Tangis Seorang Atheis Melihat Burung Terbang di Udara

Ribuan burung terbang menari-nari di udara. (Foto: Net)

Oleh Akmal Nasery Basral

1/
Pintu hikmah tak pernah dikunci mati Tuhan bagi hambaNya. Jika satu pintu tertutup, pasti selalu ada pintu lain yang terbuka. Itu saya alami Sabtu lalu (13/7/2024). Di tengah urusan menemani anak bungsu yang lulus jalur SNBT Universitas Udayana, Bali, suasana akhir pekan membuat kami menyempatkan mengunjungi Water Blow, Nusa Dua yang berjarak sekitar 20 menit berkendara dari Kampus Unud Bukit Jimbaran.

Menurut informasi di internet, bulan Juli adalah momen terbaik melihat terjangan ombak besar—bisa setinggi 4 meter—menghantam hamparan batuan karang yang menghasilkan panorama mengagumkan. Sebelum dikelola sebagai obyek wisata, wilayah ini enggan dikunjungi warga lokal karena terjangan ombak seperti lidah-lidah monster yang melahap setiap manusia di depannya tanpa ampun. Korban jiwa terus berjatuhan. Tetapi dengan manajemen modern, daerah angker dan berbahaya berhasil disulap menjadi pesona wisata.

Namun setelah menunggu beberapa saat, saya dan pengunjung manca negara lainnya yang menunggu kedatangan ombak tinggi mengecup mesra hamparan karang, hanya bisa berharap saja. Tak ada ombak raksasa menampakkan diri selain serombongan kura-kura laut eksodus di lautan lepas. Satu pintu keberuntungan tertutup.

Saya menoleh ke arah berlawanan, ke arah pantai pasir putih tempat hotel bintang lima berjajar. Hamparan luas padang karang runcing-tajam mendominasi latar depan. Di atasnya sekumpulan burung terbang, bercengkerama, bercuit riang. Mereka melayang turun dengan gemulai dan cekatan di antara jebakan perangkap mata karang, mencari makan, rezeki yang disiapkan Tuhan. Tak ada burung yang terluka atau mendadak terjatuh dan tubuh mereka menancap di ujung karang.

Saya terkesima: sebuah pintu hikmah terbuka lebar! Pintu yang mengantarkan pikiran saya kembali mengingat pembicaraan dengan seorang figur publik, dua pekan sebelum saya tiba di Water Blow.

2/
Figur publik ini seorang pengusaha sukses. Bisnisnya aneka ragam di bermacam lini usaha. Asetnya triliunan rupiah. Tetapi kami tidak berbincang tentang harta dan kekayaannya. Dia sedang bicara tentang masa mudanya, saat menjadi mahasiswa Universitas Indonesia.

“Saat itu saya kuliah naik kereta api, turun di Stasiun UI. Dari stasiun saya jalan kaki ke kampus saya. Sore yang tenang dan terasa lengang. Tiba-tiba saya melihat kerumunan burung terbang. Kepak sayap mereka membuat saya terpana sesaat sebelum menangis. Air mata meleleh begitu saja tanpa bisa saya tahan dan saya juga tak tahu penyebab persisnya selain rasa haru yang melimpah ruah di hati saya,” ungkapnya.

“Padahal saat itu saya ateis. Bayangkan! Seorang anak muda yang tidak percaya Tuhan malah menangis melihat burung-burung terbang di udara, entah apa sebabnya.”

Obrolan bergulir pada bermacam topik lain yang bertaut dengan dunia mahasiswa, forum diskusi, buku-buku yang menginspirasi, dan lainnya. Saya hanya mendengarkan dengan takzim, sampai figur publik ini selesai bicara. Setelah itu baru saya berkomentar, “Mudah-mudahan saya tahu penyebab mengapa Anda menangis melihat burung-burung terbang di udara?”

Bola matanya berbinar. Penasaran. “Apa penyebabnya?”

“Coba baca terjemahan Surat Al Mulk ayat 19,” jawab saya. “Baca Bahasa Indonesianya saja.”

Asisten pribadi sang figur publik yang duduk tak jauh dari kami dengan cekatan mencari ayat yang saya sebut di ponselnya dan menyerahkan kepada atasannya. “Apa isinya?” tanya sang pengusaha kepada saya.

“Sebaiknya dibaca sendiri karena akan menghasilkan pengalaman batin berbeda,” jawab saya.

Maka dia mulai membaca terjemahan ayat itu dengan tenang: Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya di udara selain Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS 67: 19)

Sang figur publik mengembalikan ponsel sang asisten dan berkata kepada saya, “Luar biasa. Saya tidak pernah tahu ayat ini sebelumnya,” katanya.

“Mungkin saja Anda belum pernah membaca ayat tertulisnya seperti barusan,” saya merespon. “Tetapi ayat-ayat Tuhan bukan hanya yang tersurat pada kitab suci, melainkan juga yang terhampar di alam semesta. Dalam Bahasa Arab, kata “ayat” juga berarti “tanda”. Jadi pada saat Anda menangis melihat burung terbang di udara, sesungguhnya saat itu jiwa Anda yang sedang ‘membaca’ ayat-ayat-Nya. Terjadi resonansi akibat kesamaan frekuensi ilahiah antara makro kosmos yang berada di luar badan Anda, dengan mikro kosmos yang ada di dalam tubuh Anda.”

“Penjelasan menarik,” tukasnya. “Jadi seorang ateis pun bisa merasakan keagungan Tuhan meskipun menolak mengakui eksistensi-Nya?”

“Yang menolak mengakui eksistensi Tuhan adalah pikiran Anda saat itu,” ujar saya. “Tetapi jiwa Anda tak melakukan penolakan itu sama sekali. Buktinya, Anda menangis melihat burung-burung terbang di udara. Itu artinya, jiwa Anda mengakui dan menerima keagungan Tuhan dalam menjaga keteraturan  dan keseimbangan alam semesta. Jiwa Anda takjub bahwa semua benda yang harusnya jatuh ke bumi karena hukum gravitasi, ternyata tak berlaku pada burung-burung yang bisa terbang dengan aman sampai tujuan mereka masing-masing.”

Sang figur publik menganggukkan kepala. “Saya memang pernah ateis, tapi dulu di masa muda,” katanya. “Sekarang tidak lagi.”

3/
Menikung sedikit dari cerita sang figur publik di atas, burung sudah sejak lama merupakan gerbang ilmu pengetahuan menuju samudera hikmah bagi manusia. Misalnya merpati sebagai lambang perdamaian atau burung hantu sebagai simbol keluasan pengetahuan dan wawasan.

Sastrawan Persia Fariduddin Attar dalam karya alegoris Mantiq-ut-Thayr (Inggris: The Conference of The Birds, Indonesia: Musyawarah Burung) yang ditulis selama tiga tahun (1184-1187), menggambarkan adanya sosok burung mistis Simurgh yang merupakan raja para burung, sebagai perlambang perjalanan batin dan spiritualisme kalangan sufi dalam mencari pencerahan.

Simurgh kerap disepadankan dengan feniks (phoenix) dalam literasi spiritualisme Barat atau burung hong (feng huang) dalam tradisi batiniah Tiongkok Kuno.

Tiga nama berbeda untuk satu jenis burung (mitologi) yang sama ini sering digunakan sebagai fabel bagi ajaran moral untuk proses kepunahan sekaligus kebangkitan manusia, baik dalam konteks individual maupun sebagai spesies ras makhluk paling sempurna di muka bumi. Sebuah perkembangan evolutif dari sebuah keniscayaan kehidupan.

Namun tak semua burung menjadi simbol kebajikan, pengetahuan, atau kebangkitan. Ada juga burung yang diasosiasikan dengan sikap-sikap negatif seperti beo yang gemar meniru suara apapun yang dia dengar, meski tidak tahu apa makna dari suara atau bunyi yang ditirunya itu.

Manusia tipe beo adalah mereka yang begitu saja menyebarluaskan setiap informasi yang mereka dengar tanpa merasa perlu melakukan verifikasi dan validasi. Manusia tipe beo adalah mereka yang gemar mengambil kesimpulan spontan dari data-data seadanya, tanpa merasa perlu mendalami konteks dari kepingan data dan serpihan informasi. Kesimpulan sesaat yang dihasilkan dimutlakkan bak aksioma.

Akibatnya, manusia tipe beo senang memberikan “cap jidat” dan sebutan-sebutan tendensius kepada orang lain.

Padahal, dalam khasanah keislaman, Nabi Muhammad ﷺ bersabda dalam sebuah hadits shahih, “Sudah cukup seseorang dikatakan berdusta jika dia menceritakan segala apa yang dia dengar.” (HR Imam Muslim No. 5).

Satu contoh terakhir, dari sekian banyak karakter dan sifat burung sebagai majas bagi manusia adalah burung kedasih yang dijuluki “burung licik”.

Kedasih adalah tipe perebut dan perampas wilayah. Mereka tak mengandalkan sarang sendiri melainkan sarang burung lain seperti prenjak, sebagai tempat berkembang biak dan menunjukkan dominasi.

Induk kedasih akan menempatkan telur-telur mereka di sarang burung prenjak sampai menetas. Sementara itu, mereka selalu mencari kesempatan untuk membuang telur burung prenjak yang ada, yang sebenarnya merupakan pewaris asli dan sah sarang mereka.

Strategi kelicikan kedasih ini, ternyata  juga ditemukan dalam sikap manusia.

Ada orang-orang yang tak pernah mau bersusah payah membangun dan mengembangkan komunitas, baik offline maupun online, namun begitu mereka berada di dalam “sarang burung lain”, mereka akan membajak sarang itu tanpa rasa bersalah dan berlagak sebagai pemilik sah sarang itu.

Ditambah dengan suara mereka yang vokal (nyaring dan kencang, seperti tawa bertalu-talu seorang perempuan), maka kedasih pun kerap dianggap sebagai “burung kematian”. Di mana ada kedasih, suasana berubah menjadi tidak nyaman.

Pun begitu pada manusia-manusia tipe kedasih yang punya keberanian merebut dan menguasai ‘sarang burung lain’ tanpa mau bersusah payah membangun dan merawat sarang sendiri, menyusun ranting demi ranting yang melelahkan.

4/
Dari tepian hamparan karang Water Blow, Nusa Dua, yang kelam dan mengancam, kawanan burung di tempat itu—konon jumlahnya lebih dari 40 spesies dengan 6 spesies termasuk kategori langka dan dilindungi—pengunjung tak cuma memetik kuntum-kuntum hikmah dari ombak yang terus bergerak atau ketabahan karang dalam keikhlasan diam, melainkan juga dari kawanan burung yang bersliweran: agar manusia jangan menjadi beo nyinyir tak keruan, atau  kedasih yang licik tak ketulungan, perebut lahan dan wilayah yang dibangun orang lain, tapi kemudian dikangkangi bak milik sendiri.

Cibubur, 17 Juli 2024.

Penulis adalah Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional