Oleh Dahlan Iskan
MASA bulan madu Kamala Harris ternyata merepotkan tim kampanye Donald Trump.
Kubu Trump telanjur hanya siap menghadapi Capres Joe Biden. Ketika tiba-tiba posisi Biden digantikan Kamala seluruh senjata Trump mendadak tidak bisa dipakai. Tidak relevan lagi.
Dicarikanlah topik baru untuk menyerang Kamala. Tidak segera ketemu. Terutama kata yang tajam dan langsung menjatuhkan Kamala.
Pernah dicoba menggunakan istilah ”wanita kucing” untuk memojokkan Kamala. Yakni karena Kamala tidak pernah merasakan melahirkan. Biasanya wanita demikian lantas memelihara kucing.
Istilah ”wanita kucing” ini justru menambah simpati kepada Kamala. Utamanya dari pemilih wanita. Apalagi Kamala terlihat sangat mencintai anak bawaan suaminyi.
Tidak segera bisa ditemukan kelemahan Kamala yang fatal. Maka Trump maupun cawapresnya seperti coba-coba saja menggunakan kata apa pun untuk menyerang Kamala.
Saya mencoba membuat daftar kata apa saja yang dipakai menyerang Kamala: terrible, horrible, nasty, radikal kiri, terlalu banyak tertawa, penutup rahasia kelemahan Biden, liberal dari California, DEI hire.
Semua bersifat umum. Tidak ada yang menghunjam ke jantung Kamala.
Bahkan julukan ”DEI hire’‘ itu justru menarik simpati golongan kulit hitam yang nyaris beralih ke Trump.
”DEI here’‘ adalah julukan untuk merendahkan orang. Orang itu sebenarnya tidak berkualitas tapi terpaksa direkrut sebagai penggenap.
Misalnya seorang wanita diangkat jadi caleg sebuah partai di Indonesia. Bukan karena prestasi melainkan agar unsur wanita mencapai 25 persen.
Orang Amerika tahu: Kamala jelas bukan wanita penggenap. Ia memang wanita kulit hitam. Ayahnya asal Jamaica hitam. Ibunya dari Chennai, India hitam. Tapi dia jadi orang penting bukan sebagai genap-genap. Dia ikut persaingan bebas sejak tingkat jaksa di tingkat kota. Lalu bersaing bebas untuk menjadi jaksa agung California. Dia jadi jaksa –lalu jadi jaksa agung– bukan karena diangkat atasan. Dia berjuang sendiri lewat prestasi untuk bisa dipilih rakyat. Pun ketika Kamala menjadi anggota DPR: bukan karena dapat rekom partai.
Boleh dikata simpati pada Kamala justru bertambah-tambah. Inilah yang disebut sebagai masa bulan madu. Inilah masa orang masih senang-senangnya pada Kamala. Orang belum sempat melihat sisi-sisi buruk dari Kamala.
Masa bulan madu itu bisa pendek, bisa panjang. Sependek-pendeknya tetap baik bagi Kamala: Pilpresnya tidak lama lagi. Pilpres itu rasanya masih di masa ketika bulan madu belum berakhir.
Apalagi bulan madu itu seperti dapat tambahan siraman madu Sumbawa. Cawapres yang digandeng Kamala, menambah simpati pada pasangan ini. Kamala memilih Timothy James Walz sebagai cawapres. Ia gubernur Minnesota dua periode. Umur 60 tahun. Dari keluarga guru. Juga dari pedesaan pertanian.
Guru, petani, militer suka pada Walz. Walz adalah ketua veteran. Lihatlah pidatonya. Sangat menggiurkan.
Walz sekaligus mengecoh Trump. Ketika Trump memilih JD Vance sebagai cawapres sebenarnya orang ini dipilih untuk menghantam kelemaham Biden yang sudah renta. Sekaligus menutup kelemahan diri Trump sendiri. Vance berumur 40 tahun.
Ternyata yang dihadapi Trump adalah Kamala. Yang baru berumur 59 tahun. Maka Vance seperti tidak relevan lagi.
Vance pun harus cari kelemahan Walz. Ditemukan. Walz pun diberi gelar yang dianggap memalukan: ”Lelaki Tampon”.
Berhasil?
Tidak.
Julukan ”lelaki tampon” ini akhirnya justru berbalik arah: wanita bertambah lagi simpati pada Kamala-Walz. Di balik julukan ”Lelaki Tampon” itu memang ada cerita yang menarik.
Saat Walz menjadi gubernur periode pertama ia mengajukan Perda tentang tampon. Meski ditentang fraksi Republik, Perda Tampon itu berhasil disahkan DPRD Minnesota.
Isinya: di toilet sekolah-sekolah menengah di seluruh Minnesota harus disediakan tampon untuk murid wanita.
Untuk usia remaja seperti itu datang bulan memang sering tak disangka. Siswa kadang malu tiba-tiba datang bulan. Sampai bercak merah terlihat di rok mereka.
Sejak ada Perda itu di toilet sekolah wajib disediakan tampon.
Jelaslah bahwa kubu Trump kini dalam suasana gamang: tiba-tiba menghadapi musuh yang tidak disangka.
Terakhir, dua hari lalu, Trump menemukan kata yang ia cari untuk merendahkan Kamala Harris. Trump menyebut nama lawannya itu dengan ejekan ”Kamabla Harris”.
Sayangnya, kata ”Kamabla” tidak segera mengasosiasikan negatif pada Kamala. Saya juga masih menebak-nebak makna apa yang diinginkan Trump dari kata ”Kamabla”. Hanya Trump dan roh dewa Cheng Ho yang tahu maksudnya.
Penulis adalah wartawan senior Indonesia