J5NEWSROOM.COM – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih pada hari Kamis (25/7) dalam kunjungan yang sudah lama ditunggu-tunggu. Ia juga dijadwalkan bertemu dengan kandidat calon presiden dari Partai Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris, pada saat yang menentukan bagi ketiga politisi tersebut.
Kunjungan Netanyahu ke Gedung Putih kali ini adalah yang pertama sejak sebelum Presiden Donald Trump mengkahiri masa jabatannya pada 2021. Kunjungan itu dilangsungkan ketika Biden, Netanyahu dan Harris harus mencari cara mengakhiri perang selama sembilan bulan terakhir di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 39.000 orang. Puluhan sandera Israel juga masih ditahan Hamas.
Pada awal pertemuan tertutup itu, Biden secara singkat menyapa Netanyahu, “Selamat datang kembali, Perdana Menteri [Netanyahu], ada banyak hal yang perlu kita bicarakan dan saya rasa kita harus segera membahasnya.”
Netanyahu sendiri berterima kasih atas persahabatan Biden selama ini, “Saya ingin berterima kasih atas pengabdian masyarakat selama 50 tahun dan dukungan bagi negara Israel selama 50 tahun terakhir yang Anda berikan. Saya tidak sabar untuk berdiskusi dengan Anda hari ini dan mengatasi masalah besar yang kita hadapi selama bulan-bulan ke depan.”
Biden mendesak agar Israel dan Hamas segera menyepakati proposal untuk membebaskan sisa sandera yang masih berada di Gaza melalui tiga fase – sesuatu yang akan menjadi pencapaian yang mengukuhkan warisan politisi berusia 81 tahun itu, yang mundur dari pilpres dan mendukung wapresnya, Kamala Harris. Bila tercapai, kesepakatan itu juga dapat menjadi keuntungan bagi pencapresan Harris.
Pejabat Gedung Putih mengatakan, negosiasi itu sudah pada tahap akhir, meski ada beberapa isu yang masih harus diatasi.
Dalam konferensi pers harian di Gedung Putih saat pertemuan Biden-Netanyahu berlangsung, Penasihat Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengatakan, “Ada banyak agenda dalam pertemuan, tapi utamanya untuk membahas betapa kuat keinginan presiden dan kami agar kesepakatan [pembebasan] sandera ini bisa dicapai sehingga terwujud gencatan senjata untuk setidaknya fase pertama selama enam minggu. Presiden akan meyakinkan Perdana Menteri Netanyahu bahwa ia percaya kita harus mencapainya sesegera mungkin.”
Usai pertemuan itu, Biden dan Netanyahu menemui beberapa keluarga sandera asal Amerika. Netanyahu juga dijadwalkan bertemu dengan mantan Presiden AS Donald Trump, yang juga menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya, pada hari Jumat (26/7).
Sehari sebelumnya, Netanyahu memenuhi undangan Ketua DPR AS Mike Johnson dari Partai Republik untuk menyampaikan pidato di hadapan Kongres AS. Dalam pidato itu, Netanyahu tidak menyinggung proposal gencatan senjata yang didukung oleh pemerintahannya sendiri.
Pengamat Institut Timur Tengah (Middle East Institute atau MEI), Khaled Elgindy, menganggap “aneh” hal itu dalam wawancara dengan Reuters.
“Saya rasa kalau orang menunggu-nunggu kejelasan soal visi pascaperang atau bahkan soal gencatan senjata, mereka akan kecewa, atau sudah dikecewakan pidato ini. Ia sama sekali tidak menyebut gencatan senjata, yang bagaimana pun berulang kali disebut presiden dan pejabat pemerintah AS lainnya sebagai proposal gencatan senjata Israel. Makanya aneh ketika perdana menteri Israel tidak menyinggung apa yang seharusnya menjadi proposal gencatan senjata pemerintahannya sendiri yang kini sudah diadopsi Dewan Keamanan PBB.”
Elgindy menilai, pidato Netanyahu tampak dirancang untuk memenuhi keinginan para politisi Partai Republik. Menurutnya, konflik Israel-Palestina telah menjadi isu yang semakin partisan dalam politik AS. Ia mencatat banyak anggota kongres dari Partai Demokrat yang memilih tidak menghadiri pidato Netanyahu.
Ketidakhadiran yang paling menonjol adalah Wakil Presiden AS Kamala Harris, yang kini menjadi kandidat utama calon presiden AS dari Partai Demokrat. Harris, sebagai wakil presiden sekaligus presiden Senat AS, seharusnya memimpin sesi penyampaian pidato pemimpin asing di hadapan kongres.
Di tengah pemboikotan yang dilakukan puluhan politisi Partai Demokrat dan unjuk rasa pro-Palestina yang dihadiri ribuan demonstran di luar kompleks Kongres AS, Netanyahu menolak kritikan terhadap kampanye militer Israel yang telah menghancurkan wilayah kantong Palestina, Jalur Gaza, serta menewaskan lebih dari 39.000 penduduknya, menurut pejabat kesehatan Gaza.
Netanyahu mengatakan, “Beberapa di antara para pengunjuk rasa membawa poster yang menyatakan kelompok gay mendukung Gaza. Sekalian saja bawa poster berbunyi ayam mendukung KFC. Mereka meneriakkan ‘dari sungai ke laut’. Akan tetapi, banyak dari mereka tidak paham sungai mana dan laut apa yang mereka teriakkan. Bukan saja mendapat nilai F dalam pelajaran geografi, mereka juga dapat F dalam sejarah.”
Elgindy, yang menjabat direktur Program Hubungan Palestina Israel MEI, berpendapat bahwa banyak warga AS yang tidak akan suka pada cara Netanyahu melabeli pengunjuk rasa sebagai “penghasut” bagi Iran.
Sementara itu, sebuah ledakan terjadi di Kota Khan Younis, Gaza selatan, setelah serangan Israel di area itu menewaskan sedikitnya tujuh warga Palestina Kamis (25/7) malam.
Asap membubung usai ledakan terjadi.
Sebelumnya, sebuah serangan mengenai atap sebuah rumah di daerah permukiman di timur Khan Younis, menewaskan tiga orang di dalamnya.
Di daerah permukiman lain, sedikitnya empat orang dari satu keluarga, yang sebelumnya menyelamatkan diri dari Gaza utara, tewas dalam sebuah serangan lain yang mengenai tenda mereka.
Jasad mereka dibawa ke Rumah Sakit Nasser dalam kantong jenazah berwarna biru dan putih.
Sejak perang Israel-Hamas kembali pecah, 39.175 orang meregang nyawa dan 90.403 lainnya terluka di Gaza, menurut kementerian kesehatan setempat, yang tidak membedakan petempur dan warga sipil.
Perang itu kembali pecah setelah militan Hamas menyerang Israel selatan pada 7 Oktober dan menewaskan 1.200 orang, sebagian besarnya warga sipil, dan menculik sekitar 250 sandera.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung