Oleh Dahlan Iskan
PENDIDIKAN membuat orang tahu. Pengalaman membuat orang berbuat.
Contohnya Jakarta. Anda sudah tahu: polusi di Jakarta termasuk paling parah di dunia.
Anda juga sudah tahu penyebabnya: knalpot. Yang di bawah mobil maupun motor Anda. Bukan knalpot yang di bawah perut perusuh Disway.
Setelah tahu semua itu, siapakah yang harus berbuat untuk mengatasinya? Apakah akan berhenti di sebatas sudah tahu? Lalu tidak perlu tergerak untuk berbuat mengatasinya?
Anda secara pribadi pasti tidak mau berbuat apa-apa. Penyebabnya: Anda punya kepentingan pribadi untuk pilih tidak berbuat.
Anda mau dan ingin serba cepat. Juga mau hidup lebih nyaman. Tidak mau jalan kaki. Tidak mau naik kendaraan umum.
Tersedia banyak alasan –tinggal pilih alasan yang mana. Panas. Rumah jauh. Tidak mau kehujanan. Tidak mau berdesakan. Masih ada seribu alasan lainnya.
Sebenarnya ada alasan yang membuat Anda tergerak untuk ikut berbuat: polusi itu akan (atau telah?) mengancam paru-paru Anda. Tapi siapa yang peduli paru-paru? Toh tidak ada kematian mendadak akibat gangguan paru-paru.
Maka tinggal satu yang harus berbuat: pemerintah. Pemerintah yang mana? DKI Jakarta? –mungkin ini kesempatan terakhir saya pakai kata ‘DKI Jakarta’. Bulan depan sudah tidak ada lagi kata DKI.
Tidak mungkin. Gubernur Jakarta takut melakukan perbuatan untuk menyetop polusi. Siapa pun gubernurnya –kecuali kita bisa menghidupkan kembali Ali Sadikin.
Sepanjang gubernur masih dipilih rakyat, pasti takut tidak terpilih lagi. Perbuatan menyetop polusi Jakarta akan ditentang siapa pun –karena banyaknya kepentingan pribadi di atas.
Tidak realistis mengharap gubernur Jakarta berbuat mengatasi polusi.
Maka tinggal pemerintah pusat yang harus melakukannya. Memang seorang presiden juga takut tidak terpilih. Tapi kalah Pilpres di Jakarta masih bisa terpilih sebagai presiden Indonesia.
”Kejadian luar biasa harus ditangani dengan cara luar biasa”.
Polusi di Jakarta adalah kejadian ”luar biasa, tingkat dunia”. Maka langkah biasa-biasa saja tidak mungkin bisa mengatasinya.
Presiden terpilih Prabowo Subianto mungkin juga tidak bisa. Atau tidak mau. Terutama kalau masih berharap ingin jadi presiden dua periode.
Kalau pun Prabowo hanya ingin satu periode, wakilnya tentu ingin naik kelas.
Maka kita masih berharap kepada presiden yang sekarang. Di masa injury time ini Presiden Jokowi bisa berbuat luar biasa untuk kejadian luar biasa di Jakarta.
Katakanlah ini perbuatan terakhir untuk Jakarta sebelum ia tinggalkan ke IKN.
Anda sudah tahu: Presiden Jokowi masih bekerja dengan kecepatan penuh di etape terakhir masa jabatannya. Bahkan seperti meniru para pelari maraton –mempercepat langkah menjelang garis finis.
Toh Presiden Jokowi punya samurai emas: Menko Luhut Pandjaitan –di samping Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
Saya pun ingin Anda juga menyumbang ide untuk Jakarta: apa saja yang harus dilakukan pemerintah pusat untuk mengatasi polusi Jakarta.
Anggap saja ini sumbangan perusuh Disway sebagai kado selamat jalan untuk Jokowi dan selamat jalan gelar DKI Jakarta.
Perusuh Handoko dari Semarang pasti rela menyisihkan waktunya untuk membuat tabulasi ide yang Anda sampaikan lewat komentar di Disway. Lalu dikompilasi. Jadi sebuah daftar. Untuk diserahkan ke Presiden Jokowi –lewat siapa pun.
Pertanyaannya: apa saja yang harus dilakukan pemerintah pusat untuk mengatasi polusi Jakarta yang terparah di dunia.
Please.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia