Menjaga Moment Kondusif PWI Pusat

Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun dan Ketua Dewan Kehormatan Sasongko Tedjo. (Foto: Humas PWI Pusat)

Catatan Wina Armada Sukardi

ALHAMDULILLAH, puji syukur, akhirnya problem pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan (DK) telah dapat diterima dan dilaksanakan oleh Pengurus Pusat cq Ketua Umum PWI Pusat. Seluruh isi Keputusan Dewan Kehormatan diterima dan dilaksanakan oleh Pengurus Pusat PWI.

Artinya, Ketua Umum pun menerima sanksi teguran keras dari Dewan Kehormatan. Itu akan menjadi modalnya ke depan untuk selalu berhati-hating supaya kejadian sama tidak terulang. Bukan hanya Ketua Umum, tapi semua pihak harus berhati-hating mengelola kekuasaan, menjaga amanah.

Dengan semua modal itulah problem  yang telah menguras energi, batin, dan persatuan serta kesatuan PWI, selesai sudah. The cases is closed.

Sebelumnya, para pihak terlihat begitu gigih, kukuh  dan  mungkin juga kerap “keras kepala”  dalam mempertahankan argumentansi masing-masing. Jika kasus ini tidak segera diselesaikan, boleh jadi PWI bakal saling pecat.

Lebih jauh lagi, mungkin saja terjadi perpecahan. Para pihak sudah siap dengan para pendukungnya masing-masing. Itulah sebabnya kita patut mengucapkan kata Alhamdulillah,  puji syukur, kasus ini dapat diselesaikan.

Dari kasus dan problem ini, kita dapat menarik beberapa benang merah, sebagai berikut:

1. Penyelesaian terjadi karena para pihak yang bersilang sengketa memiliki willingness atau niat  baik untuk menuntaskan problem dengan sikap dewasa yang lebih mementingkan masa depan PWI dan dengan cara yang solutif atau memecahkan masalah. Bukan membuat, apalagi menambah masalah.

Lebih hebat lagi, para pihak pemangku kepentingan yang tidak ikut terlibat langsung dalam pertikaian juga memberikan perhatian dan ikut aktif memberikan berbagai pertimbangan. Dengan begitu, unsur partisipasi menjadi tinggi dan membuat problem menjadi problem bersama. Bukan individual, tapi problem organisasi. Tanpa  unsur partisipasi dari para pemangku kepentingan internal PWI, kasus ini akan berkepanjangan dan bertele-tele.

2. Penyelesaian kasus ini juga dapat terjadi lantaran para pihak masih memiliki kesadaran untuk saling berkomunikasi. Saling berjumpa. Tidak memutus silahturahmi. Ini salah satu modal dasar yang besar. Sudah bukan rahasia umum lagi, sebelum-sebelumnya persoalan komunikasi dan silahturahmi sering menjadi problem mendasar di kepengurusan PWI. Ada ketua umum yang tidak mau bertegur sapa dengan sekjennya.

Ada ketua unum yang “memusuhi” Ketua Dewan Kehormatan, bahkan ada ketua umum yang tidak mau berbicara dengan ketua Dewan Kehormatan. Ada pula ketua umum yang tidak pernah memperbolehkan sekjen melaksanakan tugas apapun. Ada ketua Dewan Kehormatan yang tidak memuat keputusan apapun, dan seterusnya dan seterusnya.

Kini semua pihak memiliki kesadaran bahwa  komunukasi merupakan hal penting. Betapa pun ada perbedaan, tetap perlu komunikasi. Perlu silahturahmi. Sekali pertemuan, tidak selesai. Tak apa. Lanjutkan lagi. Dua kali bertemu belum ada tanda-tanda ada solusi pun tak apa.

Dapat dilakukan komunikasi sampai ada titik temu. Seterusnya sampai suatu saat komunikasi dan silahturahmi bakal membuahkan hasil. Dan itulah yang terjadi pada kasus ini. Lantaran semua pihak masih mau berkomunikasi, bersilahturahmi, penyelesaian dapat terjadi.

3. Dari kasus ini kita juga dapat pelajaran, posisi ketua umum PWI merupakan jabatan yang penting. Ketua umum PWI adalah pemegang jabatan eksekutif tertinggi. Pengaruhnya luas. Gerak geriknya menjadi sorotan. Dalam hal ini ketua umum tak sekedar diminta menjalankan kewenangannya, tapi juga perlu memperhatikan berbagai pendapat dan suasana kebatinan para pemangku kepentingan lainnya.

Tidak bisa jalan sendiri atau hanya dengan kelompoknya. Pasti hasilnya akan lebih parah karena hanya menyenanfkan segelintir orang dikelompoknya. Tidak boleh bersikap pokoknya  “ini wewenang gue,” tapi juga harus bijaksana dalam mengambil keputusan.

Begitu juga dalam mencari dan menempatkan personal perlu arif bijaksana. Tidak hanya menempatkan orang asal bapak senang, sedangkan yang bersikap kritis disingkirkan. Hanya sikap  dewasa, arif bijaksana  begitu organisasi dapat berjalan dengan mulus.

4. ⁠Ketua Dewan Kehormatan terbukti merupakan jabatan dengan amanah yang sangat berat. Jika sebelumnya hanya memutuskan soal Kode Etik Jurnalistik saja, sekarang cakupan tugasnya diperluas dengan menjaga dan menegakkan “kode perilaku wartawan.”

Menjaga tingkat laku wartawan. Tak ada satupun perorangan dan lembaga di luar Dewan Kehormatan PWI yang dapat menjatuhkan keputusan anggota PWI melanggar atau tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan PWI.

Tidak polisi. Tidak juga advokat atau pengacara. Bahkan tidak juga hakim pengadilan. Orotitas itu hanya ada pada Dewan Kehormatan. Apalagi keputusan Dewan Kehormatan dapat disebut “absolut” karena final dan mengikat.Tak ada banding. Tak ada yang dapat membantah, bahkan ketika tidak tepat sekalipun.

Dengan demikian, ketua Dewan Kehormatan diberi amanah menjaga “harkat dan martabat” organisasi. Itulah sebabnya tanggung jawab ketua Dewan Kehormatan luar biasa besar.

Pengalaman menunjukkan mereka yang terkena tindakan berdasarkan Kode Perilaku  Wartawan cenderung menampik eksistensi  Kode Perilaku Wartawan. Pada priode lalu bahkan keabsahan Kode Perilaku  sempat dipersoalkan. Ada yang menilai tidak berlaku. Alasannya  tidak pernah disahkan di kongres PWI sebelumnya (di Solo). Tentu itu karena tidak suka terkena tindakan Kode Perilaku.

Di kongres Bandung bahkan ada yang mengusulkan agar Kode Perilaku Wartawan tak perlu ada lagi. Itu menunjukan tanda frustasi mereka yang terkena Kode Perilaku.

Ketua Dewan Kehormatan harus  mampu mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut. Objek keputusan Dewan Kehornatan dapat saja kawan dekat dan petinggi PWI sehingga boleh jadi menimbulkan rasa tidak enak hati, ewuh kawekuh. Tak hanya itu. Bukan tak mungkin pula yang dilaporkan adalah anggota dan ketua Dewan Kehornatan sendiri.

Semua perangkat aturan PWI berlaku bagi semua anggota PWI baik yang junior, sudah senior, termasuk yang sedang menjabat menjadi pengurus PWI. Tak ada pengecualian.

Oleh sebab  itu, Keputusan Dewan Kehormatan selain untuk menegakkan aturan, melalui peutusan yang memiliki unsur kepastian dan keadilan, keputusan Dewan Kehormatan pun harus mengandung kemanfaatan bagi organisasi. Jadi gak boleh serampangan.

Seorang Ketua Dewan Kehormatan harus punya leadership, integritas dan keberanian mengambil keputusan yang diyakininya terbaik dan bermanfaat buat organisasi. Mungkin dia ditentang dari luar  atau anggota sendiri. Tanpa achievement ketua Dewan Kehormatan yang kuat, mustahil Dewan Kehormatan dapat diberdayakan.

5. Organisasi PWI terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Hal-hal yang dulu belum begitu muncul kepermukaan, kini bisa saja sudah jadi masalah. Pemanggil terlapor di Dewan Kehormatan detailnya harus bagaimana sudah harus diatur.

Pelaksanaan SOP ke keputusan Dewan Kehormatan ke depan, dapat saja ada yang mempersoalkan. Begitu juga di kepengurusan, perlu ditegaskan mana yang menjadi wewenang ketua umun, mana yang masih wewenang bawaan dari kongres dan sebagainya. Ke depan hal-hal semacam ini perlu diatur lebih detail.

6. Ada yang tanya, apa peranan saya dalam menyelesaikan sengketa kasus ini? Sejujurnya,  semata-mata karena kebesaran Tuhan saja. Saya diinspirasikan mempertemukan  Ketua umum dan ketua Dewan Kehormatan jelang dealine keputusan Dewan Kehormatan. Saya cuma menegaskan kepentingan PWI perlu diletakkan di atas kepentingan perorangan.

Lalu saya minta keduanya melupakan peristiwa lalu, dan mulai melihat ke depan saja dengan cara yang solutif. Kalau masih melihat ke belakang, kata saya, pasti masalah tak selesai. Pasti terus terjadi silang sengketa tanpa ujung.

Jadi, harus berlapang dada “membunuh” silang sengekta soal masa lalu. Lalu, ayo, kita  membahas ke depan. Itu pun dengan visi problem solving, bukan make problem. Ketua umum dan Ketua Dewan Kehormatan setuju. Done. Terjadilah penyelesaian. Itu saja. Sesederhana itu.

Tabik!*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia