Oleh Dahlan Iskan
SUDAH sepuluh orang saya hubungi. Semua kaget: Airlangga Hartarto mundur dari jabatan ketua umum Partai Golkar. Tidak satu pun yang mengatakan ‘sudah menyangka’. Atau ‘sudah mendengar selentingannya’.
Maka saya tidak meneruskan menghubungi sumber lain. Kalau pun 20 orang lagi yang saya telepon yang terkejut justru bisa 21 orang.
Pun sampai dua hari kemudian. Belum ada yang tahu apa alasan sebenarnya pengunduran dirinya itu. Yang ada adalah spekulasi. Spekulasinya pun sangat banyak. Cenderung jadi bola liar. Dilengkapi pula meme yang juga liar.
Airlangga masih sangat ketat menjaga kisi-kisinya. Tidak masuk akal di masa rebutan jabatan seperti ini ada laki-laki yang meletakkan jabatan penting.
Padahal Airlangga sangat berprestasi dengan jabatannya. Baik sebagai menko Perekonomian maupun sebagai ketua umum Partai Golkar.
Yang harus kita ingat: Airlangga hanya berhenti sebagai ketua umum Partai Golkar. Bukan sebagai Menko Perekonomian. Berarti tidak ada masalah dengan Presiden Jokowi atau pun Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Tapi saya juga tidak pernah mendengar ada masalah berat dengan sesama petinggi Golkar. Kursi Golkar di DPR naik banyak di Pemilu 2024. Berarti tidak ada alasan untuk dimintai pertanggungjawaban.
Tiba-tiba Airlangga mengundurkan diri.
Tepat di saat rekomendasi para calon kepala daerah belum ditandatangani. Pendaftaran calon gubernur/bupati/wali kota sudah mepet. Tanggal 27 Agustus sudah harus mendaftarkan diri.
Sampai Jumat malam lalu Airlangga masih biasa-biasa saja. Belum memberikan sinyal apa-apa. Rumahnya masih sibuk.
Rumah di Widya Chandra itu –perumahan menteri– masih ramai. Para calon kepala daerah masih terlihat di rumah itu. Rumah Airlangga di sebelah rumah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Para tamu yang ke rumah Prabowo juga ada yang mampir ke rumah Airlangga. Atau, sambil antre menunggu giliran diterima Prabowo ada yang mampir ke rumah Airlangga.
Malam itu terlihat ada Alun –nama panggilan untuk pengusaha Jusuf Hamka. Sehari setelah ke rumah Airlangga itu Alun membuat pernyataan pers: mengundurkan diri dari kepengurusan Golkar. “Politik itu jahat,” katanya seperti dikutip banyak media.
Anda sudah tahu: Jusuf Hamka ingin maju sebagai wakil gubernur DKI Jakarta. Bisa berpasangan dengan siapa saja. Ia terlalu berharap. Ia gagal. Pun sebagai bakal calon.
Jumat malam itu terlihat juga beberapa pengurus Golkar. Semuanya baik-baik saja. Agak malam dikit terlihat juga Ridwan Kamil, calon gubernur DKI Jakarta sekaligus Jawa Barat –mana yang pasti belum pasti.
Besoknya Airlangga mengundurkan diri sebagai ketua umum Golkar. Ini persoalan besar bagi para calon kepala daerah yang ingin maju dari Golkar: siapa yang akan tanda tangan rekom pencalonan.
Tentu dalam satu-dua hari akan ada penjabat ketua umum. Atau penjabat sementara. Atau pelaksana tugas. Tapi akan ada pertanyaan besar: bolehkah rekom untuk calon kepala daerah ditandatangani oleh seorang yang berstatus penjabat sementara.
Pernah terjadi seperti itu: tepat lima tahun lalu. Di saat kritis Pilkada seperti ini Ketua Umum Golkar Setya Novanto ditangkap KPK. Penjabat sementara ketua umum tidak berhak tanda tangan pendaftaran calon kepala daerah.
Saya ingat waktu itu: Ridwan Kamil tergopoh-gopoh mencari partai lain selain Golkar. RK beruntung. Ia dapat beberapa partai kecil. Popularitasnya sebagai wali kota Bandung memang tinggi. Banyak partai mengincar namanya.
Berhasil. Ia jadi Gubernur Jabar. Kalau boleh milih, RK akan dengan mudah bisa terpilih kembali di Jabar. Tapi Golkar menginginkan RK menjadi Gubernur Jakarta.
Rasanya RK terserah partai saja. Di Jakarta pun ok. Bahkan dengan jadi Gubernur Jakarta peluang untuk menjadi presiden bisa lebih besar.
Anda sudah tahu: di Jakarta RK lagi dicarikan pasangan. Bisa dari PKS, bisa juga dari mana saja. Pesaing terkuatnya, Anies Baswedan, lagi terancam tidak dapat kendaraan.
Ibarat wanita hamil, soal RK ini sudah seperti hamil tua. Di saat menunggu kelahiran itulah bidannya berhenti.
RK kembali menghadapi masalah seperti lima tahun lalu. Mungkin jalannya harus begitu.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia