Oleh Dahlan Iskan
WAKTU itu saya kurang yakin apakah Ari bisa bertahan lama: Saya sudah meninjau proyeknya. Jauh di pelosok desa Wajak. Luar kota Malang. Sudah lebih dua tahun berlalu sejak kunjungan itu.
Saya tahu ia kecewa. Saya tidak pernah menulis tentang kunjungan itu. Saya juga tidak memberi alasan mengapa tidak menuliskannya segera. Saya sedikit mengujinya: apakah keikhlasannya berbuat baik memang tulus.
Namanya: Arif Camra. Ia pengusaha kecil yang lagi sulit. Usaha percetakannya bangkrut. Ia memang dekat dengan urusan cetak-mencetak. Arif lulusan Akademi Wartawan Surabaya, AWS. Sering ke percetakan yang saya pimpin. Lalu mendirikan percetakan sendiri.
Ia mencetak buku nikah. Banyak sekali. Untuk satu kabupaten Jember, Jatim. Material bahan bakunya lebih mahal daripada kertas biasa.
Pemesan buku nikah itu tidak mau membayar. Penyebabnya sebenarnya sepele. Bila Arif pengusaha biasa, pasti bisa melakukannya. Arif tidak mau. Ia diminta menuliskan kuitansi dengan nilai jauh lebih tinggi dari ongkos cetak sebenarnya.
Arif tidak mau praktik bisnis seperti itu. Ia takut bermasalah. Termasuk bermasalah dengan Tuhan. Ia tidak mengira kalau akibatnya sampai membangkrutkan perusahaannya.
Awalnya tidak terasa. Toh masih ada uang. Dana pinjaman dari bank sebesar Rp 1 miliar membuat gagal tagih itu tidak membahayakan kasnya.
Kian hari kian berat. Apalagi ketika bunga dan cicilan jatuh tempo. Akhirnya ia gagal bayar utang bank.
Dari pada disita Arif pilih menjual alat produksinya. Mesin-mesin cetak yang buatan Jerman ia jual. Ia sisakan mesin cetak lama nan kecil. Tidak cukup. Ia jual tanah. Tersisa rumah yang ia tempati. Urusan dengan bank pun beres.
Umurnya 36 tahun. Enam tahun lalu.
Setelah itu ia merenung. Ia melakukan kontemplasi. Ia mencari tahu ke dalam dirinya sendiri: mengapa bisa bangkrut, apa yang salah. Ia merasa tidak berbuat salah apa pun. Tidak mungkin, kata hatinya. Pasti punya kesalahan.
Akhirnya ia menemukan yang ia sebut “kesalahan” itu. Ia tidak pernah menyantuni orang miskin. Juga tidak pernah mengurus anak yatim.
Maka Arif mencari teman yang mau diajak mengurus orang miskin dan yatim miskin. Ia dirikan Komunitas Sahabat Yatim Dhuafa Indonesia. Tergabunglah 1.200 anak muda yang ikut jadi relawan.
Salah satu relawan di desa Wajak, Mufi, menemukan orang tua di pinggir kali. Tergeletak. Lemah. Basah kuyub. Baru saja kena hujan deras.
Mufi seorang bidan desa. Dia mengkhawatirkan wanita tua itu akan terguling ke sungai lalu hanyut. Mufi menolongnyi. Itulah orang miskin pertama yang diurus komunitas Arif. Namanyi: Misenan. Tidak punya rumah. Tidak punya keluarga.
Dari sinilah ceritanya mengapa Arif membangun Griya Lansia di Wajak. Mufi yang mencari tanahnya.
Dari urunan relawan terkumpul uang untuk membeli sebidang tanah di desa itu. Tanahnya murah sekali. Tidak ada orang yang mau menggarap tegalan itu. Lokasinya dipercaya sebagai tanah berhantu: 14 x 100 meter.
Dibangunlah bedeng dari triplek di salah satu pojoknya. Mbah Misenan dirawat di rumah bedeng itu. Diberi makan. Diurus kesehatannyi.
Dana terus dikumpulkan: untuk membangunnya. Saat saya ke sana lebih dua tahun lalu sudah berdiri kamar-kamar seperti hotel melati. Berhadapan. Di tengahnya, memanjang, dibangun taman.
Waktu itu tanamannya masih kecil. Belum terasa rindang. Tapi sudah terlihat ke depannya akan menjadi tempat yang nyaman bagi orang tua telantar.
Kemarin saya bertemu Arif lagi. Masih sama: bajunya masih agak lusuh. Penampilannya juga masih klemak-klemek. Bagi orang yang suka melihat penampilan lahiriyah, Arif bukan sosok yang terlihat bonafid.
Arif pun bercerita: tanah di Wajak kini sudah menjadi 60 x 100 meter. Penghuni Griya Lansia-nya sudah 146. Ada yang masih punya keluarga, tapi tidak ada di antara mereka yang mau mengurus.
Bahkan ada keluarga yang mengantarkan orang tua ke Wajak dengan pesan khusus: kalau kelak meninggal dunia tidak usah kirim kabar. Langsung dimakamkan saja di Wajak.
Ada juga anak yang mengantarkan orang tua dengan sisa dendam masa nan lama: ibunyi itu, dulu, tidak mau mengurusnyi, saat dia masih bayi. Lalu jadi bayi telantar.
Akhirnya Arif harus membeli tanah untuk kuburan. Tidak semua yang meninggal di situ bisa diterima pemakaman desa terdekat.
Kini juga sudah dibangun aula di Griya Lansia Wajak: Aula Misenan –diambil dari nama orang yang ditemukan di pinggir sungai. Misenan sendiri sudah meninggal dunia –kemarin tepat 1000 harinyi.
Di balik penampilan fisiknya yang kalem, Arif ternyata teguh pada niat dan misi. Kemarin ia meletakkan batu pertama pembangunan Villa Doa Anak Yatim di Sidoarjo.
Kini komunitas itu sudah merawat 80 anak yatim –khusus yatim yang miskin. Sekarang mereka masih ditampung di rumah sementara –menunggu Villa Doa Anak Yatim selesai dibangun.
Arif juga sudah membangun Griya ODGJ –isinya 42 orang tua yang Anda sudah tahu sedang kekurangan apa.
Ada lagi griya khusus untuk merawat bayi telantar dan terbuang. Termasuk yang lahir dari hubungan yang tidak diinginkan. Sudah tujuh bayi mereka rawat.
Arif menjadi sangat sibuk di pelayanan ini. Percetakannya tidak lagi diurus. Tetap berjalan tapi sangat kecil.
Ia sendiri seperti tidak ada lagi minat menjadi kaya. Hidupnya habis untuk melayani. Saya melihat ia sudah menjadi orang yang kaya dalam arti sebenar-benarnya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia