejak tahun 2012. Di Indonesia baru UI dan Unair yang membuka kajian ilmu kepolisian. Banyak polisi jadi mahasiswanya.
“S-1 semua jurusan bisa diterima di S-2 kajian ilmu kepolisian,” katanya.
Saya sendiri memperkirakan green energi baru akan disukai tiga tahun lagi. Atau lima. Yakni ketika harga baterai sudah turun lagi 30 persen dari harga sekarang.
Harga baterai sekarang pun sebenarnya sudah 50 persen lebih murah dari tujuh tahun lalu. Tapi perlu turun sedikit lagi untuk bisa membuat green energi berkembang tanpa paksaan.
Tiga atau lima tahun lagi Anda pun tidak perlu dipaksa. Pakai solar cell sudah lebih menguntungkan. Siang hari panel surya menghasilkan listrik. Listriknya disimpan di baterai. Malam hari rumah Anda dilistriki oleh baterai.
Kalau kebetulan siang harinya turun hujan sepanjang hari toh Anda tidak perlu menyalakan AC di rumah.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia